Opini oleh Agus Wahid
JAKARTA – Beberapa waktu lalu,
tiba-tiba, Menteri Dalam Negeri, Jend. Polisi (purn.) Tito Karnavian
menyampaikan, “Anies bisa saja terbunuh dalam acara kampanye”. Sebuah
pernyataan psywar (teror), atau peringatan keras? Yang perlu kita analisis
lebih jauh, jika terjadi pembunuhan politik, bagaimana dampaknya bagi
stabilitas negara ke depan?
Pernyataan mantan Kapolri itu – bisa saja – kita catat
sebagai teror mental Anies.
Arahnya, agar Anies membatasi diri kegiatan politiknya sebagai calon presiden
(capres), meski kini masih dalam masa kampanye resmi. Harapannya, pembatasan
kampanyenya akan mengurangi jangkauan seluruh bangsa Indonesia mengenali apa
dan siapa jatidiri Anies. The main goalnya, Anies tak terpilih sebagai Presiden
RI ke delapan.
Bisa juga, pernyataan Kemendagri itu merupakan peringatan
keras: Anies jangan
memaksakan diri untuk tampil sebagai Presiden, meski demi kebaikan negara.
Atau, memperingatkan kepada seluruh pemilih agar tidak memilih pasangan
Anies-Muhaimin (AMIN).
Psywar ataupun peringatan keras Tito sungguh lucu. Pertama,
dia tidak mamahami kultur demokrasi, dimana kampanye bagian dari proses dan
upaya mengenalkan jatidiri kandidat kepada publik. Di negara manapun yang
menganut sistem demokrasi, maka proses rotasi kekuasaan diawali dengan program
sosialisasi ke seluruh rakyat sebagai calon pemilih. Rakyat berhak tahu
kualitas jatidiri dan integritasnya, bahkan arahnya mau bawa ke mana negara dan
rakyatnya. Ini bagian dari edukasi politik. Inilah urgensinya sosialisasi
kandidat.
Kedua, apa yang disampaikan Tito merupakan gambaran
perampasan secara paksa terhadap hak kandidat dalam menyampaikan gagasan
sekaligus menyerap aspirasi yang kelak bisa dirumuskan sebagai program
strategik kenegaraan. Sisi lain, apa yang dilontarkan Kemendagri juga tergolong
merampas hak publik yang ingin mengetahui jatidiri dan program kandidat dalam
memimpin negeri ini. Hal ini – perampasan hak terhadap kandidat dan atau rakyat
– jelas-jelas merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi (Pasal 28 UUD
1945).
Kita perlu mencatat, apakah yang dilakukan Tito sebagai
tindakan inisiatif pribadi, atau kreasi dalam menterjemahkan perintah istana
selaku atasannya? Boleh jadi, tindakan itu inisiatif dan kreasinya. Tapi, tidak
tertutup kemungkinan, tindakan itu perintah sang penguasa, meski secara
“halus”. Dalam hal ini Komisi II DPR RI harus memanggil seorang Kemendagri
untuk meminta keterangan yang jelas dari pernyataan yang menggambarkan rencana
pembunuhan politik.
Eksekusi itu tidaklah sulit. Dengan kerumunan ribuan massa,
sang penembak jita tetap mudah menembaknya. Tanpa penembak jitu pun, tidak
sulit untuk mengeksekusi (membunuhnya). Di tengah keramain, terdapat penyusup,
lalu – dalam radius pendek – ia meledakkan granat yang berkekuatan eksplosif.
Memang, yang menjadi korban tidak hanya capres. Tapi, kalangan masyarakat yang
ada di sekitarnya berpotensi menjadi korban.
Jika eksekusi itu terjadi – dibidik langsung oleh penembak
jitu ataupun ledakan granat – maka, secara langsung akan menimbulkan reaksi
frontal. Tidak hanya di dalam negeri. Masyarakat dan para tokoh dunia pasti
akan mengecam tindakan biadab itu. Reaksinya pun tidak hanya sebatas kecaman
atau mengutuk.
Dalam waktu sekejap, tragedi itu akan berbuah menjadi
prahara nasional. Kita perlu mencatat daya magnet Anies begitu meluas: dari
Sabang sampai Merauke. Selama ini Anies benar-benar dielu-elukan. Jutaan rakyat
menaruh harapan kepada Anies sebagai
Presiden RI ke delapan. Untuk memerbaiki kondisi negeri ini yang sudah demikian
rusak, dari sisi ekonomi, hukum, bahkan politik dan lingkungan. Semua ini
berdampak sangat jelas pada panorama ketidakadilan sosial-ekonomi. Sebagian
rakyat juga sudah merasakan ketidaknyamanan. Senantiasa dibayang-bayangi
intimidasi, kriminalisasi bahkan nyawa yang harus siap melayang jika dirinya
sering melontarkan kritik tajam kepada sang rezim.
Ekspektasi besar rakyat terhadap Anies itu
yang akan menggerakkan berbagai komponen masyarakat, besifat lintas agama,
etnik dan bahkan kekuatan formal dan informal akan terpanggil untuk melawan
kekuatan “teroris” yang diinisiasi sang rezim. Cara padang ini akan
menggerakkan berbagai komponen itu melakukan reaksi frontal. Pusat-pusat
perbelanjaan milik aseng dan sejumlah instalasi strategis akan menjadi sasaran
kemarahan.
Kemarahan itu tidak hanya di tengah kota-kota besar. Tapi,
seluruh penjuru daerah, Mereka akan terpanggil untuk melakukan aksi yang tak
diharapkan itu. Maka, revolusi tak bisa dieelakkan. Di depan mata, terjadi
sejumlah aksi pembakaran. Bahkan – tidak tertutup kemungkinan – aksi itu akan
merambah ke komponen yang dinilai sebagai antek-antek penguasa. Dari anasir
partai politik pembela rezim saat ini, ataupun ASN yang selama ini berada di
lingkaran istana.
Perang saudara akan pecah. Siapapun yang dinilai sebagai
antek rezim akan menjadi sasaran kemarahan. Sebuah renungan, apakah suasana
prahara ini memang yang didesain penguasa? Secara teoritik, suasana cheostik
itu memang yang dirancang. Agar, pemilu gagal terlaksana. Dan untuk
menghentikan pemilu hanya satu strategisnya: menghabisi capres pilihan rakyat
(pinilih). (Dari Opini
berjudul Jika Anies Terbidik: Revolusi Total Membara, Sumber HAJINEWS)