Opini oleh: Marwan Batubara, TP3 & UI Watch
7 Desember 2022, kejahatan aparat negara membantai 6
pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) genap berusia dua tahun. Kejahatan yang
diyakini masuk kategaori kejahatan HAM Berat itu terungkap pertama kalinya
setelah Konferensi Pers (Konpers) Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran
didampingi Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman dan sejumlah pejabat Polda
Metro Jaya, sekitar jam 13.00 WIB, pada 7 Desember 2020, bertempat di Mapolda
Metro Jaya.
Esensi pernyataan Fadil Imran antara lain adalah: 1)
personal Polda Metro telah menembak mati enam pengawal HRS; 2) Penembakan
dilakukan karena para pengawal melawan dan menyerang petugas; 3) Penguntitan
dilakukan terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan pada acara peringatan
Maulid dan penikahan putri HRS; 4) Ada 10 orang yang menyerang, empat orang
ditembak dan empat orang melarikan diri; 5) Tidak ada korban jiwa maupun luka
dari pihak Polri, namun sebuah kendaraan rusak karena dipepet terkena tembakan.
Meski klarifikasi dan bantahan telah diungkap dalam Buku
Putih TP3 yang terbit Mei 2021 dan berbagai pernyataan Tim Hukum HRS, serta
berita berbagai media, kami dari TP3 perlu mengulang bantahan atas isi Konpers
Kapolda Metro Jaya tersebut. ]Minimal untuk mengingatkan publik bahwa
penuntasan kasus pembantaian tersebut masih jauh dari rasa keadilan dan
kebenaran. Sebelum mengklarifikasi manipulasi informasi dan penggiringan opini
yang dilakukan Kapolda Metro Jaya, TP3 perlu mengungkap kembali kronologi
kejadian sebenarnya.
Kronologi Pembantaian
Sebelum Konpers Kapolda Fadil Imran, pihak HRS, dan DPP FPI
sempat menyebar Siaran Pers pada 7 Desemebr 2020, sekitar jam 11.00 WIB. Isinya
berupa informasi tentang hilangnya enam pengawal HRS saat perjalanan rombongan
keluarga HRS (termasuk beberapa balita dan bayi) dari Sentul Bogor menuju
Karawang, melalui Jalan Tol Jakarta-Cikampek.
Hanya setelah Konpers Kapolda Fadil Imran tersebutlah pihak
FPI dan HRS paham bahwa yang menguntit mobil rombongan mereka adalah aparat
negara. Mengapa demikian?
Ternyata sejak keluar dari Perumahan Nature Mutiara Sentul,
rombongan keluarga HRS (4 mobil) dan pengawal HRS (juga 4 mobil) telah dipantau
sejumlah mobil tak dikenal yang stand-by di sekitar Perumahan Nature
Mutiara, sejak dua hari sebelumnya. Selama perjalanan di Tol Cikampek, beberapa
mobil tak dikenal ini terus bermanuver (memepet dan berupaya meng-intercept).
Hal ini sangat membahayakan keselamatan rombongan HRS.
Memang targetnya, mobil yang ditumpangi HRS, agar HRS dapat “dihabisi”. Karena
itulah mobil para pengawal terus berupaya menghalangi manuver guna mengamankan
HRS dan keluarga.
Selama manuver, adu kecepatan, saling salip dan saling
pepet, terutama dalam upaya memecah rombongan dan menarget HRS, para pengemudi
mobil tak dikenal ini tidak pernah menunjukkan identitas sebagai aparat negara.
Para penguntit lebih mencerminkan perilaku barbar dan premanisme.
Ternyata setelah Konpers Kapolda Metro Jaya di atas,
terungkap mereka itu adalah aparat negara yang “sedang bertugas” memburu target
tanpa peduli keselamatan rombongan HRS dan keluarganya.
Dalam satu momen kejar-mengejar, mobil yang ditumpangi salah
satu rombongan HRS dipepet mobil SUV (Fortuner/Pajero) dengan “Nopol” B 1771
KJL (ternyata Nopol palsu).
Sang “petugas” membuka kaca mobil, mengeluarkan tangan
bertato dan mengacungkan jari tengah, sambil menebar ancaman. Namun dua mobil
pengawal HRS (Avanza dan Chevrolet B 2152 TBN) berhasil mencegah mobil-mobil
para penguntit melakukan intercept, sehingga rombongan HRS dan keluarga,
serta dua mobil pengawal HRS yang lain, berhasil menjauh dan lolos dari kejaran
petugas yang bertindak barbar dan ala gangster itu.
Sepeninggal rombongan HRS yang lolos, salah satu mobil
pengawal HRS yakni Chevrolet B 2152 TBN dikepung tiga mobil “petugas” dan
akhirnya berhasil ditangkap. Beberapa saksi mata, termasuk hasil
penelusuran Tempo.online, menyatakan bahwa dua orang pengawal HRS ditembak
di KM50. Dua mayat pengawal HRS tersebut kemudian diangkut menggunakan
ambulans, sedang empat pengawal lain yang masih hidup (salah satunya
terpincang-pincang) dibawa para “petugas” ke suatu tempat yang tidak jelas.
Perlu dicatat, sekitar satu jam setelah para petugas
(pakaian preman) dan enam pengawal HRS berada di KM50, maka datanglah mobil
Land Cruiser hitam dan sebuah mobil lain.
Tampaknya “petugas” (pakaian preman) di Land Cruiser hitam
itu berfungsi sebagai komandan, yang memerintahkan pemindahan enam pengawal HRS
ke mobil lain, yang akhirnya disiksa secara sadis dan ditembak mati, umumnya
pada daerah dada kiri. Sebelum meninggalkan KM50 “para petugas”, di bawah
pimpinan sang komando, secara arogan melakukan selebrasi untuk menandakan
kemenangan.
Klarifikasi dan Tanggapan
Berdasarkan kronologi kejadian di atas, kita bisa menanggapi
keterangan Kapolda Fadil sebagai berikut. Terkait butir 1) Pelaku penembakan
adalah Personal Polda Metro Jaya terbantahkan. Hal ini didasarkan pada fakta
bahwa para pelaku adalah satu kesatuan aparat negara yang menumpangi minimal
enam (6) mobil (TP3 memiliki “Nopol”-nya), termasuk Land Cruiser hitam.
Karena berada dalam satu kesatuan di bawah kendali komando,
maka jelas kesalahan tidak benar hanya tertuju pada 3 orang anggota Polri
(faktanya, belakangan 1 orang mati dan 2 orang divonis bebas).
Terkait butir 2) Penembakan dilakukan karena pengawal HRS melawan
dan menyerang petugas, kita jelas membantah keras rekayasa Fadil tersebut.
Sebab pihak yang memulai insiden adalah “petugas” tanpa identitas yang
berperilaku barbar sendiri, di mana mereka melakukan intercept yang
sangat membahayakan keselamatan dalam rangka memburu HRS.
Para pengawal tidak pernah melawan dan menyerang, serta
tidak memiliki senjata tajam dan senajata api, sebagaimana yang dituduhkan
Kapolda Fadil saat Konpers. Untuk membuktikan kebohongan Kapolda Fadil,
keluarga enam pengawal HRS telah mengundang Kapolda/Polri untuk bermubahalah
(Masjid Al Furqon, 26/2/2021), namum tak berani dipenuhi.
Terkait butir 3) Penguntitan dilakukan Polri karena dugaan
pelanggaran protokol kesehatan oleh HRS, kita dengan tegas menyatakan bahwa
status HRS pada saat itu (6/12/2020) hanyalah sebagai saksi. Beliau bukan
tersangka dan tidak terlibat makar terhadap negara.
Namun oleh “petugas” sadis telah dikuntit dan diperlakukan
sewenang-wenang, layaknya penjahat besar atau teroris. Para aparat negara yang
bertindak brutal ini jelas telah menyalahagunakan kekuasaan secara arogan,
melanggar HAM/konstitusi, UU, peraturan dan SOP Polri dalam penanganan perkara
dan terduga bersalah.
Terkait butir 4) Ada 10 orang yang menyerang, empat orang
ditembak dan empat orang melarikan diri, sama seperti uraian butir 2) di atas
bahwa para pengawal HRS tidak pernah menyerang “petugas”. Karena memang
bertindak melindungi mobil HRS, sehingga tidak pernah menyerang, para pengawal
juga tidak memiliki senjam dan senpi.
Maka mereka sangat tidak layak diperlakukan sebagai musuh
atau pelaku kejahatan yang layak untuk langsung dihabisi atau ditembak. Sesuai
prosedur pengamanan internal petugas, para pengawal yang “tertangkap” dalam
Chevrolet seharusnya bisa diborgol, untuk kelak bisa disidik dan diadili.
Adapun empat orang yang “disebut melarikan diri”, faktanya
adalah pengawal HRS yang lolos dari intimidasi petugas sadis. Jika ingin
mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan, mereka yang lolos ini bisa
berperan menjadi saksi di pengadilan.
Komnas HAM, Polri (terutama Kapolda Fadil), Kejagung dan
Pengadilan Negeri bisa dengan mudah memanggil mereka. Namun, hal tersebut tidak
pernah terjadi. TP3 sendiri sempat bertemu dengan para pengawal yang selamat
dari kesadisan para petugas tersebut, dan dari merekalah TP3 memperoleh
sebagian informasi objektif tentang kronologi kejadian di atas.
Terkait butir 5) Bahwa tidak ada korban jiwa maupun luka
pihak Polri, satu kendaraan rusak dipepet dan terkena tembakan, TP3 perlu
menyatakan para pengawal adalah pihak yang dizolimi, tidak punya senjata, tidak
menyerang petugas dan justru harus mengamankan diri dari tindakan brutal.
Jika ada mobil petugas yang tertembak, maka yang menembak
mobil tersebut adalah petugas itu sendiri. Sebab mereka merasa sangat berkuasa
tanpa limit, rekayasa seperti ini sangat mudah dikarang, sebagaimana mereka
merekayasa dan mempertontonkan manipulasi pemilikan pedang dan sejata api oleh
Kapolda Fadil saat Konpers 7 Desember 2020.
Uraian di atas merupakan sekelumit kebohongan dan rekayasa
terkait kasus pembantaian enam pengawal HRS.
Uraian tersebut dibuat bertepatan dengan Konpers Kapolda
Metro Jaya pada 7 Desember 2020, guna mengingatkan bahwa kejahatan kemanusiaan
kategori HAM Berat itu telah terjadi di bawah kekuasaan Kapolri Listyo Sigit
Prabowo dan Presiden Joko Widodo.
Selain kebohongan 7 Desember 2020, TP3 juga memiliki
berbagai informasi manipulatif, argumentasi objektif dan dasar hukum lain yang
menunjukkan bahwa proses pengadilan kasus masih jauh dari kebenaran dan
keadilan. Karena merupakan atasan dan penanggungjawab operasi aparat negara
pelaku pembantaian, maka keluarga korban, DPP FPI/HRS, TP3 dan para penggiat
HAM akan terus menuntut Presiden Jokowi dan Kapolri Sigit
mempertanggungjawabkan kejahatan kemanusiaan tersebut.