Opini oleh Roy Suryo- Alumnus ASLI Universitas Gadjah Mada
Hari2 ini marak Gerakan Moral dari Kampus yg mengingatkan Penguasa Negeri ini utk kembali ke Jalan yg benar, tidak lagi sesat pikir menyalahgunakan kekuasaannya utk melanggengkan dinasti politiknya. Dimulai dari UGM & UII Jogja, kemudian diikuti UI Jakarta, berturut2 kemudian UnKhair Ternate, UnAnd Padang, Unila Banjarmasin, UnHas Makassar dan InsyaaAllah juga akan diikuti oleh Civitas Akademika Kampus2 lainnya yg masih peduli diseluruh Indonesia.
Gerakan Moral kali ini menarik, karena biasanya Gerakan dari Kampus dimulai atau diinisiasi oleh Mahasiswa, bukan oleh Dosen apalagi Guru2 Besarnya (yg rata2 sudah dalam tataran "Comfort-Zone") atau beliau2 sebenarnya banyak yg " Camat" alias Cari Selamat akibat khawatir dgn Posisi dan Jabatannya kalau terlibat Gerakan2 semacam ini. Wajar mengingat hal tsb tampak banyak "dikondisikan" di berbagai kampus, semacam NKK-BKK utk Mahasiswa yg diterapkan jaman Orde Baru.
Bagi Universitas Gadjah Mada, Kampus yg sudah sejak 19 Desember 1949 berdiri di Jogja ini, memang Gerakan kali ini sebenarnya bukan yg pertama. Selain saat Reformasi 1998 dan tahun2 sebelumnya sejak jaman OrLa dan OrBa, di Rezim ini saja setidaknya sudah 3 (tiga) kali Gerakan sejenis, mulai dari Seminar "Budaya Malu" di bulan Oktober 2023, Penganugerahan Gelar "Alumnus Paling Memalukan" oleh BEM-KM UGM bbrp waktu lalu hingga Para Guru Besar turun gelanggang menyuarakan sendiri Petisi Moral tsb kemarin (31/01/24).
Secara global Gerakan Mahasiswa memang bukan khas dari Indonesia saja, karena sbgmn pernah ditulis oleh Philip G Altbach ttg Gerakan mahasiswa di Eropa Barat & Amerika Utara sudah ada sejak th 60-an hingga 80-an, demikian juga yg ditulis oleh Arthur Levine, Keith R Willson, Raymond Boundon, Gianni Statera dsb di Kanada, Amerika Serikat, Jerman Barat, Perancis dan berbagai belahan dunia lainnya. Rata2 mereka bergerak melawan kedzaliman dan penindasan di negaranya masing2 yang mana kemudian bersatu dengan masyarakat, bahkan kaum buruh bersatu melawan tirani seperti dekade sebelumnya.
Di Indonesia sendiri sejak Jaman Hindia Belanda tahun 1908 dan 1928 pergerakan Pemuda dan Mahasiswa sudah nampak, kalau dari kampus misalnya dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) di Jakarta, Sekolah di Surabaya, Kampus di Bogor dsb. Artinya Gerakan Moral dari kampus ini niscaya memang akan selalu terjadi bilamana kondisi sebuah negara sudah tidak lagi dirasakan baik-baik saja, atau bahkan sudah bisa dikatakan "out of the track" (keluar jalur) akibat ada penyimpangan yg dilakukan oleh Rezim yg berkuasa.
Itulah sebabnya kenapa kemarin di Jogja saat menyampaikan Petisinya, Prof Koentjoro (Guru Besar Psikologi UGM) memimpin dgn menyanyikan Lagu "Hymne Gadjah Mada" ciptaan Sutasoma yg diaransemen RB Sunarno yg artinya sangat dalam. Bagaimana tidak, Hymne yg terdiri atas 2 stanza ini memang sebenarnya ditujukan kepada seluruh Keluarga Besar UGM yg terdiri atas Mahasiswa (yg masih atau pernah kuliah) dan juga Alumnus (yg lulus atau "lolos") dari UGM. simak Syair lengkap stanza 1 & 2 Hymne tsb dibawah ini :
(Stanza pertama)
Bakti kami mahasiswa Gadjah Mada semua
Kuberjanji memenuhi panggilan bangsaku
Di dalam Pancasilamu jiwa seluruh nusaku
Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Indonesia
----
(Stanza Kedua)
Bagi kami almamater kuberjanji setia
Kupenuhi dharma bakti tuk Ibu Pertiwi
Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku
Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara
Jadi seandainya saja ada orang yg tidak layak utk menyanyikan (atau dinyanyikan) Stanza kedua-nya, mungkin dia memang tidak akan tersentuh ketika mendengar Stanza kedua tsb dinyanyikan, meski oleh Para Profesor dan Guru Besarnya. Apalagi kalau diharapkan kemudian dia tergerak utk merubah sikapnya, karena sebagaimana istilah dalam Bahasa Jawa yg sering ditulis, kalau "Watuk" (=Batuk) memang bisa diobati, tetapi kalau "Watak" (=Tabiat) akan sulit diubah karena tidak ada Obatnya.
Hal ini juga bisa berarti dia tidak akan terlalu menganggap Gerakan Moral ini, atau setidaknya hanya mengatakan "... biasa dalam Demokrasi ..." padahal justru Makna dari Gerakan Moral ini sangat dalam, sedalam Makna di Hymne diatas jika memahaminya. Hal yg sama juga tanpak dari berbagai statemen Politisi yg menikmati kondisi sekarang, dimana mereka mengatakan "Jangan membesar2kan Gerakan Moral yg tidak ada apa2nya" (katanya).
Mungkin mereka2 yg saat ini tertutup mata (dan hatinya) tersebut sudah tidak lagi bisa merasakan apa yg diderita okeh Masyarakat dalam hampir satu dasa warsa terakhir ini, dimana harga2 kian meroket sedangkan dulu yg dijanjikan adalah Ekonominya yg meroket. Ini kalau dibiarkan bisa jadi -kata Prof Koentjoro di berbagai media kemarin- akan timbul Chaos di masyarakat yg dampaknya justru sangat buruk bagi semua pihak.
Kesimpulannya, apakah Petisi dan Hymne Gadjah Mada tsb dapat menyembuhkan (Watuk atau Watak) ? Juga apakah Gerakan dari Kampus2 lain dapat juga ikut bergelora? Wallahuallam, karena Gerakan Moral semata2 adalah mengingatkan kembali kepada Etika, bukan sekedar Letterlijk Hukum yg bisa jadi memang tidak dilanggar (apalahi kalau Aturan Hukumnya sudah dilanggar / diubah) dulu sebelumnya. Semua kembali kepada kita, Selamatkan Indonesia ...
*) - Penulis, Dr KRMT Roy Suryo, M.Kes Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB, Alumnus ASLI UGM (S1 Komunikasi & S2 Magister Perilaku & PromKes), Doktor (S3) UNJ, Jakarta 02/02/24