PENEGAKAN HUKUM KASUS SAMBO VS KASUS KM50: RAKYAT MENUNTUT KEADILAN

PENEGAKAN HUKUM KASUS SAMBO VS KASUS KM50: RAKYAT MENUNTUT KEADILAN

 


Jakarta (KASTV) - Marwan Batubara ketua FKN dalam acara diskusi publik dengan mengangkat tema PENEGAKAN HUKUM KASUS SAMBO VS KASUS KM50: RAKYAT MENUNTUT KEADILAN!, Ia mengungkapkan saat TP 3 berkunjung ke Istana terkait penegakan hukum atas Kasus KM50, pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemerintah berkomitmen menuntaskan kasus ini secara adil, transfaran dan dapat diterima oleh masyarakat. Jadi, Pak Jokowi sendiri yang berbicara keadialan. Kalau kita merujuk butir pancasila kata adil itu di dua pasal yaitu di pasal ke dua dan pasal ke lima. Jakarta, 9/03/2023.


Marwan juga menyampaikan bahwa Pak Kapolri Sigit Listyo Prabowo saat memimpin serijab di mabes polri tanggal 29 Sesember 2023 berpesan kepada peserta acara dan tentu saja ini berlaku kepada seluruh jajaran Polri bahwa jaga wibawa institusi, tegakkan hukum dan berikan rasa keadilan dan perhatikan masyarakat kecil yang selama ini merindukan rasa keadilan.


Kapolri juga kata Marwan, saat hadir di Komisi III DPR menyampaikan penegakan hukum dan keadilan. Kami dari FKN TP 3 , dan UI Watch merasa dua tokoh penting tersebut bicara dan tindakannya itu berbeda dari apa yang dibicarkan. Bicara mau menegakkan keadilan tapi faktanya tidak sesuai di lapangan malah jauh dari keadilan. Sementara kasus Sambo bisa selesai dalam waktu 6 bulan, sidang yang pertama tanggal 17 Oktober 2022, vonisnya jatuh pada tanggal 13 Pebruari 2023.


Pada kasus KM50, dalam proses hukum tahapannya penyelidikan, penyidikan, penuntutan baru kemudian sidang-sidang di pengadilan. Pada penyelidikannya saja tidak dilalukan. Bagaimana rasa keadilan rakyat kecil yang dibunuh, dibantai pada kasus ini. Korban KM50 itu pengawal HRS (Habib Rizieq Shihab) dari kalangan orang tidak mampu, rakyat kecil.


“Sudah cukup banyak langkah yang kami lakukan dengan diskusi terbuka dilaksanakan bukan kali ini saja, konperensi pers, mengunjungi DPR, Menkopulhukam, Presiden dan Kepolisian. Nampak tidak ada keseriusan dalam persoalan ini Kami berharap jangan hanya bicara tapi tidak ada tindakan. Kami melihat ini seperti mau diturupi, untuk itu kami nenyenggarakan diskusi ini untuk meminta dan menuntut Peesiden, Kapolri, penegak hukum juga DPR yang memang belum ada kesempatan betemu dengan Komisi III. Namun kami berharap ada kelanjutannya untuk action nyata,” urai Marwan.


Selanjutnya, Desmon J Mahendra dari komisi III DPR menyampaikan paparannya bahwa kalau bicara penegakan hukum dan keadilan Sambo dan KM50 agak susah, kenapa ? Karena tidak ketemu Kenapa ? Kasus Sambo ini kriminal, individual sedangkan kasus KM50 itu institusional.


Sebagaimana pengalaman HAM berat, Desmon memberikan contoh bahwa “Pengalaman HAM berat beberapa tahun berlalu Pelanggaran kasus institusional sama dengan pelanggaran-pelanggaran HAM berat seperti kasus penculikan, kasus ini itu yang muncul jadi personal. Peculikan oleh Prabowo, talangsari oleh Hendro. Tetapi institusional yang harus tetap tanggungjawab TNI atau pemerintah. Dalam konteks pelanggaran berat. Tujuannya agar dikemudian hari tidak terjadi lagi dengan peristiwa yang sama yang dilakukan penggaran berat.”


Iapun gambarkaan perbedaan antara kasus kriminal personal dengan institusi, bicara tentang penegakan hukum dan keadilan tanggung jawab negara dalam konteks Sambo dan KM 50. Ini nuansanya berbeda. Ini kriminal

individual Sambo yang tidak bisa dipisahkan dari institusional Polri. Tapi dalam KM50 itu sengajalah operasi istitusi Polri. Pertanyaannya Polri belajar dari TNI atau memang dari dulu TNI-Polri.


Jadi katanya, kalau hari ini persoalan-persoalan penegakan hukum dan keadilan dalam kasus ini tidak seperti apa yang dikatakan Bang Marwan tadi. Persisnya tidak jalan semua dong KM50. Kenapa? Karena institusi. Ada ga pelanggaran HAM seperti peristiwa di era Soeharto, tidak ada juga kan? Tapi ada sesuatu yang harus dituju hancurlah kalau tersentuh.


” Sementara kekuasaan politik tidak berani menyentuh institusinya. Tidak berani menyentuh institusinya karena apa? Dalam kasus KM50 ini apakah memang maunya institusi kepolisian atau bagian dari mainstream kekuasaan politik?,” tukasnya


“Kalau ini memang bagian dari mainstream dari kekuatan politik dalam rangka outputnya adalah kekuasaan politik ya seperti yang kita rasakan sekarang. Negara ini bukan negara hukum tapi negara kekuasaan.” ujar Desmon


“Jadi kalau kita bicara apa yang dibicarakan Bang Marwan tadi, tidak akan pernah ketemu, kenapa ? Karena hukum itu tidak pernah tegak keadilan tidak pernah ada, kenapa? karena kekuatan institusionalnya tidak tersentuh,” kata anggota dewan dari komisi III itu.


Lanjutnya lagi, Jadi kalau kita bicara hari ini bicara persoalan ini lanjut Desmon, negara hukum itu apa ? Penataan political pemerintahnya untuk mendudukkan negara hukum itu apa ? Tapi ke depan harus ada penataan pemerintahan yang lebih baik untuk menjadi negara hukum yang lebih baik kalau dengan demokrasi yang terukur.


“Sementara ini kan sudah jelas semua, pertanggungjawaban-pertanggungjawan seperti yang tadi saya sebut, tentang peradilan-peradilan Soekarno tidak pernah peradilan. Soeharto tidak pernah tuntas Padahal ada di catatan UUD dan GBHM. Di pemerintan Jokowi, tidak bertanggungjawab, suka-suka dia.”


Menurut Desmon harus ada perbaikan untuk menjadi negara hukum dengan sistem ketatanegaraan kita. Perbaikan dalam institusi kepolisian, TNI, kesadaran-kesadaran sebuah nilai untuk memperbaiki, membangun Indonesia yang lebih baik.


Saya berfikir kata Desmon, diskusi-diskusi seperti kita selenggarakan ini contoh yang kongret tapi kalau berharap kongret. Ya berharap-harap seperti dalam kasus berat pelanggaean HAM berat yang lain. Berharap-harap.


“Dulu TNI itu pahlawan, tapi sekaran dengan pengakuan Pak Jokowi itu apa ? Ga ada disebut tentang TNI dalam hal ini. Seolah-olah peristiwa 65 itu peristiwa personal Soeharto, bukan personal institusi TNI. Ini jadi soal, ada apa ini ?,” tanyanya


Dalam RDP di DPR saya selalu tanyakan, ingatkan termasuk kepada Menkopulhukam. Saya sebagai wakil rakyat mengingstkan. Tapi apa responnya, sama saja. Kenapa ? Karena kemauan politiknya ga ada. Semua ini kita terjebak ke dalam persoalan-persoalan politik individual.


Ia juga mengingtkan soal Politik individual seperti Ratu Adil. Dulu berharap Jokowi itu Ratu Adil. Kenyataanya ?. Sekaran siapa yang diharapkan jadi Ratu Adil ? Prabowo , Anies atau siapa ? Kalau kita berharap kepada individual yang akhirnya jadi berkuasa, yang hari ini mendewa-dewakan


Catatan ini lah yang ketika menuntut keadilan dalam proses penegakkan hukum di Republik ini kita harus peka. Apakah ini adalah gerak institusi atau individual. Kalau gerak institusi kita pertanyakan institusi mana TNI ? Polri ? Pasti tidak kesentuh. Kenapa ? Karena konstitusi itu kan melindungi korpsnya. Itu persoalannya di situlah. Tidak pernah mejelaskan ini negara demokrasi ada keterbukaan hukum.


Jadi institusi lebih kuat daripada penegakkan hukum. Atau politik pemerintah tidak pernah melakukan penegakkan hukum terhadap institusi karena takut. Takut karena apa sebenarnya ? Kalau kita punya niat baik untuk memperbaiki nilai sistem. Penegakan hukum sistem ketatanegaraan kita menuju Indonesia yang lebih baik. Ini kan yang terjadi hari ini.


Menurut Desmon, dari kasus- kasus HAM berat tidak ada terjadi penyelesaian berkaca kepada kasus-kasus HAM berat yang pernah terjadi.


“Apa yang kita bicarakan hari bagi orang yang berharap keadilan seperti KM50 ya sama seperi korban penculikan, talangsari. Mana ? Tidak akan pernah tercapai kenapa ? Ganti pemerintah ? Omong kosong. Kalau Bang Marwan ada janji dari Kapolri, Presiden itu omong kosong. Kenapa ? Berani ga ?,”


Iapun tidak menyakini Jokowi punya kelebihan mereformasi insititusi penegakan hukum. Jokowi mau mereformasi institusi Polri, kan kasus KM50 bisa berkaitan dengan reformasi institusi polri, berani ga ? Atau memang polisi hari ini jadi alat politik. Jangan-jangan KM 50 adalah alat politik. Kekuasaan Jokowi juga. Ya mana mungkin bisa ada. Ini saya merespon dari diskusi persoalan harap-harap cemas. Kenapa harap-harap cemas, ya kapan persoalan institusional menjelaskan secara transparan agar Indonesia ini tidak terjebak kepada hantu-hantu yang tidak bisa mendobrak institusional itu.


“Habis ada berita dari persoalan-persoalan, ya yang terjadi biasa-biasa saja.” tutupnya

(jaksat)

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال