Opini Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn*)
Ketika Kaesang Pangarep secara cepat diangkat menjadi Ketua
Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan sebelumnya putra dan menantu
Presiden Joko Widodo (Jokowi) masing-masing menjadi Wali Kota Solo dan Wali
Kota Medan, dan terakhir Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres Prabowo
Subianto dengan bermodal keputusan MK Nomor 90 yang dinilai cacat hukum, maka
ada komentar tentang ”politik dinasti Jokowi”.
Praktik KKN di Indonesia bukan lagi sebuah fenomena, bahkan
sudah merupakan fakta. Setelah runtuhnya orde baru, besar harapan rakyat bahwa
fenomena ini akan berakhir sebagaimana berakhirnya Orde Baru tersebut.
Tetapi nyatanya tidak, justru malah tumbuh subur dan semakin
parah, dan fenomena ini sudah mengakar dari hulu sampai hilir, sudah membudaya
dari pusat hingga daerah. Menurut sejumlah pakar dan tokoh nasional, KKN
akhir-akhir ini dianggap sebagai wujud yang paling ganas dari gejala
kemerosotan moral dari kehidupan
masyarakat dan bernegara di negeri kita.
KKN imenjadi produk dari relasi sosial politik dan ekonomi
yang pincang dan tidak manusiawi. Relasi yang dikembangkan adalah relasi yang
diskriminatif, alienatif, tidak terbuka dan melecehkan kemanusiaan, seperti
halnya lahir Putusan MK no 90, yang memberi karpet merah Gibran untuk
melenggang di bursa cawapres di Pilpres 2024.
Kekuasaan dianggap sebagai sebuah privilege bagi kelompok
(kecil)tertentu, serta bersifat tertutup dan menempatkan semua bagian yang lain
sebagai objek-objek yang tak punya akses untuk berpartisipasi. Setiap bentuk
kekuasaan (baik politik, sosial, maupun ekonomi) yang tertutup akan menciptakan
hukum-hukumnya sendiri demi melayani kepentingan penguasa yang eksklusif.
Lolosnya Gibran melenggang ke bursa cawapres, ditengarai
sebagai bentuk nepotisme. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara
negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme
adalah tindak pidana dengan ancaman pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 22
UU 28/1999.
Berdasarkan Bab I Pasal 1 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN:
"Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang
memiliki kekuasaan eksekutif tertinggi di Indonesia [ Pasal 21 menetapkan bahwa penyelenggara
negara atau anggota komisi pemeriksa yang terbukti melakukan kejahatan itu
diam-diam sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 akan dikenai hukuman pidana
penjara dengan rentang waktu minimal 2 tahun dan maksimal 12 tahun.
Majunya Gibran diduga kuat jokowi melakukan kolusi dan
nepotisme. Publik pun mempertanyakan, apakah pemilu benar-benar bisa berjalan
dengan jujur dan adil sebagaimana yang didengungkan.
Bagaimana pemilu jujur bisa berlangsung kecuali Jokowi
mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Rakyat Indonesia tentu berharap, reformasi tidak
diselewelengkan dan dikhianati hanya demi kepentingan kelompok kecil tertentu.
Arah reformasi mesti kita tuntaskan. Demokrasi yang berjalan jurdil, situasi
yang bisa berjalan pada rel dan kita selenggarakan dengan betul-betul membawa
integritas yang jauh, jauh sekali dari unsur KKN, harus kita pastikan.
Sebagaimana disampaikan Prof. Mahfud, pemimpin yang benar
dilahirkan dari proses yang benar, jujur, adil dan tidak main tipu-tipu.
Indonesia bakal mendapat berkah apabila lahirnya
kepemimpinan dilakukan secara berkeadaban, demokratis, serta dengan proses
Pemilu yang jujur, bukan akal-akalan hanya untuk menuntaskan hasrat ingin terus
berkuasa dengan berbagai cara.
*) Praktisi Hukum tinggal di Jakarta