Jakarta (KASTV) - Perusahaan tambang nikel PT Putra Kendari Sejahtera (PT PKS) yang beroperasi di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terus mendapat sorotan dari kalangan aktivis anti korupsi, pemerati hukum lingkungan hingga putra daerah Sultra. Aktivitas pertambangan tersebut diduga kuat melakukan aktifitasnya secara ilegal sehingga mengakibatkan kerugian negara mencapai triliunan rupiah.
SPSJ Resmi Adukan PT PKS ke KPK RI
Suara Pemuda Sultra-Jakarta (SPSJ) secara resmi telah mengadukan PT Putra Kendari Sejahtera (PKS) ke Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) pada Jumat (15/12/2023).
Ketua SPSJ, Ikhsan Jamal membeberkan alasan atas pengaduannya dikarenakan adanya indikasi yang diduga kuat terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan oleh PT PKS atas penambangan nikel di Kawasan Hutan Produksi Terbatas tanpa memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sehingga mengakibatkan kerugian negara dengan angka yang cukup fantastis.
“Seusai kami melakukan pengaduan, atas nama lembaga Suara Pemuda Sultra Jakarta, kami juga meminta KPK RI untuk segera melakukan penyelidikan terhadap kerugian negara atas aktivitas ilegal PT PKS di atas kawasan hutan dan juga melakukan penelusuran terhadap pembayaran pajak PT PKS,” ujar Ikhsan Jamal.
Pihaknya juga mengatakan bahwa perusahaan yang dalam struktur pemegang saham mayoritasnya sebesar 70% dimiliki oleh Anton Timbang (AT) itu diduga mendapat bekingan aparat sehingga aktivitas ilegal perusahaan tersebut dapat berjalan mulus.
Kemen ESDM Diminta Tahan RKAB PT PKS
Badan Koordinasi Nasional Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Bakornas LKBHMI PB HMI) juga turut menyorot aktivitas pertambangan nikel PT PKS yang beroperasi di dalam Kawasan Hutan Produksi tanpa memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Direktur Eksekutif Bakornas LKBHMI PB HMI, Syamsumarlin mengatakan bahwa aktivitas ilegal PT PKS di dalam kawasan hutan tersebut tidak hanya merugikan sektor penerimaan negara, akan tetapi juga akan membawa dampak buruk terhadap keberlanjutan lingkungan hidup dan kehutanan serta akan merugikan masyarakat dan alam sekitar sehingga dirinya mendesak pemerintah harus mengambil langkah tegas.
“Selain merugikan negara, operasi tambang nikel PT PKS di dalam kawasan hutan tanpa IPPKH juga akan mengancam ekosistem lingkungan dan hutan serta merugikan masyarakat sekitar. Pemerintah harus mengevaluasi dan memberikan sanksi yang tegas untuk mencegah hal tersebut terjadi semakin parah”, Tegas Syamsumarlin saat dimintai pendapatnya di Jakarta, Minggu pagi (28/01/2024).
Pihaknya pun mempertanyakan sikap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang terkesan menutup mata atas hal tersebut dan meminta Menteri ESDM untuk menahan dan tidak menyetujui Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Putra Kendari Sejahtera (PT PKS) untuk periode 2024-2026. Hal tersebut harus dilakukan sebagai upaya untuk mencegah dampak dan kerugian yang lebih serius.
Dimana diketahui bahwa berdasarkan surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, tertanggal 29 Agustus 2023, yang ditujukan kepada Direktur Utama PT PKS pada pokoknya telah menolak permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dari PT PKS, artinya secara resmi PT PKS tidak mengantongi izin dalam melakukan aktivitasnya di kawasan hutan.
Bahwa selain melakukan dugaan pidana kehutanan, pemilik AT dan JY sebagai pemilik PT PKS diketahui telah menjual dokumen RKAB tahun 2022 sebanyak 385.692.183 metric ton atau 47 tongkang untuk kepentingan pemasaran nikel PT D Group senilai Rp. 270 milyar.
Hal ini dapat dibuktikan dari Jetty atau Pelabuhan yang digunakan yakni Jetty atau Pelabuhan D Group yang jaraknya sejauh 60 km dari konsesi PT PKS yang tidak memiliki akses jalan hauling, sebagaimana rilis yang dikeluarkan oleh maki dan hal ini wajib ditindak lanjuti oleh Kejagung RI.
Berdasarkan data penjualan di Ditjen Minerba, dengan memakai IUP OP PT MB, AT menjual dokumen RKAB Tahun 2022 untuk kepentingan pemasaran nikel PT T dan CV UB sebanyak 349.130.58 metric ton atau 43 tongkang senilai Rp. 248 milyar.
"Perbuatan ini tentu bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM RI No. 07 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 66 huruf b. Pemegang IUP dilarang menjual hasil penambangan yang bukan dari hasil penambangan sendiri," tegas Ikhsan selaku Ketua SPSJ. (Ahmad)