Opini oleh : Dr. KRMT Roy Suryo
Ditengah berita2 yg memalukan ttg kebobrokan SIREKAP IT Pemilu 2024, apalagi Pengakuan Terakhir KPU di Sidang KIP / Komisi Informasi Pusat bahwa mereka mengakui akhirnya menggunakan Cloud / Media Penyimpan Komputasi Awan milik Aliyun Computing Co.Ltd (Alibaba) yg selama ini tidak jujur tidak pernah diakuinya dan bahkan selalu menyampaikan Kabar Bohong bahwa Data2 KPU hanya disimpan di "dalam negeri", mendadak Berita yg tak kalah memalukan lainnya muncul dari Forum Internasional PBB ttg Pemilu 2024.
Ini bukan hanya sekedar berita2 miring ttg Praktek Nepotisma / Dinasti Politik yg kian menghiasi media2 ternama asing, seperti terakhir yg dimuat The Economist edisi 08/02/24 lalu yg berjudul "What JkW's inglorious exit means for Indonesia" (Apa arti keluarnya JkW secara memalukan bagi Indonesia). Karena artikel tsb secara telanjang telah memotret praktek yg tidak benar seorang Paman di MK yg meloloskan Bocah berusia 36th yg sebenarnya belum cukup umur sesuai perundang2an yg berlaku sebelumnya. Media asing kini sudah tanpa tedeng aling2 menuliskan hal tsb secara faktual dan komprehensif.
Tapi yg baru2 saja terjadi ini bukan sekedar berita di media internasional, namun sebuah Peristiwa nyata di Sidang Komite HAM PBB / ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) Komite Hak Asasi di Jenewa, Swiss, Selasa (12/03/24). ini sangat serius & tidak boleh dianggap enteng, sebab yg terjadi adalah sudah adanya Anggota KomNas HAM PBB yg mempertanyakan Netralitas JkW di Pilpres 2024. Adalah Bacre Waly Ndiaye yg mempertanyakan netralitas Presiden Indonesia dlm pencalonan anaknya dalam Pilpres 2024.
Pertanyaan itu disampaikannya terkait jaminan hak politik utk warga negara Indonesia dlm Pemilu 2024. Masalahnya sidang tsb dihadiri semua perwakilan negara anggota ICCPR termasuk RI, sehingga menjadi isu internasional yg marak dibahas semua negara peserta. Pembahasan seputar isu HAM terbaru di sejumlah negara dibahas di forum itu dgn sesi tanya jawab antara masing2 anggota komite HAM PBB kepada perwakilan negara yang dibahas. Secara rinci Ndiaye bahkan memulai pertanyaan dgn menyinggung putusan MK ttg perubahan syarat usia capres-cawapres. "Kampanye digelar setelah putusan di menit akhir yg mengubah syarat pencalonan, memperbolehkan anak presiden utk ikut dalam pencalonan," kata Ndiaye dlm sidang yang ditayangkan di situs UN Web TV, Selasa (12/03/24).
Dia menambahkan, "Apa langkah2 yg diterapkan utk memastikan pejabat2 negara, termasuk presiden, tidak bisa memberi pengaruh berlebihan terhadap pemilu?" Tak berhenti di situ, Ndiaye juga bertanya apakah Pemerintah sudah menyelidiki dugaan2 intervensi pemilu tersebut?. Detailnya pertanyaan yg dikemukakan oleh Pria asal Senegal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa peristiwa pelanggaran etik yg sangat memalukan yg terjadi di Indonesia ini telah benar2 menjadi konsumsi masyarakat Internasional, sangat memalukan dan buruk bagi Citra Indonesia di mata internasional sebenarnya.
Lebih ironisnya lagi perwakilan Indonesia yg dipimpin Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian LN initial TT tdk mau (baca: tidak bisa/?) menjawab pertanyaan itu. Saat sesi menjawab, delegasi Indonesia justru (ngeles) dgn menjawab pertanyaan2 lain, misalnya malah bercerita soal kebebasan beragama, kasus Panji Gumilang, hingga sedikit menyinggung soal kasus Haris-Fathia. Intinya justru jawaban2 dari delegasi tdk menjawab isu2 krusial terkait HAM dan demokrasi di Indonesia, sangat disayangkan. Padahal sebenarnya momentum tsb dapat digunakan utk menjawab berbagai kabar miring ttg Pemilu 2024 di Indonesia yg sarat dgn Pelanggaran Etika, Moral bahkan Kecurangan2 yg sudah bersifat TSM di berbagai sektor sekarang ini.
Masalahnya sekarang adalah kalaupun KPU -dgn segala kebobrokan sistem SIREKAP yg meski disebut2 "hanya alat bantu"- tsb tetap nekad mengumumkan hasil Perhitungan berjenjang manual tanpa kontrol, karena kontrol masyarakat melalui SIREKAP sudah (sengaja) " dimatikan" lebih dari seminggu lalu, apakah Hasil Perhitungan tsb bisa sah secara hukum? Karena meski banyak Saksi yg menolak menandatangani Berita Acara saja (konon) hasilnya tetap dianggap "sah" oleh KPU ? Terus bagaimana proses Check and Balance-nya kalau sudah begini? Apakah memang boleh Pengumuman dilakukan secara sepihak, bahkan tengah malam sbgmn periode sebelumnya kemarin ?
Khusus soal SIREKAP saja saat ini semakin banyak Pakar IT yg membenarkan temuan2 saya semenjak Awal Sistem IT KPU tsb digunakan. Bukan hanya Agus Maksum, Pratama Persada, Onno W Purbo dan bbrp nama lain yg sudah banyak membuat analisis ilmiah ttg kebobrokan SIREKAP tsb, tetapi bahkan kin mulai muncul jagoa2 OrDal (=Orang Dalam) dari Kampus tempat perancang Sistem tsb, alias dari Kampus Ganesha Bandung. Mereka2 diantaranya adalah Hairul Anas (SekJen IA-ITB, Sirung KPU), Dr. ir. Leony Lidya, MT (Dosen ITB), Dr Soegianto Soelistiyono (Unair), Prof Romli Atmasasmita LLM (Guru Besar Hk Internasional) dan Bernard Mevis Pardomuan Malau, ST CHFI MCP GSM (Pakar IT). Kita bersama2 bahkan berani menggelar Diskusi Publik "SIREKAP dan Kejahatan Pemilu, Konspirasi Politik" pada hari Senin 18/03/24 yad.
Kesimpulannya, hasil Diskusi Publik ilmiah tsb pasti tidak akan kaleng2 dn bahkan bisa dikatakan berstandar global, bisa diquote secara terbuka baik nasional maupun internasional dan akan menjadi Referensi penting utk penentuan status Hukum (TSM) dari Hasil perhitungan Pemilu 2024 yg sedang berlangsung ini, termasuk sebagai Bahan di MK dan Hak Angket DPR. Sekalilagi meski SIREKAP adalah bukan hasil resmi sesuai UU, namun Proses dan konsekuensi Hukum didalamnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari Legitimasi Pemilu 2024 ini. Dengan demikian akankah semakin menurunkan kredibilitas secara Internasional dan bahkan sampai dibahas lagi di level PBB sebagaimana yg baru saja terjadi? Bagaimana Legitimasinya kalau sudah begini ...? AMBYAR
)* - Dr. KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
Tags
OPINI