Opini oleh: Radhar Tribaskoro
Menkopolhukam Mahfud MD dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa “tidak ada pemilu yang jurdil (fair election)”. Mahfud sepertinya mencoba membangun kesan bahwa “pemilu jurdil adalah impian”. Pernyataan Mahfud itu jelas merujuk kepada pemilu di Indonesia. Di sini jurdil hanya dikenal dalam teori namun sangat langka terjadi.
Namun di luar Indonesia, khususnya di negara-negara demokrasi maju, fair election adalah norma yang umum sehingga tidak pernah menjadi wacana publik lagi. Mahfud juga tidak akurat untuk Indonesia. Pemilu 2004 di Indonesia dapat dikatakan jurdil bila dilihat dari jumlah gugatan di Mahkamah Konstitusi yang hampir nihil. Dengan demikian, pemilu jurdil bukanlah mimpi. Pemilu seperti itu bisa diwujudkan asal ada kemauan.
Pemilihan umum itu sendiri adalah elemen yang sangat penting dalam UUD 1945 (setelah amandemen). Sebagai contoh, di konstitusi kita istilah pemilihan umum disebutkan 18 kali. Bandingkan dengan kata makmur yang hanya disebutkan sekali, sejahtera (1), adil (9) dan keadilan (4).
Adapun norma pemilu jujur dan adil disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Kita tahu konstitusi memang memuat gagasan yang bersifat ideal. Walau begitu, norma-norma ideal itu harus menjadi standar dan ukuran kemajuan, bukan gagasan yang karena ideal maka boleh ditinggalkan.
Lantas bagaimana kita mengukur jurdil dalam penyelenggaraan pemilu di negara ini?
Kasus Gagalnya PAN Menjadi Peserta Pemilu
Dalam Rapat Rekapitulasi Nasional Hasil Verifikasi dan Penetapan Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, hari Rabu 14 Desember 2022, KPU RI menetapkan 17 parpol peserta pemilu. Dengan demikian hanya Partai Ummah yang dipimpin Amin Rais gagal menembus tahap verifikasi faktual.
Anehnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari telah membocorkan hasil itu kepada pimpinan Partai Ummat semalam sebelumnya. Sontak Amin Rais, ketua Majelis Syura Partai Ummat, membuat pernyataan viral tentang informasi Ketua KPU itu. Tentu saja hal ini terlihat aneh sebab Idham Holik, komisioner KPU yang membawahi verifikasi faktual, mengatakan ia tidak tahu informasi tersebut sebab rapat rekapitulasinya belum digelar.
Lantas, bagaimana Ketua KPU bisa tahu hasil rekapitulasi padahal rapat belum terjadi? Apakah Ketua KPU memantau hasil-hasil rekap di daerah? Untuk kepentingan apa? Sistem rekapitulasi yang diterapkan sekarang mengasumsikan bahwa KPU dan semua peserta pemilu sama tidak tahu atas apa hasil rekap. Kalau tidak begitu maka rapat-rapat rekap di semua tingkatan hanya formalitas saja.
Selain keanehan prosedural bukan hal yang etis membincangkan putusan lembaga secara empat-mata. Lepas dari sebaik apa tujuan pertemuan itu, pertemuan empat-mata antara pengambil putusan dan penerima putusan mengaburkan batas objektivitas. Bila pertemuan empat-mata dianggap normal maka setiap orang boleh curiga bahwa ada “pengaturan” dalam pertemuan-pertemuan semacam itu.
Pertemuan empat-mata secara langsung mengaburkan transparansi dalam hubungan KPU, peserta pemilu dan publik. Akibatnya, kepercayaan publik akan merosot. Di dalam masyarakat akan tumbuh kecurigaan bahwa “pengaturan-pengaturan ad hoc” telah terjadi dalam keputusan-keputusan KPU. Kecurigaan ini akan semakin menjatuhkan kepercayaan publik kepada KPU, padahal kepercayaan publik kepada KPU sudah sejak lama defisit.
Pengaturan Ad-Hoc di KPU
Adanya “pengaturan ad-hoc” adalah cacat bawaan KPU, alias sudah terjadi lama bahkan sejak pemilu pertama-kali digelar. Pengaturan ad-hoc (sementara, semena-mena, arbitrary) adalah upaya elit di tubuh KPU untuk mengatur putusan dan/atau perilaku (behavior) personil atau lembaga yang dikendalikannya untuk kepentingannya sendiri. Secara resmi KPU tidak mengakui “pengaturan ad-hoc” ini, itu sebabnya proses-proses di KPU sangat sulit dikendalikan.
Pengaturan ad-hoc terjadi di seluruh level organisasi KPU. Ketua KPPS “mengatur” anggota-anggotanya, begitu pula Ketua PPS (tingkat desa/kelurahan), Ketua PPK (tingkat kecamatan), dst. Pengaturan tersebut bisa berbunyi “tambahkan 20 suara untuk si A”, “batalkan syarat dukungan partai X”, atau “dukung verifikasi faktual partai Y”. Pengaturan semacam ini akan diterjemahkan ke dalam berbagai cara oleh aparatur di lapangan. Misalnya saja, jadwal verifikasi ditunda-tunda sehingga bendahara/wakil ketua/sekertaris tidak hadir. Ketika verifikasi susulan dilakukan, berita acara tidak dibuat, yang akhirnya berujung kepada kegagalan verifikasi.
KPU dan jajaran staf teknis memiliki puluhan cara untuk menjalankan pengaturan-pengaturan ad-hoc semacam itu, tidak mengherankan karena mereka telah berpengalaman sejak pemilu dibikin di sini.
Maka saya tidak heran ketika mantan komisioner KPU Hadar Gumay mensinyalir telah terjadi upaya penjegalan Partai Ummat dari Pemilu 2024. Gumay, tidak seperti teman-temannya yang lain, tidak menutup mata terhadap kenyataan pengaturan-pengaturan ad-hoc di KPU.
Penutup
Maka, sebelum terlambat, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mesti membuka matanya juga. Ia sebaiknya membentuk Satgas Khusus untuk menyelidiki kasus penjegalan Partai Ummah. Jangan menyerahkan persoalan yang menjatuhkan kepercayaan rakyat kepada KPU ke tangan Bawaslu atau DKPP. KPU harus menegakkan kepercayaan publik dengan tangannya sendiri. Satgasus karena itu mesti berbicara lantang kepada struktur internal KPU agar tidak main-main terhadap tanggung-jawab mereka untuk menggelar pemilu yang luber dan jurdil. Hanya dengan cara itu organisasi KPU dapat bersatu menjawab tantangan yang ditaru di atas pundak mereka.
Lepas dari itu, tuntutan audit terhadap putusan-putusan KPU tidak bisa disikapi secara normatif belaka. Misalnya, dengan mengatakan hal itu telah dilakukan oleh Bawaslu dan DKPP. Tuntutan audit itu muncul di tengah kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada putusan-putusan KPU sejauh ini. Maksudnya, kejanggalan tetap terjadi sekalipun sudah ada pengawasan oleh Bawaslu dan DKPP.
Maka respon negatif KPU akan dianggap sebagai pengabaian atas kecurigaan publik. Dan itu berarti semakin runyamnya kepercayaan publik. Dalam kondisi seperti itu, betapapun keras kerja KPU rakyat tetap curiga. Rakyat tetap tidak mempercayai KPU.
KPU dapat memilih untuk mengabaikan semua kritik publik. Itulah yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. KPU jalan sendiri dengan keputusan-keputusannya, betapapun kontroversial.
Kalau itu terjadi maka sempurnalah Machstaat! Negara kekuasaan. Sempurnalah negara yang berjalan dengan hukum yang dibuat penguasanya sendiri. Negara yang berjalan tanpa legitimasi.
Penulis adalah anggota Komite Eksekutif – Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia