Opini oleh Denny Indrajana
“Bagaimana prediksi putusan MK terkait Pilpres 2024?” Itulah
pertanyaan yang terus saya terima dari banyak orang, 𝑜𝑓𝑓𝑙𝑖𝑛𝑒
ataupun 𝑜𝑛𝑙𝑖𝑛𝑒,
di Indonesia ataupun di Australia.
Berdasarkan Pasal 77 UU MK, 𝑗𝑢𝑛𝑐𝑡𝑜
Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023, putusan MK dalam sengketa Pilpres 2024 ada
tiga jenis, yaitu:
1. Permohonan tidak dapat diterima (𝑁𝑖𝑒𝑡
𝑂𝑛𝑡𝑣𝑎𝑛𝑘𝑒𝑙𝑖𝑗𝑘𝑒
𝑉𝑒𝑟𝑘𝑙𝑎𝑎𝑟𝑑);
2. Permohonan dikabulkan; atau
3. Permohonan ditolak.
Saya meyakini, Mahkamah tidak akan memutuskan permohonan
tidak dapat diterima, karena permohonan Paslon 01 dan 03 jelas memenuhi syarat
formil untuk diputuskan pokok permohonannya.
Sebelum lebih jauh memprediksi Putusan MK, perlu diingat
permintaan (petitum) dalam permohonan Paslon 01 dan 03, yang pada intinya
adalah:
• 𝐏𝐞𝐭𝐢𝐭𝐮𝐦
𝐏𝐚𝐬𝐥𝐨𝐧
𝟎𝟏,
mendiskualifikasi Paslon 02 (Prabowo Subianto—Gibran Rakabuming Raka), lalu
pemungutan suara ulang (PSU) Pilpres hanya antara Paslon 01 dan 03 saja; 𝑨𝑻𝑨𝑼
hanya mendiskualifikasi cawapres Gibran Rakabuming Raka, lalu PSU Pilpres
dengan mengikutsertakan Prabowo Subianto dengan cawapres pengganti Gibran.
• 𝐏𝐞𝐭𝐢𝐭𝐮𝐦
𝐏𝐚𝐬𝐥𝐨𝐧
𝟎𝟑,
mendiskualifikasi Paslon 02 (Prabowo Subianto—Gibran Rakabuming Raka), lalu
pemungutan suara ulang (PSU) Pilpres hanya antara Paslon 01 dan 03 saja.
Setelah melihat jalannya persidangan, bukti-bukti yang
dihadirkan, termasuk keterangan saksi, ahli dan para menteri, juga
memperhatikan komposisi dan rekam jejak delapan hakim konstitusi yang
menyidangkan, saya menduga putusan Mahkamah adalah diantara EMPAT opsi berikut:
I. 𝐎𝐏𝐒𝐈
𝐒𝐀𝐓𝐔:
𝐌𝐚𝐡𝐤𝐚𝐦𝐚𝐡
𝐊𝐨𝐧𝐬𝐭𝐢𝐭𝐮𝐬𝐢
𝐌𝐄𝐍𝐎𝐋𝐀𝐊
𝐒𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡
𝐏𝐞𝐫𝐦𝐨𝐡𝐨𝐧𝐚𝐧,
𝐥𝐚𝐥𝐮
𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚
𝐌𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧
𝐂𝐚𝐭𝐚𝐭𝐚𝐧
𝐝𝐚𝐧
𝐔𝐬𝐮𝐥𝐚𝐧
𝐏𝐞𝐫𝐛𝐚𝐢𝐤��𝐧
𝐏𝐢𝐥𝐩𝐫𝐞𝐬
Dalam opsi satu ini, Mahkamah akan menguatkan Keputusan KPU
yang memenangkan Paslon 02 Prabowo—Gibran, dan hanya memberikan catatan
perbaikan penyelenggaraan Pilpres, utamanya kepada KPU dan Bawaslu. Mahkamah
pada dasarnya menyatakan dalil-dalil permohonan tidak terbukti. 𝐌𝐞𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭
𝐬𝐢𝐭𝐮𝐚𝐬𝐢-𝐤𝐨𝐧𝐝𝐢𝐬𝐢
𝐩𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤—𝐡𝐮𝐤𝐮𝐦
𝐝𝐢
𝐭𝐚𝐧𝐚𝐡
𝐚𝐢𝐫,
𝐬𝐚𝐲𝐚
𝐛𝐞𝐫𝐩𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧
𝐨𝐩𝐬𝐢
𝐬𝐚𝐭𝐮
𝐢𝐧𝐢
𝐲𝐚𝐧𝐠
𝐬𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭
𝐦𝐮𝐧𝐠𝐤𝐢𝐧
𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢
𝐤𝐞𝐧𝐲𝐚𝐭𝐚𝐚𝐧.
II. 𝐎𝐏𝐒𝐈
𝐃𝐔𝐀:
𝐌𝐚𝐡𝐤𝐚𝐦𝐚𝐡
𝐊𝐨𝐧𝐬𝐭𝐢𝐭𝐮𝐬𝐢
𝐌𝐄𝐍𝐆𝐀𝐁𝐔𝐋𝐊𝐀𝐍
𝐒𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡
𝐏𝐞𝐫𝐦𝐨𝐡𝐨𝐧𝐚𝐧
Dalam opsi dua ini, Mahkamah mengabulkan diskualifikasi
Paslon 02 Prabowo—Gibran, dan melakukan PSU hanya di antara Paslon 01 dan 03.
Dari semua opsi, melihat situasi-kondisi politik—hukum di tanah air; termasuk
rumit dan sulitnya proses pembuktian, 𝐬𝐚𝐲𝐚
𝐛𝐞𝐫𝐩𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧
𝐨𝐩𝐬𝐢
𝐝𝐮𝐚
𝐢𝐧𝐢
𝐡𝐚𝐦𝐩𝐢𝐫
𝐦𝐮𝐬𝐤𝐢𝐥
𝐛𝐢𝐧
𝐦𝐮𝐬𝐭𝐚𝐡𝐢𝐥
𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐝𝐢.
III. 𝐎𝐏𝐒𝐈
𝐓𝐈𝐆𝐀:
𝐌𝐚𝐡𝐤𝐚𝐦𝐚𝐡
𝐊𝐨𝐧𝐬𝐭𝐢𝐭𝐮𝐬𝐢
𝐌𝐄𝐍𝐆𝐀𝐁𝐔𝐋𝐊𝐀𝐍
𝐒𝐞𝐛𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧
𝐏𝐞𝐫𝐦𝐨𝐡𝐨𝐧𝐚𝐧,
𝐘𝐚𝐢𝐭𝐮
𝐌𝐞𝐧𝐝𝐢𝐬𝐤𝐮𝐚𝐥𝐢𝐟𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢
𝐂𝐚𝐰𝐚𝐩𝐫𝐞𝐬
𝐆𝐢𝐛𝐫𝐚𝐧
𝐑𝐚𝐤𝐚𝐛𝐮𝐦𝐢𝐧𝐠
𝐑𝐚𝐤𝐚
Dalam opsi tiga ini, Mahkamah mengabulkan salah satu petitum
Paslon 01, yang memberi alternatif hanya Gibran yang didiskualifikasi, dan
Prabowo dapat kembali ikut PSU dengan pasangan cawapres yang baru. Meskipun
mungkin saja terjadi, opsi tiga ini tetap tidak mudah, dan membutuhkan tidak
hanya keyakinan hakim ataupun 𝑗𝑢𝑑𝑖𝑐𝑖𝑎𝑙
𝑎𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑠𝑚,
tetapi juga keberanian, pengakuan, dan introspeksi institusional bahwa problem
moral-konstitusional pencalonan Gibran bersumber dari Putusan 90 Mahkamah
sendiri, sebagaimana telah secara terang-benderang diputuskan oleh MKMK.
IV. 𝐎𝐏𝐒𝐈
𝐄𝐌𝐏𝐀𝐓:
𝐌𝐚𝐡𝐤𝐚𝐦𝐚𝐡
𝐊𝐨𝐧𝐬𝐭𝐢𝐭𝐮𝐬𝐢
𝐌𝐄𝐍𝐆𝐀𝐁𝐔𝐋𝐊𝐀𝐍
𝐒𝐞𝐛𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧
𝐏𝐞𝐫𝐦𝐨𝐡𝐨𝐧𝐚𝐧,
𝐘𝐚𝐢𝐭𝐮
𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐭𝐚𝐥𝐤𝐚𝐧
𝐊𝐞𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧
𝐂𝐚𝐰𝐚𝐩𝐫𝐞𝐬
𝐆𝐢𝐛𝐫𝐚𝐧
𝐑𝐚𝐤𝐚𝐛𝐮𝐦𝐢𝐧��
𝐑𝐚𝐤𝐚,
𝐝𝐚𝐧
𝐌𝐞𝐥𝐚𝐧𝐭𝐢𝐤
𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚
𝐂𝐚𝐩𝐫𝐞𝐬
𝐏𝐫𝐚𝐛𝐨𝐰𝐨
𝐒𝐮𝐛𝐢𝐚𝐧𝐭𝐨,
𝐥𝐚𝐥𝐮
𝐦𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧
𝐝𝐢𝐥𝐚𝐤𝐬𝐚𝐧𝐚𝐤𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚
𝐏𝐚𝐬𝐚𝐥
𝟖
𝐚𝐲𝐚𝐭
(𝟐)
𝐔𝐔𝐃
𝟏𝟗𝟒𝟓
Opsi ke empat ini membutuhkan penjelasan lebih panjang,
terutama karena tidak ada dalam permohonan Paslon 01 maupun 03, sehingga
menjadi 𝑢𝑙𝑡𝑟𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑖𝑡𝑎.
Dasar amar demikian ada dua, 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂,
peradilan sengketa Pilpres bukan sengketa perdata, tetapi peradilan
konstitusional tata negara, sehingga demi menjaga kehormatan konstitusi, bisa
memutuskan di luar permintaan para pihak. Hal mana sudah beberapa kali
dilakukan oleh Mahkamah.
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, dalam
Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024 diatur, “ 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦
𝐡𝐚𝐥
𝐝𝐢𝐩𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧𝐠
𝐩𝐞𝐫𝐥𝐮,
𝐌𝐚𝐡𝐤𝐚𝐦𝐚𝐡
𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭
𝐦𝐞𝐧𝐚𝐦𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧
𝐚𝐦𝐚𝐫
𝐬𝐞𝐥𝐚𝐢𝐧
𝐲𝐚𝐧𝐠
𝐝𝐢𝐭𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤𝐚𝐧
𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚
𝐝𝐢𝐦𝐚𝐤𝐬𝐮𝐝
𝐩𝐚𝐝𝐚
𝐚𝐲𝐚𝐭
(𝟏).”
Norma tersebut, dapat dimaknai, Mahkamah membuka peluang ultra petita, bukan
hanya di luar yang dimintakan para pihak, bahkan pun di luar ketentuan
Peraturan MK atau bahkan UU MK.
Yang dilakukan bukan pendiskualifikasian Paslon 02, karena
Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan atas pelanggaran TSM Paslon 02, di samping
tentu ada pula argumen hal demikian adalah kewenangan Bawaslu RI. Bukti-bukti
yang dihadirkan tidak cukup untuk menguatkan dalil Para Pemohon (Paslon 01 dan
03). Memang pembuktian sengketa Pilpres sangat rumit dan sulit.
Namun, Mahkamah akhirnya mengambil keputusan membatalkan
kemenangan Cawapres Gibran Rakabuming Raka, bukan karena persoalan
pencawapresan yang sudah terlanjur absah melalui Putusan 90 dan berbagai
putusan MK sesudahnya. Tetapi, MK memutuskan membatalkan kemenangan cawapres
Gibran dengan berbagai pertimbangan konstitusional, antara lain:
1. 𝐂𝐚𝐰𝐞-𝐂𝐚𝐰𝐞
𝐏𝐫𝐞𝐬𝐢𝐝𝐞𝐧
𝐉𝐨𝐤𝐨
𝐖𝐢𝐝𝐨𝐝𝐨
𝐭𝐞𝐫𝐛𝐮𝐤𝐭𝐢,
dari pernyataan dan tindakan Presiden Jokowi sendiri, dan hal demikian
melanggar prinsip pemilu presiden yang LUBER, Jujur dan Adil sebagaimana diatur
dalam Pasal 22E ayat (1);
2. .
Melalui Putusan 90 dan beberapa Putusan MK sesudahnya, meskipun secara hukum
positif tidak ada lagi persoalan dengan pencawapresan Gibran, namun pelanggaran
prinsip anti KKN, khususnya 𝐧𝐞𝐩𝐨𝐭𝐢𝐬𝐦𝐞
𝐫𝐞𝐥𝐚𝐬𝐢
𝐜𝐚𝐰𝐚𝐩𝐫𝐞𝐬
𝐆𝐢𝐛𝐫𝐚𝐧
𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧
𝐏𝐫𝐞𝐬𝐢𝐝𝐞𝐧
𝐉𝐨𝐤𝐨
𝐖𝐢𝐝𝐨𝐝𝐨
𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡
𝐦𝐞𝐥𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫
𝐩𝐫𝐢𝐧𝐬𝐢𝐩
𝐩𝐞𝐦𝐢𝐥𝐮
𝐲𝐚𝐧𝐠
𝐝𝐢𝐣𝐚𝐦𝐢𝐧
𝐔𝐔𝐃
𝟏𝟗𝟒𝟓
𝐝𝐚𝐧
𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢
𝐩𝐞𝐥𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫𝐚𝐧
𝐤𝐨𝐧𝐬𝐭𝐢𝐭𝐮𝐬𝐢
𝐲𝐚𝐧𝐠
𝒊��𝒕𝒐𝒍𝒆𝒓𝒂𝒃𝒍𝒆,
dan menjadi kemenangan yang harus dibatalkan demi menjaga marwah dan kehormatan
konstitusi.
3. Karena yang dapat dibuktikan hanya pelanggaran konstitusi
𝑐𝑎𝑤𝑒-𝑐𝑎𝑤𝑒
Presiden Jokowi dan nepotisme cawapres Gibran Rakabuming Raka, sedangkan
pelanggaran pasangannya Prabowo Subianto, dianggap Mahkamah tidak dapat
dibuktikan, maka kemenangan Capres Prabowo tetap dikuatkan oleh Mahkamah. Tentu
dengan komplikasi, bahwa suara Paslon 02 tentunya adalah hasil kerja keduanya
sebagai pasangan calon.
Opsi keempat ini sejatinya punya bobot politis, selain
yuridis. Karena dia seakan-akan menjadi jalan tengah (kompromis) antara hukum
yang moralis-idealis dengan politik yang pragmatis-realistis. Bagi kekuatan
politik yang diam-diam menolak dilantiknya cawapres Gibran dengan berbagai
alasan, opsi ke empat ini menjadi bagian dari solusi. Karena Pasal 8 ayat (2)
UUD 1945 memberikan waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari bagi MPR untuk
memilih wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto, tentu
setelah pelantikan pada 20 Oktober 2024.
Persoalannya, enam bulan menjelang pelantikan, saya yakin
Presiden Jokowi tentu tidak akan diam. Selain itu, yang tidak kalah penting
adalah, seberapa kuat dan berani bukan hanya mayoritas hakim MK, tetapi juga
partai-partai politik untuk bersepakat menggolkan opsi putusan ke empat yang
demikian. Sejauh ini, belum ada kekuatan politik yang berani melawan
pelanggaran bahkan kejahatan konstitusional yang terang-benderang dilakukan
oleh Presiden Joko Widodo. Hampir semua kita, tunduk dan takluk atas berbagai
kedzaliman konstitusi yang sejatinya dilakukan secara telanjang oleh Presiden
Jokowi.
Sewajibnya Hakim-Hakim Konstitusi selaku Negarawan, 𝑠𝑡𝑎𝑡𝑒𝑚𝑎𝑛𝑠ℎ𝑖𝑝
bukan 𝑝𝑎𝑟𝑡𝑖𝑠𝑎𝑛𝑠ℎ𝑖𝑝,
mampu melepaskan diri dari penjajahan, penghambaan, dan ketakutan atas kuasa
otoritarian Presiden Jokowi, yang sebenarnya sudah akan berakhir masa
jabatannya. Namun, hakim konstitusi juga manusia, kecuali ada kejutan luar
biasa, terus terang saya tidak yakin, para Hakim Konstitusi mau berkorban dan
menjadi pahlawan demi menyelamatkan negara demokrasi konstitusional Republik
Indonesia.
Opsi mana yang akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Akankah ada kejutan? Saya yakin, tidak. Saya prediksi, MK belum punya dukungan
bukti dan keberanian untuk memutus di luar opsi putusan yang pertama, yaitu: 𝐌𝐞𝐧𝐨𝐥𝐚𝐤
𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡
𝐩𝐞𝐫𝐦𝐨𝐡��𝐧𝐚𝐧,
𝐝𝐚𝐧
𝐡𝐚𝐧𝐲𝐚
𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧
𝐜𝐚𝐭𝐚𝐭𝐚𝐧
𝐩𝐞𝐫𝐛𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧
𝐚𝐭𝐚𝐬
𝐩𝐞𝐥𝐚𝐤𝐬𝐚𝐧𝐚𝐚𝐧
𝐏𝐢𝐥𝐩𝐫𝐞𝐬
𝟐𝟎𝟐𝟒.
𝑀𝑒𝑙𝑏𝑜𝑢𝑟𝑛𝑒,
15 𝐴𝑝𝑟𝑖𝑙
2024