Opini Imam Shamsi Ali
Pagi kemarin waktu New York saya tidak berkesempatan mengikuti (menonton) debat cawapres secara langsung (live). Kebetulan saya hadir di acara interfaith breakfast Walikota New York. Sebuah acara yang telah menjadi tradisi tahunan di kota New York sebagai rasa syukur atas segala kenikmatan tahun ini sekaligus harapan dan doa untuk yang lebih baik di tahun depan. Acara ini diikuti oleh tokoh-tokoh agama senior di Kota New York, anggota DPRD, Kepolisian, dan pejabat lainnya.
Kebetulan pula hari ini adalah Jumat keempat di saat saya dijadwalkan untuk menyampaikan khutbah di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa New York. Dalam khutbah kali ini saya menyampaikan lima permasalahan mendasar (foundational problems) yang dihadapi oleh umat manusia. InsyaAllah tulisan ringkasan khutbah akan disusulkan dalam waktu dekat.
Kembali ke isu yang ingin saya sampaikan kali ini, yaitu debat cawapres pertama yang terjadi tadi malam waktu Indonesia atau pagi tadi waktu New York. Sejujurnya saya belum mendengarkannya secara menyeluruh. Tapi telah menyimak beberapa bagian, sekaligus melihat perkembangan debat antar pendukung yang terjadi di beberapa media sosial.
Secara umum seperti debat capres debat cawapres berjalan dengan baik. Tapi saya masih mempertanyakan alasan tradisi membaca doa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya yang kini diganti dengan hening cipta. Saya katakan hening cipta karena walaupun diakui doa tapi acara itu dimulai dengan kata-kata “doa dimulai” persis seperti dengan kata-kata “hening cipta dimulai”. Lalu diakhiri juga dengan hal sama: “doa selesai” perisi ketika pemimpin upacara mengatakan “hening cipta selesai”.
Saya kembali mempertanyakan ini, karena terlepas dari tendensi tafsiran politis yang ada terkait dengan doa, ada dua hal mendasar yang perlu diingat.
Satu, doa khususnya dalam perspektif Islam adalah “mukhkhul ibadah” (intisari ibadah). Dan karenanya dalam konteks negara Pancasila yang berketuhanan, doa sekaligus merupakan simbolisasi ketaatan kepada agama dan falsafah negara, Pancasila.
Dua, selama ini sebagai mayoritas biasanya doa dipimpin oleh seorang ustadz/kyai atau ulama. Dengan cara hening cipta ini jangan-jangan sekaligus pesan bahwa status itu jangan lagi menjadi konsideran. Sehingga melalui hening cipta ingin disampaikan pesan status umat Islam sebagai mayoritas jangan lagi jadi pertimbangan. Tentu ini “mind reading” (bacaan kepala saya) saja. Semoga saya salah.
Terlepas dari semua itu saya melihat memulai sesuatu yang baik dengan tradisi doa tetap harus dilanjutkan. Kalaupun kata “Amin” nantinya menggema, jika ini yang menjadi kekhawatiran, Kenapa justeru dipolitisir? Itu kan konsekswensi dari sebuah peristiwa yang terjadi di luar kontrol pasangan yang menamai diri “amin”.
Substansi debat cawapres
Saya melihat debat cawapres ini tidak lepas dari tendensi adanya pihak yang diuntungkan dengan pengaturan yang terjadi. Sekali lagi ini sangkaan saya saja. Bahwa pemilihan tema-tema seolah memang direserve disesuaikan kepada kepentingan siapa.
Kita semua tahu bahwa penentuan tema debat tentu akan banyak terkait dengan spesialisasi masing-masing kandidat. Berbeda dengan debat capres/cawapres di Amerika yang biasanya memang kandidat itu menguasasi semua lini bidang yang akan diperdebatkan. Tapi di Indonesia ada kekakuan spesialitas (speciality rigidity) para calon.
Prof. Mahfud MD dengan seabrek keilmuan dan pengalaman yang dimilikinya nampak sangat kaku dan kurang mampu mengkomunikasikan ide-ide besar yang ingin disampaikan kepada konstituen. Bahkan terasa hampir semua isu yang diperdebatkan dibelokkan menjadi isu hukum yang memang menjadi spesialisasinya.
Gibran nampak cukup percaya diri. Komunikasi lancar tidak lagi irit kata seperti yang selama ini kita lihat. Hanya saja jika didalami secara substantif poin-poin yang disampaikan Gibran menjadi hambar bak debate anak remaja yang saling bertujuan menjatuhkan lawannya. Sehingga walaupun selalu menyampaikan “permintaan maaf” sebagai tradisi Jawa seolah tidak bermaksud menyerang, tapi tetap tidak bisa disempunyikan dia memang ingin menyerang lawan mencari titik lemah untuk menjatuhkan.
Cawapres nomor satu Gus Muhaimin nampak sangat santai. Walaupun terkadang tidak menyadari bahwa setiap detik berlalu jatah berbicara juga berlalu. Sehingga kadang keinginan menghibur didahului dengan candaan menjadikannya kehilangan momentum. Saya kira ini menggambarkan kepribadian Muhaimin yang memang riang dan senang bercanda. Secara substantif penyampaian Muhaimin cukup baik. Hany sering kehilangan momentum untuk menyampaikan poin-poin yang ingin disampaikan.
Saya tidak bermaksud membahas semua isu yang terkait dengan debat cawapres kali ini. Tapi seperti pada debat capres, selain aspek substansi, juga aspek komunikasi dan dan penataan emosi para calon menjadi sangat penting. Komunikasi menjadi penting karena pemimpin harus berkarakter tablig, yang salah satunya berarti mampu menyampaikan (mengkomunikasikan) ide dan gagasan baik kepada rakyatnya maupun ke dunia internasional. Kontrol emosi menjadi penting karena pemimpin akan menghadapi berbagai tantangan atau sebaliknya godaan dalam kepemimpinan.
Baik pada aspek komunikasi maupun aspek emosional ketiganya cukup baik. Gibran pastinya telah diwanti-wanti oleh timnya untuk tampil dengan lebih percaya diri. Kemungkinan timnya berpesan: “jangan lihat Mahfud MD sebagai Professor atau Menteri. Jangan lihat Muhaimin sebagai Ketum partai dan mantan menteri. Anda selevel dengan mereka karena posisi anda juga cawapres”.
Apapun itu saya ingin menyampaikan satu hal yang lucu sekaligus membuktikan kelicikan Gibran. Salah satunya adalah ketika menanyakan suatu masalah ke Muhaimin yang terkait dengan pemasaran produk-produk halal atau dan perkembangan keuangan Syariah. Gibran sengaja bertanya dengan memakai singkatan kata yang memang tidak populer, bahkan tidak dipakai secara umum oleh masyarakat dan pelaku produk Syariah global.
Suatu singkatan walaupun itu terpakai di dalam sebuah institusi atau apapun, kalau tidak secara umum dipakai oleh pelaku istilah tersebut, apalagi masyarakat umum maka di saat menyebutkan harus disampaikan secara menyeluruh. Kata SGIE misalnya yang dipakai oleh Gibran adalah singkatan yang baru terpakai oleh Dinarstandard Dubai. Singkatan ini dipahami sebagai “State of the Global Islamic Economy”. Sebuah istilah yang tidak dipakai secara umum di dunia global, bahkan di dunia Islam sekalipun.
Saya kira sangat wajar jika Muhaimin tidak memahami singkatan itu. Bukan tidak paham substansi dari permasalahan. Tapi pertanyaan yang tidak tuntas dan tidak jelas. Apalagi sebuah singkatan dari bahasa Inggris yang kemudian ditanyakan memakai standar bahasa Indonesia: Es Ge ii Ee. Pastinya Muhaimin menyangka jika itu sebuah singkatan dari bahasa Indonesia.
Menanggapi situasi ini saya melihat pendukung Gibran bersorak, seolah memenangkan pertarungan hebat. Padahal itu adalah akal-akalan yang licik yang tidak menyentuh substansi permasalahan. Tapi sekali lagi hal itu menunjukkan karakter yang tanpa disadari mengekspos diri dengan ketidak jujuran.
Saya pada akhirnya hanya ingin mengatakan bahwa baik Muhaimin maupun Mahfud MD sangat dewasa dan berhati-hati. Kalau Mahfud mungkin karena bangaimanapun dia masih menteri dari sang ayah Gibran. Sementara Muhaimin memang memiliki karakter yang selalu mencoba menyenangkan semua orang. Tentu sebagai politis tapi juga sebagai santri.
Saya hanya ingin mengakhiri bahwa sepenting apapun debat yang kita pahami ini, proses-proses yang terjadi pada pilpres kali ini akan tetap menghantui pemikiran masyarakat. Bahwa proses politik khususnya dalam pencalonan kali ini terjadi pemerkosaan etika yang tidak bisa dipandang enteng. Cacat etika pencawapresn Gibran akan tetap menjadi catatan sejarah bangsa ke depan apapun hasil dari pilpres itu.
Saya hanya berharap pada debat cawapres mendatang Muhaimin akan bertanya kepada Gibran tentang: AJKN (Anak Jada Konstitusi Negeri) atau PBP (Premature Born Politician).
London, 22 Desember 2023