SERANG (KASTV) – Sidang ke-3 kasus gugatan wanprestasi PT Astra Credit Companis (ACC) Finance terhadap Adang Sopian di Pengadilan Negeri Serang menghadirkan saksi dari masing- masing pihak yang berperkara, Senin (23/10/2023).
Suganda, SH,.MH,. pengacara tergugat Adang Sopian usai persidangan terang-terangan
menuding saksi berbohong. Menurut Suganda, kebohongan Irni Wahyudi selaku saksi
penggugat adalah saat ia memberikan keterangan terkait angsuran dan tuduhannya
terhadap Adang Sopian yang sudah mengalihkan kredit mobil kepada pihak lain
padahal mobil masih dalam penguasaan Adang Sopian.
“Saksi Irni dalam persidangan menyatakan bahwa angsuran baru
masuk 1 bulan, padahal angsuran mobil sudah masuk 2 bulan yaitu dari dana
pencairan pinjaman, langsung dipotong 1 angsuran pertama Rp. 2.980.000 setelah
itu angsuran kedua melalui m-banking VA virtual account,” ujar Suganda.
“Kebohongan
kedua yang saksi katakan adalah mobil sudah di take over padahal mobil masih ada
dalam penguasaan konsumen (Adang Sopian-red) dan tidak di over alihkan ke pihak
ketiga, Jadi dipoint 1 itu saksi Irni menganggap dengan surat kuasa dari
seseorang bernama away, mobil itu telah di pindahtangankan padahal hanya di
backup,” ujar Suganda lagi.
Advokat yang kerap membela masyarakat lemah ini menambahkan,
ia akan melaporkan saksi ke polisi dengan tuduhan berbohong alias memberikan
keterangan palsu di persidangan.
“Klien kami ini masyarakat lemah yang berprofesi sebagai
buruh pabrik, kasian sudah dirampas mobilnya digugat pula di pengadilan dengan
tuduhan tak berdasar, terkait keterangan palsu yang saksi penggugat katakan di
persidangan kami punya buktinya,” ungkapnya.
Sementara itu Ketua Ikatan Lembaga Perlindungan Konsumen
Indonesia (ILI) Advokat Ujang Kosasih mengatakan berbohong
di pengadilan adalah tindak pidana. Ia menjelaskan
bahwa berbohong di dalam ruang sidang bukan saja suatu tindak pidana, tetapi
juga relatif berat dari sisi ancaman pidana.
Pasal 242 ayat (1) KUHP mengancam hukuman tujuh tahun bagi
siapapun dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik lisan
maupun tertulis, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang ditunjuk untuk itu.
Ayat (2) malah lebih berat, memuat ancaman maksimal sembilan
tahun siapapun yang memberikan keterangan palsu di persidangan jika keterangan
palsu itu ternyata merugikan terdakwa atau tersangka. Oleh ayat (4) pasal yang
sama, hakim diberi wewenang untuk menerapkan pidana tambahan berupa pencabutan
hak yang diatur dalam Pasal 35 KUHP.
Pengadilan bisa menerapkan Pasal 242 KUHP kepada saksi yang
memberikan keterangan ‘tidak sesuai hati nurani’. Jika keterangan menyangkut
pribadi saksi pun dibantah, kata pengacara Nazaruddin ini, hakim patut menduga
saksi bersangkutan memberikan keterangan palsu.
Menurut Advokat Ujang Kosasih, tak perlu memastikan seluruh
keterangan saksi adalah palsu. Sekalipun hanya sebagian keterangan yang
bersifat palsu, cukup alasan untuk menyeret saksi bersangkutan ke kursi
pesakitan. ini menunjuk yurisprudensi berupa putusan Hogeraad (HR) 25 Juni 1928
yang membuat norma penting:
"Suatu keterangan adalah palsu jika sebagian dari
keterangan itu adalah tidak benar, kecuali jika ini sedemikian rupa sehingga
dapat diperkirakan bahwa hal itu tidak disengaja dalam memberikan keterangan
palsu."
Penegasan serupa pernah disampaikan oleh Asep Irawan dalam
sebuah talk shownya di salahsatu stasiun televisi swasta. Mantan hakim yang
kini beralih profesi menjadi akademisi ini mengatakan seluruh pembuktian
dilakukan untuk meyakinkan hakim apakah perbuatan terdakwa terbukti. Keterangan
saksi salah satu alat bukti. Maka, ‘hakim punya hak untuk menilai keterangan
saksi’.
Menurut Asep, keyakinan dan ketegasan hakim diperlukan.
“Dibutuhkan ketegasan hakim,” ujarnya.
Secara teknis, Asep melanjutkan, begitu yakin saksi
berbohong, hakim menskor sidang untuk berunding dengan anggota majelis. Jika
majelis sepakat, hakim tinggal mengeluarkan penetapan. Tidak perlu ada
pengaduan terlebih dahulu sebelum hakim menetapkan menahan saksi yang
berbohong. Cuma, hakim jangan lupa untuk memperingatkan saksi bahwa memberikan
keterangan palsu di bawah sumpah adalah tindak pidana dan bisa diproses hukum.
Pada bagian lain, Advokat Ujang Kosasih, mengutip memori jaksa dalam
putusan MA No. 2534 K/Pid/2007 – menyebutkan kesengajaan memberikan keterangan
palsu adalah kesadaran bahwa keterangan yang diberikan itu sebenarnya palsu
atau bertentangan. Di dalam peradilan, kesadaran tersebut harus dinyatakan
telah terbukti.
“Berdasarkan yurisprudensi, sebagian saja dari keterangan
saksi dinyatakan palsu, cukup alasan menjeratnya dengan pasal 242 KUHP.
Kuncinya, keyakinan dan ketegasan hakim. Saya berharap dalam perkara yang
menimpa masyarakat lemah seperti Adang Sopian ini, majelis hakim akan memutus
perkara ini dengan seadil – adilnya dengan mengedepankan hati nurani,”
pungkasnya.
Reporter:
rso/ak
Editor: red