Terimakasih Ibu Mega
(Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)
Megawati Sukarnoputri perlu diberikan penghargaan terbesar di awal tahun ini. Keberanian beliau dalam bersikap atas hubungannya dengan Joko Widodo harus diacungkan jempol. Selama ini kaum oposisi dan mayoritas rakyat berharap tentang kepastian itu; apakah Jokowi masih di bawah naungan PDIP atau dilepas? Akhirnya dalam ulang tahun PDIP ke 51 lalu, Mega tidak mengundang lagi Joko Widodo.
Keputusan Megawati terhadap Joko Widodo ini merupakan sebuah konsekuensi dari memburuknya hubungan mereka setahun belakangan ini. Megawati berharap Jokowi adalah petugas partainya, yang berarti tumbuh, besar dan mati bersama PDIP. Namun, sejak setahun belakang, Jokowi terlihat ingin menunjukkan dirinya lebih besar dari pada PDIP dan Megawati. Langkah-langkah itu awalnya diperlihatkan melalui upaya pembentukan koalisi partai pendukungnya, yakni Golkar, PPP dan PAN. Koalisi itu disebut Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Padahal urusan parpol dan pencapresan, yang kemudian dikenal sebagai istilah cawe-cawe, adalah wilayah ketua umum partai bukan Jokowi. Dan Jokowi tidak meminta ijin Megawati.
Sebelumnya, Jokowi dan atau rezimnya sudah setahun lebih menggalang kekuatan dan isu perpanjangan masa jabatan presiden, dua tahun. Megawati tegas menolak rencana itu. Begitu pula ketika Jokowi dan atau pendukungnya menggalang isu perubahan UUD’45 terkait masa periode presiden lebih dari dua kali, Megawati menolak.
Karena Jokowi kehilangan kesempatan untuk mempertahankan kekuasaan lebih lama, maka Jokowi berusaha untuk mencari figur presiden kedepan yang dia inginkan. Spekulasi berkembang saat itu adalah Ganjar atau Prabowo. Namun, Ganjar yang semula akan didukung Jokowi dan KIB akhirnya menolak, karena Ganjar ternyata hanya mau didukung oleh Megawati. Itu ditunjukkan Ganjar dalam menolak tim bola Israel datang tanding di Jawa Tengah atas instruktursi Megawati. Disini Jokowi mulai terlihat frustasi. Kebimbangan Jokowi saat gamang soal pilihannya memberi ruang pada Prabowo untuk mengikat Jokowi agar memihak pada pencalonannya. Prabowo berhasil membangun poros dengan Muhaimin, Zulkifli Hasan dan Airlangga Hartarto. Zulkifli yang menjadi menteri punya kesempatan luas meningkatkan lobby kepada Jokowi agar mendukung Prabowo.
Pada rakernas PDIP September 2023, dalam kebimbangan itu, Jokowi masih bermain peran dengan secara atraktif menunjukkan dukungan pada Ganjar sebagai Capresnya. Dia berbisik pada Ganjar agar bersiap untuk menjadi presiden berikutnya. Tentu saja Megawati dan seluruh rakyat PDIP senang dan berpikir bahwa Jokowi kembali kepangkuan PDIP dan Megawati.
Sayangnya, itu hanya berlangsung beberapa bulan. Jokowi ternyata “melakukan” kerja paralel untuk mendukung pasangan Prabowo dan anaknya, Gibran. Pada akhirnya dalam “injury time”, Jokowi dan atau pamannya Gibran bermanuver untuk merubah undang-undang vital tentang syarat pencapresan seseorang. Gibran yang usianya di bawa 40 tahun seharusnya tidak bisa masuk dalam kancah kompetisi capres-cawapres. Namun, akhirnya MK, yang dipimpin keluarga Jokowi, memutuskan perluasan persyaratan capres-cawapres, yakni menambahkan syarat pernah menjadi kepala daerah, sebagai subtitusi umur.
Urusan pencalonan Gibran sebagai pasangan capres Prabowo telah memunculkan isu politik dinasti. Hal ini telah membuat Megawati secara nyata ditinggalkan Jokowi. Namun, yang paling menyakitkan tentu saja langkah anak Jokowi lainnya mengambil alih partai politik, yakni PSI. Kedua hal ini secara simultan akan membuat Jokowi berkonfrontasi secara diametral dengan Megawati. Sebab, langkah itu akan berefek langsung pada perebutan basis massa tradisional PDIP, yakni Jawa Tengah.
Memang hal itu ditenggarai terjadi. Megawati dan tokoh-tokoh pendukung Ganjar melihat isu kekerasan oknum tentara kepada relawan Ganjar dalam kasus di Boyolali, pemanggilan kepala-kepala desa ke istana, kantor polisi dan juga ke pertemuan akbar dengan Gibran di Senayan, sebagai upaya sistematis dalam mengalahkan PDIP. Jika PSI di bawah kendali Kaesang menargetkan minimal 4% suara, dan memasang hampir seluruh iklannya sebagai partai Jokowi, maka efeknya dapat berimbas pada penurunan suara PDIP sebanyak 4% itu. Tentu saja akan menjadikan PDIP bukan sebagai pemenang pemilu lagi nantinya.
Dengan kenyataan di atas, tentu tidak ada alasan bagi Megawati mempertahankan klaim bahwa Jokowi adalah petugas partainya. Klaim petugas partai justru akan mempermudah Jokowi dan PSI menarik simpati rakyat di basis tradisional PDIP. Sehingga keputusan Megawati mendepak Jokowi dari PDIP, meskipun belum menarik kartu anggotanya, merupakan langkah yang tegas
Kenapa kaum oposisi berterimakasih pada Megawati?
Selama Jokowi memimpin, Indonesia berkembang dalam kepimpinan yang totalitarian. Artinya, pemerintah dan legislatif dikuasai oleh kelompok yang satu. Dengan demikian, berbagai keputusan, pembuatan undang-undang, pengawasan pembangunan, dan lainnya dikendalikan oleh sebuah kelompok tersebut. Akhirnya Indonesia bergerak dalam arah kerusakan, seperti korupsi merajalela (terakhir kemarin lembaga negara PPATK menyebutkan angka korupsi PSN 36,67%), ICOR bernilai 7, demokrasi hancur, HAM hancur, dan berbagai hal lainnya semakin buruk. Bahkan, rakyat miskin dikembangkan untuk tergantung pada subsidi negara daripada mengembangkan human capital.
Rencana terbesar kelompok pengendali kekuatan totalitarian ini berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan membuat PT 20% pencapresan. Namun, dalam perjalanannya kelompok ini terpecah belah. Pertama dimulai “Nasdem” dengan keluar dari kelompok. Lalu diikuti PKB yang mendukung Nasdem dengan keduanya mendukung calon presiden, Anies, yang tidak disukai Jokowi. Sejak November tahun lalu, dan secara tegas awal tahun ini, Megawati menunjukkan dirinya berbeda dengan Jokowi.
Dengan demikian kekuatan non Jokowi saat ini sudah lebih besar dari pendukung Jokowi. Sehingga, meskipun Jokowi berusaha untuk menunjukkan dukungan terhadap keberlanjutan kekuasaannya, hal itu tidak mungkin lagi berdampak besar.
Hal ini terutama terlihat dalam front Ganjar-Anies yang semakin terbuka dan meluas saat ini, khususnya dipertontonkan mereka saat debat kemarin. Anies sendiri secara atraktif mengucapkan selamat ulang tahun kepada PDIP kemarin lalu. Kedua front besar ini, meski “fragile”, tetap saja merupakan blok besar bagi kemulusan rencana politik Jokowi selama ini.
Sehingga, tokoh-tokoh oposisi, seperti kelompok petisi 100, dengan terbuka kemarin lalu mendatangi Mahfud MD menyuarakan pemakzulan Jokowi. Sebuah agenda yang sebelumnya terhalang karena Megawati selalu melindungi Jokowi.
Penutup
Terimakasih Bu Megawati. Kata-kata ini pantas diucapkan kepada beliau. Hal ini merupakan kado besar bagi bangsa kita untuk mendorong adanya perubahan. Sebab, tanpa Megawati, Jokowi pasti akan berjalan tanpa keseimbangan.
Sekarang, meskipun Jokowi menunjukkan sikap membela pasangan Prabowo-Gibran secara nyata paska debat kemarin, langkah ini akan kandas, karena Megawati tidak di sisi dia lagi. Tinggal bagaimana Anies dan Ganjar memikirkan sebuah front bersama untuk agenda perubahan ke depan.
Megawati telah menyatakan dalam pidatonya kemarin bahwa kekuasan bukan segala-galanya, kekuasaan bukan tanpa akhir, menurutnya kekuasaan harusnya diberikan pada pemimpin beretika.
Terimakasih Megawati. Salam metal! . Salam Perubahan!