Oleh Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Bahan Bakar Minyak, BBM, merupakan barang kebutuhan _(necessity goods)_ yang menguasai hajat hidup orang banyak. BBM dikonsumsi masyarakat luas, dari kendaraan pribadi hingga transportasi umum dan taksi, dari pertanian hingga nelayan, dan lain-lainnya.
BBM juga merupakan komponen biaya produksi dan distribusi yang cukup signifikan. Kalau harga BBM naik, biaya produksi dan distribusi juga akan naik, menyebabkan inflasi, membuat daya beli masyarakat tergerus. Di negara berkembang seperti Indonesia, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan tingkat kemiskinan.
Di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar pada 3 September lalu. Sangat tinggi, lebih dari 30 persen. Alasannya, untuk mengurangi subsidi BBM. Kalau tidak, APBN akan jebol, demikian alasan horor yang dikemukakan.
Apa benar APBN akan jebol? Tidak ada yang tahu. Lagi pula, apa artinya ‘jebol’? Pemerintah tidak transparan dalam menghitung neraca keuangan BBM. Berapa pendapatan dan subsidi BBM akibat kenaikan harga minyak mentah? Tidak jelas!
Kenaikan harga BBM ini langsung menuai protes dari masyarakat luas. Tentu saja ada juga yang mendukung.
Protes umumnya berasal dari kelompok bawah. Kenaikan harga BBM akan berakibat buruk bagi mereka. Jumlah kelompok bawah ini sangat besar, merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia.
Kelompok pendukung terkesan sangat liberal, harga BBM harus merujuk harga internasional, untuk mengurangi atau bahkan menghapus subsidi BBM. Selain itu mereka juga beralasan subsidi BBM tidak tepat sasaran, jadi harus dicabut. Tetapi dampaknya terhadap masyarakat miskin sepertinya kurang dipedulikan.
Jadi, berapa harga BBM yang pantas di Indonesia?
Apakah harus mengikuti harga internasional dengan mencabut subsidi, seperti yang dilakukan banyak negara maju antara lain Amerika Serikat, Eropa, Jepang, bahkan Singapore, Hong Kong atau Korea Selatan?
Atau sebaiknya meniru Malaysia, yang memberlakukan harga BBM (tertentu) cukup rendah bagi warganya?
Jawaban untuk itu, harusnya cukup sederhana. BBM adalah barang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Maka itu harga BBM wajib terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Terjangkau, artinya relatif dibandingkan dengan penghasilan masyarakat.
Kalau harga BBM di Indonesia setinggi di Singapore, sekitar Rp30.000 - Rp40.000 per liter, maka sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM-nya untuk aktivitas sehari-hari. Karena penghasilan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dari masyarakat Singapore dan negara maju lainnya. Pendapatan per kapita Indonesia tahun 2021 hanya 4.292 dolar AS, sedangkan Singapore sudah mencapai 72.794 dolar AS, atau 17 kali lipat dari Indonesia.
Selain itu, menurut data Bank Dunia, jumlah rakyat miskin Indonesia mencapai 50,3 persen dari jumlah penduduk pada 2021, setara 138,9 juta orang, dengan pendapatan di bawah Rp1 juta per orang per bulan (atau 5,5 dolar AS, kurs PPP 2011). Sedangkan Singapore dan negara maju lainnya tidak ada penduduk miskin dengan pendapatan sebesar itu.
Dengan pendapatan per kapita yang sangat rendah, ditambah jumlah penduduk miskin yang sangat besar, mayoritas masyarakat Indonesia tidak mampu membeli BBM dengan harga internasional.
Meskipun harga BBM di Indonesia lebih rendah dari negara maju, tetapi rasio atau persentase pengeluaran BBM terhadap penghasilan bersih _(disposable income)_ di Indonesia lebih tinggi dari negara maju.
Yang lebih memprihatinkan, kelompok masyarakat bawah menanggung beban kenaikan harga BBM jauh lebih berat dari kelompok atas. Menurut salah satu studi di Amerika Serikat, rasio pengeluaran BBM terhadap penghasilan masyarakat berpendapatan rendah bisa capai 11 sampai 38 persen dari penghasilan bersihnya. Sedangkan kelompok menengah atas hanya 2,8 hingga 4,9 persen saja.
Maka itu, kenaikan harga BBM akan membuat masyarakat miskin semakin bertambah miskin. Belum memperhitungkan inflasi yang akan melonjak akibat kenaikan harga BBM.
Bagi Indonesia dengan jumlah penduduk miskin sangat besar, kenaikan harga BBM dan pengurangan subsidi jelas akan membuat jumlah penduduk miskin meningkat.
Di samping itu, masyarakat pedesaan akan menanggung beban kenaikan harga BBM lebih besar dibandingkan masyarakat perkotaan. Kemiskinan pedesaan akan melonjak.
Maka itu, kenaikan harga BBM di tengah inflasi yang tinggi saat ini sangat tidak tepat. Mencabut subsidi BBM akan membuat masyarakat miskin menjadi lebih miskin, dan membuat jumlah penduduk miskin meningkat. Maka itu, mereka masih sangat perlu dibantu.
Artinya, menentukan harga BBM, barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, wajib memperhatikan penghasilan masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan BBM untuk aktivitas sehari-hari, dan mempertahankan ekonomi sosial masyarakat agar tidak bertambah miskin.
( Opini bukan pandangan redaksi malainkan sudut pandang penulis )