Puisi Butet, Anarki Terhadap Bahasa, Anarki Demokrasi

Puisi Butet, Anarki Terhadap Bahasa, Anarki Demokrasi

 


Jakarta (KASTV) _ Maestro penyair Indonesia Si Burung Merak, WS Rendra, pernah berkata, penyair tidak dilarang menulis puisi pamflet atau puisi yang berbau politik. “/Aku tulis pamflet ini//karena pamflet bukan tabu bagi penyair/” begitu dituliskan Rendra dalam puisinya. Menurutnya, sudah semestinya seorang sastrawan berbicara tentang persoalan sosial dan politik melalui bentuk narasi yang paling kuat, yaitu puisi. Karena puisi selain memiliki sandingan fungsi estetik juga politik.Berbekal pendapat Rendra tersebut maka tidaklah tabu jika Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa membacakan puisinya yang sangat sarat dengan muatan politis pada acara puncak peringatan Bulan Bung Karno, di GBK Jakarta yang diinisiasi PDIP.


Sayangnya usai pembacaan puisi tersebut Butet banyak dicela oleh berbagai kalangan karena puisinya dianggap kasar, berisi fitnah, tendensius dan sekaligus provokatif tengah suhu tahun politik Indonesia yang mulai memanas. Bagaimana tidak, puisi Butet ini mengadopsi diksi-diksi kasardan wacana yang banyak digunakan buzzer-buzzer politik di kancah pertempuran sosial media. Dus, puisi yang ditulis dan dibacakan Butet tersebut lebih terasa sebagai cuitan dan orasi kampanye ketimbang puisi yang semestinya terasa estetik.


Pakar semiotika dari ITB, Dr. Acep Iwan Saidi, S.S., M.Hum secara tegas mengingatkan tentang batas-batas puisi yang semestinya tetap dipegang penyair ketika mereka berpamfletria.


“Licentia poetica memberi keleluasaan penyair untuk mengeksplorasi bahasa. Tapi, seleluasa-leluasanya, ia tetap berada pada batas poetica. Poetica itu sendiri bukan melulu soal bentuk, melainkan substansi. Puisi bukan hanya perkara kata ditata, melainkan juga makna dikelola,” jelas Acep.


Menurut Acep, apa yang dibacakan Butet di Gelora Bung Karno di hadapan ribuan massa PDI-P kemarin sebenarnya bukanlah puisi, melainkan hanya rangkaian kata sarkas yang disusun dalam rima sajak sehingga ia bernada. “Dengan itu, Butet pun berdeklamasi,” cibir Acep.


“Rima Butet tidak bisa disebut puisi sebab ia ‘melampaui batas’ licentia poetica sebagaimana diuraikan di atas. Rima Butet memaksa bahasa untuk mengeksploitasi persepsi dan menggiring publik masuk ke ruang gelap prasangka. Butet tidak menyebut nama. Tapi justeru dengan itu prasangka buruk dibangun. Bagaimanapun, teks tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks. Justeru di dalam konteks makna terbentuk,” papar Acep.


Lebih lanjut, Acep menyayangkan Butet melakukan hal tersebut tanpa meremehkan bahwa ia sendiri tidak dikenal sebagai seorang penyair. “Alih-alih mencipta puisi, dengan rima itu Butet justeru telah merusaknya. Butet melakukan semacam tindakan anarkis terhadap bahasa. Ditepuki berpuluh ribu massa, anarki terhadap bahasa dapat berubah menjadi anarki demokrasi,” tegas Acep.


Acep menyesalkan bahwa puisi Butet tersebut akan mengotori politik. “Di situ, puisi yang sejatinya dibayangkan bisa membersihkan politik yang kotor dus meluruskan yang bengkok sebagaimana diteriakkan Kennedy, justeru dengan rimanya Butet telah membetot puisi untuk kian mengotori dan membengkokkan politik,” ujarnya.


Secara berkelakar tapi serius, Acep menyindir kelalaian yang dilakukan Butet. “Hiks, jadi teringat selarik sajak Hans Enzesberger, “jangan tulis puisi, anakku, bacalah jadwal-jadwal keberangkatan!”. Entah jadwal apa yg dibaca Butet, entah kemana ia akan berangkat,” canda Acep satir. (JAKSAT)

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال