Aliansi Bantuan Hukum Pers Prihatin, Wartawan Diduga Jadi Korban Kriminalisasi Oknum Polisi di Ngawi

Aliansi Bantuan Hukum Pers Prihatin, Wartawan Diduga Jadi Korban Kriminalisasi Oknum Polisi di Ngawi



NGAWI  (KASTV) - S Hartono Aliansi Bantuan Hukum Pers sangat prihatin dan menyayangkan perilaku oknum aparat di Ngawi. Keprihatinan itu terkait dugaan kriminalisasi terhadap wartawan berinisial BS.


S Hartono menjelaskan, dugaan kriminalisasi itu terkait penanganan kasus BS yang dituduh telah melakukan pemerasan terhadap oknum panitia PTSL.


"Jadi kasus itu ditangani oleh Iptu ES selaku kanit. Awalnya BS dilaporkan oleh TR oknum panitia PTSL. Laporan itu antara bulan April 2023,"ucap S Hartono.


Lalu, lanjut S Hartono, dan pada Rabu 1 November 2023 kasus itu dilimpahkan ke kejaksaan.


"Prinsip kami mengapresiasi kinerja aparat penegak hukum. Namun sisi lain ada dugaan rekayasa dan pesanan dalam penangananya,"ucap Hartono.


Hartono menguraikan, kasus itu bermula BS menulis berita terkait dugaan adanya pungutan PTSL di salah satu desa yang ada di wilayah Kabupaten Ngawi. Lalu setelah berita itu terbit, tiba tiba BS dipanggil oleh panitia PTSL.


"BS dipanggil yang katanya di ajak musyawarah. BS pun sempat menanyakan apa yang perlu dimusyawarahkan. Jika terkait berita kan sudah dilakukan klarifikasi dari berbagai pihak. Apa ada yang salah,"ucap Hartono sebagaimana disampaikan BS.


Panitia PTSL juga sempat meminta berita untuk di hapus. Namun BS menolak dan menyampaikan jika dinilai dalam penulisan berita tersebut ada yang keberatan silahkan mengirimkan hak jawab.


Panitia PTSL pun menyampaikan jika berita tidak ada yang salah. Namun minta kalau bisa berita dihapus. BS pun tetap menolak.


"Namun diluar itu,   pemerintah desa meminta kerjasama dan terjadi kerjasama advetorial selama 3 tahun dan terjadi kesepakatan. Dan itu tidak ada kaitanya dengan pemberitaan PTSL,  sehingga BS juga menyanggupi dan telah melaksanakan kewajibanya sebagaimana dalam kerjasama adv publikasi. Dan kesepakatan itu dengan kades bukan TR,"terang Hartono.


Namun selang beberapa waktu justru BS dipanggil Iptu ES dengan tuduhan dugaan pemerasan dan proses itu pun berjalan. BS pun mengikuti proses hukum yang berlaku. Dan dari keterangan beberapa saksi pun menyebutkan bahwa tidak ada pemerasan dalam pertemuan tersebut.


"Jadi dalam pertemuan itu atas kemauan panitia PTSL dan bukan kemauan BS. Dan saat pertemuan itu juga ada anggota Polisi juga. Lah kalau itu dianggap pemerasan kenapa tidak ditangkap pada saat itu juga. Menurut saya ada yang janggal,"tandas Hartono.


Setelah proses hukum berjalan, SP seorang penyidik  yang menangani perkara BS menyarankan agar BS meminta maaf kepada TR untuk meminta maaf. BS pun semula menolak jika harus minta maaf dengan TR karena ia merasa tidak pernah menerima apalagi meminta uang kepada TR. Dan terkait uang yang ia terima itu bentuk kerjasama denga kepala desa dan sudah saling disepakati.


"Namun karena SP terus menyarankan itu, maka terpaksa  BS dengan didampingi kuasa hukumnya melakukan upaya meminta maaf kepada TR. Pertemuan antara BS dan TR pun dilakukan. Dalam pertemuan itu telah terjadi kesepakatan yang mana TR meminta BS untuk meminta maaf secara tertulis serta mengganti biaya kerugian yang timbul dan lainya. Jika dipenuhi itu TR akan mencabut laporanya,"jelas Hartono.


Lalu, masih kata Hartono, BS pun memenuhi syarat permintaan TR dan memenuhi penggantian kerugian sebesar Rp 20 juta.  Setelah permintaan sebagai syarat dipenuhi, selanjutnya antara BS dan TR bersama sama menandatangani surat pernyataan damai. Setelah itu TR pun menyabut laporannya di kantor polisi.


"Karena sudah saling sepakat, TR pun mencabut laporannya. Artinya TR juga baik dan memenuhi kewajibanya. Namun berdasar pengakuan saat mencabut laporan itu kena bayar Rp 5 juta yang katanya untuk tinggalan. Kan kasihan to, TR itu niatnya baik eh kena juga,"papar Hartono.


Hartono menambahkan, setelah laporan dicabut, justru BS ditetapkan tersangka dan uang Rp 20 juta dari BS yang diserahkan ke TR di sita yang katanya untuk barang bukti. 


"Uang itu disita karena sebagai barang bukti uang hasil pemerasan BS. Kan lucu, barang bukti kok di sita dari pelapor yang sudah mencabut laporannya. Tapi biar publik yang menilai saja. BS tetap patuh dan mengikuti proses sesuai prosedur,"ucap Hartono.


Dan setelah BS ditetapkan tersangka, kami dibantu rekan aparat juga melakukan investigasi untuk menggali kebenaranya. Ternyata ya ada dugaan skenario untuk memperkerakan BS. Yang jelas menurut kami dan analisa para pakar hukum pidana penanganan kasus BS tidak sesuai etik.


"Ya dari hasil investigasi dan dibantu rekan rekan yang diduga kerap dijadikan  sapi perah Iptu ES menceritakan ke kami. Saat ini sudah kita kantongi,"terang Hartono.


Dan soal, perkara BS, kami juga berkonsultasi ke rekan propam serta penyidik senior."Kami mau melangkah dari awal, namun pihak BS melarang karena masih menjaga kerjasama dan kemitraan dengan kantor tempat tugas Iptu ES,"tutur Hartono.


Kami melakukan investigasi bersama tim karena merasa prihatin. Dalam investigasi itu kami juga melibatkan tim IT dari Jakarta memantau kegiatan Iptu ES. 


Ketika ditanya apa kegiatan Iptu ES, Hartono enggan menjelaskan."Kami belum bisa menyampaikan. Itu nanti akan kami layangkan ke propam Mabes Polri serta akan kami layangkan ke IPW agar bisa menjadi kajian,"tandasnya.


Intinya, lanjut Hartono, kami masih fokus mempersiapkan surat terkait dugaan kriminalisasi terhadap wartawan terlebih dahulu."Soal temuan, itu setelahnya pasti kita layangkan,"pungkas Hartono. 


Sementara itu, Iptu ES sampai berita ini diturunkan belum bisa dikonfirmasi. (Agm)

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال