Opini oleh: Irene Amadea Rembeth- Mirza Marali
Peradilan pidana di Indonesia menerima praktik Amicus Curiae. Namun, pengaturan formil mengenai Amicus Curiae masih sangat umum.
Amicus Curiae atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “Sahabat Pengadilan”, merupakan praktik hukum oleh pihak ketiga di luar pihak berperkara untuk terlibat dalam peradilan. Berbeda dengan pihak intervensi, keterlibatan Amicus Curiae hanya sebatas memberikan pendapat yang nantinya digunakan oleh hakim sebagai salah satu pertimbangan dalam memutus perkara.
Pada awalnya Amicus Curiae berasal tradisi Hukum Romawi yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum Common Law. Dalam perkembangannya, penggunaan Amicus Curiae juga banyak ditemukan di negara-negara dengan sistem hukum Civil Law seperti Indonesia.
Secara umum, landasan hukum yang dikaitkan sebagai dasar penerimaan konsep Amicus Curiae di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat“.
Ketentuan tersebut memberi hakim kewajiban untuk menggali dan memperluas sumber informasi terkait perkara yang sedang diperiksa dan akan diputus. Banyaknya informasi yang diperoleh hakim diharapkan akan mendukung hakim bisa berpikir lebih terbuka, adil, dan bijaksana dalam memutus perkara.
Amicus Curiae menjadi salah satu sarana bagi hakim dalam memperoleh informasi terkait klarifikasi fakta atau prinsip-prinsip hukum, terutama jika kasus-kasus itu melibatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang kontroversial dan perlu direformasi.
Sumber/ foto: hukumonline.com