Opini oleh Achmad Nur Hidayat
(Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Kekacauan terjadi di Srilanka pada 9 Juli 2022 yang lalu akibat stagflasi yang terjadi dimana Inflasi sedemikian tinggi dan pertumbuhan ekonomi tidak mengalami kenaikan membuat masyarakat anarkis. Rumah Perdana Menteri dan Istana Presiden dibakar massa dan dikepung.
Utang luar negeri Srilanka yang mencapai 60,85% dari PDB yaitu sekitar $50,72 miliar.
Pinjaman besar untuk pembangunan infrastruktur tidak membuahkan manfaat ekonomi yang berarti.
Ketidak mampuan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi yang muncul paska pandemi COVID membuat Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa akan mundur dari jabatannya yang rencananya akan dilakukan Rabu 13 Juli 2022.
Dengan demikian umur Pemerintahan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe hanya berusia 2 bulan. Presiden Gotabaya Rajapaksa sendiri sudah memimpin Srilanka hampir 2 dekade.
IMF sebenarnya sudah diundang dan bersedia membantu pada 20-30 Juni 2022 lalu namun kelihatannya faktor politik internal dan ketidaksabaran rakyat Srilanka akan ketersedian bahan pokok kelihatannya yang menggerakan rakyat berduyun-duyun menghampiri Istana Presiden.
Negara kepulauan berpenduduk 22 juta orang itu menangguhkan pembayaran utang senilai US$12 miliar pada April lalu. IMF berkomitmen melakukan bailout sekitar US$5 miliar namun rakyat sudah hilang kepercayaan kepada pemerintahan.
Apalagi ternyata Presiden memiliki gaya hidup bermewah-mewahan padahal rakyat sedang kesulitan mendapatkan BBM dan pangan.
Didalam istana, rakyat menemukan fasilitas yang sangat mewah yang jauh berbeda dengan kondisi kebanyakan rakyat dijalan-jalan dimana rakyat menderita inflasi yang tinggi akan BBM dan Pangan.
Sebelum pandemi, Srilanka sangat agresif dalam pembangunan infrastruktur terutama infrastruktur pelabuhan yang mayoritas dibiayai oleh China.
Terdapat 16,6% kewajiban Sri Lanka terhadap China. Total pinjamannya ke Beijing mencapai US$ 8 miliar atau setara Rp 114,400 triliun yang dikucurkan melalui skema Belt and Road Initiative (BRI), Skema BRI adalah skema pembangunan infrastruktur dimana China menjadi dominan sebagai investornya.
Rakyat menyalahkan pemerintah yang telah melakukan kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara.
Hal ini tentunya menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lain agar berhati-hati dalam membuat kebijakan anggaran negara. Menciptakan kemandirian terutama kemandirian dalam pangan dan energi.
Indonesia dan Dunia harus belajar dari apa yang terjadi di Srilanka. Saat ini hutang Indonesia sudah lebih dari 7.000 triliun per Februari 2022.
Angka tersebut sekitar lebih dari 40% PDB Indonesia. Melihat angka ini maka penggalian utang berikutnya akan mengancam Indonesia terperosok kepada krisis seperti yang terjadi di Srilanka.
Apalagi utang didominasi karena agresifitas pemerintah membiayai infrastruktur. Selain Tol, Pemerintah juga agresif dalam membangun IKN dimana sampai saat ini belum ada investor besar yang bersedia membiayai setelah mundurnya Softbank dan konsorsiumnya dari pembangunan IKN
Indonesia harus bijak melakukan spending. Diakui bahwa spending pembangunan Infrastruktur nilai manfaat ekonominya sangat rendah bagi PDB Indonesia.
Apalagi kondisi negara lagi tidak baik-baik saja. Masyarakat masih menderita dengan kenaikan-kenaikan harga.
Contohnya proyek seperti Kereta Api Cepat dan pembangunan IKN yang menyerap anggaran yang sangat besar tapi mempunyai manfaat ekonomi yang rendah.
Alihkan anggaran-anggaran yang ada kepada proyek-proyek yang dapat menciptakan kemandirian pangan dan energi sehingga Indonesia mempunyai ketahanan dalam menghadapi krisis pangan dan energi yang beresiko menciptakan krisis yang besar.
Pelajaran Srilanka Dari Pandemi Menuju Negara Gagal
Meski IMF sudah ada komitmen melakukan BAIL OUT terhadap sebagian utang Srilanka. Namun ketidaksabaran rakyat yang sudah menderita kenaikan harga sejak Januari 2022 membuat komitmen perbaikan ekonomi sia-sia.
Sekarang Srilanka tergantung seberapa smooth dan cepat proses transisi politik. Bila transisi kepemimpinan politik macet maka Srilanka akan menanggung resiko yang lebih besar lagi dimasa depan.
Tidak hanya ekonomi yang suram, masa depan negara Srilanka pun memiliki resiko tinggi untuk menjadi negara gagal.
END