Opini oleh Imam Wahyudi- Jurnalis senior tinggal di Jawa Barat
Pertempuran sesungguhnya Pilpres 2024 akan terjadi di Jawa Barat. Mungkinkah Prabowo Subianto yang unggul lagi? Belum tentu. Justru Anies Baswedan yang diprediksikan merubah peta kekuatan di Tanah Parahyangan itu. Bersamaan dengan fenomena gerakan rakyat yang kian menggelinding.
Berangkat dari persaingan dalam dua pilpres sebelumnya. Jokowi vs Prabowo. Mengingatkan el clasico Barcelona vs Real Madrid di Liga Spanyol. Selalu menarik untuk ditonton. Jokowi kalah perolehan suara. Prabowo dua kali menang pada Pilpres 2014 dan 2019.
Peta kekuatan sangat mungkin berubah. Bila dikaitkan dengan andalan figur gubernur, maka hasil pun bisa berbeda. Kemenangan Prabowo diwarnai peran Ahmad Heryawan (Aher) sebagai Gubernur Jabar saat itu selama dua periode. Aher dengan basis PKS mendukung Prabowo. Kali ini, andalannya Ridwan Kamil (RK) yang juga mantan gubernur pada periode berjalan. RK dengan basis Partai Golkar menjadi bagian dari koalisi Prabowo. Sebaliknya Aher (baca: PKS), kali ini menjadi pendukung utama capres Anies Baswedan. Peta kekuatan, praktis berubah.
Saat PDIP menetapkan Ganjar Pranowo sebagai capres, tak lama kemudian — seseorang kolega mengajak diskusi kecil di Bandung. Tentu saja, obrolan warkop pada akhir Juni itu — Ganjar yang berlabel PDIP masih (beranggapan) berkolaborasi dengan Jokowi yang dikenal jurus cawe-cawe. Dari sini, timses Ganjar ingin prioritaskan raihan suara di Jabar.
Kalkulasi yang bahkan disorot sejak dini itu tak lepas dari perolehan suara Jokowi dalam dua pilpres sebelum ini. Jokowi (baca PDIP) cuma unggul di kawasan Pantura. Meliputi Indramayu, Subang, dan dua Cirebon. Satu lainnya di Kab. Pangandaran. Selebihnya milik Prabowo.
Pada Pilpres 2014, Prabowo raih 14,17 juta suara (59,78%). Jokowi hanya 9,53 juta suara (40,22%). Unggul 4,64 juta suara dengan 23,99 juta pemilih atau 70,93% dari jumlah hak pilih 33,82 juta. Pada Pilpres 2019 yang dibayangi kecurangan, Prabowo raup 16.077.446 suara (61,24%). Jokowi kalah lagi dengan 10.750.568 suara (38,76%). Perolehan itu dari 26.828.014 suara sah, dari 27.476.079 pengguna hak pilih.
Perhatian Ganjar terhadap kejaran suara di Jabar, rasanya tak berubah. Tapi terkait tapak jejak suara Jokowi yang sebelumnya berlabel PDIP, tentu relatif bakal berubah. Kali ini, justru Ganjar harus berhadapan dengan Jokowi. Sebaliknya, presiden yang mestinya “netral” — berubah arah. Mendukung Prabowo yang dipasangkan anak sulungnya, Gibran. Seolah tak ada urusan “masih bau kencur”, lantas distempel sebagai politik dinasti.
Perolehan Jokowi di lima kab/kota di atas pada Pilpres 2019, rata-rata di bawah satu juta suara. Meski terpilih menjadi presiden, Jokowi yang kali ini “berlabuh” ke capres Prabowo — jejak perolehan suara di Jabar tidak menggembirakan. Sebaliknya, kemenangan Prabowo dalam dua pilpres itu dimungkinkan dukungan kalangan agamis dan maraknya barisan komunitas emak-emak di berbagai penjuru Jabar.
Sekurangnya dua poros kekuatan dukungan tersebut, berkecenderungan kuat berbalik arah. Di antaranya lewat Ijtima Ulama di Bogor, 18 November 2023 yang tak lagi mendukung Prabowo. Bahkan Prabowo-lah, justru telah lebih dulu memalingkan dukungan itu sendiri. Prabowo kebelet gabung dengan Jokowi sebagai presiden terpilih. Bahkan tak lama, dinyatakan adanya kecurangan Pilpres 2019. Terindikasi dari pengumuman KPU yang dilakukan tengah malam hingga tragedi Bawaslu pada 21-22 Mei 2019 yang menelan enam korban jiwa. Aksi massa menolak hasil rekapitulasi KPU yang sebelumnya tercatat 894 petugas KPPS meninggal dunia.
Pengalihan dukungan tak lepas dari fenomena gerakan rakyat yang terinspirasi performa capres Anies Baswedan. Terlebih Anies sebagai pituin Jawa Barat yang terlahir di Kuningan, 07 Mei 1969. Anies menginspirasi “gerakan rakyat”. Bergerak sejalan deret ukur sedari prestasi dan reputasi selama lima tahun terakhir memimpin ibukota Jakarta. Dengan semangat perubahan yang potensial membius arah dukungan kepada Anies Baswedan. Tapak jejak yang mengolah rasa dan nurani warga, yang berbeda dengan frasa “(baru) akan dilakukan”. Adu gagasan yang tak sebatas (janji) harapan.
Jawa Barat menjadi medan kontestasi yang sesungguhnya. Lumbung suara secara nasional. Terbanyak jumlah hak pilih yang mencapai 35.714.901 suara. Setara sekira 20% dari 204.807.222 hak pilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) KPU. Mengungguli Jawa Timur (31.402.838 pemilih) dan Jawa Tengah dengan 28.289.413 hak pilih.
Pemegang hak pilih di Jawa Barat secara demografi berkarakter religius dengan sentimen agama yang tinggi. Bila itu adanya, maka cukup argumen — Anies Baswedan bakal unggul dukungan. Warna baru kandidat Anies Baswedan. Mengibarkan semangat perubahan. *