JAKARTA (KASTV) - Gugurnya Komandan Komando Rayon Militer Koramil (Danramil) Aradide, Letnan Dua (Infanteri) Oktovianus Sogalrey setelah ditembak dan dibacok oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) di Distrik Aradide, Kabupaten Paniai, Papua Tengah, Kamis (11/4) semakin meneguhkan brutalnya kelompok tersebut.
“Dalam tayangan video yang
beredar, TPNPB-OPM menggunakan teknik, taktik, dan strategi perang. Mereka
menggunakan senjata api modern bukan senjata rakitan. Tidak ada pilihan lain
untuk menghadapi brutalnya kelompok itu, harus dengan kekuatan militer, bukan
kepolisian,” kata pengamat politik dan militer Universitas Nasional (Unas)
Selamat Ginting di Jakarta, Jumat (12/4/2024).
Menurut Selamat Ginting,
aksi ofensif OPM di Papua, selalu diakhiri dengan melarikan diri ke hutan
maupun gunung. Ini merupakan taktik dan teknik perang gerilya, sehingga sulit
dikejar oleh aparat keamanan. Belum lagi jika mereka mencairkan diri dalam
masyarakat di kampung-kampung atau di daerah basis perlawanan mereka.
Oleh karena itu, lanjut
Ginting, merupakan suatu kesalahan fatal, jika mereka hanya dikategorikan
sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Padahal sudah jelas mereka adalah
kelompok bersenjata dari gerakan separatis. Gerakan separatisme di seluruh
dunia, tujuannya satu: memisahkan diri. Jadi gerakan separatisme merupakan
ancaman konsepsional yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara.
Dukung Jenderal Agus
“Sejak awal saya selalu
menggunakan terminologi OPM, bukan KKB atau KST (Kelompok Separatis Teroris).
Jadi saya setuju dengan keberanian Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang
mengembalikan terminologi OPM menggantikan istilah KKB maupun KST,” ujar
Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik dan militer.
Dikemukakan, kasus
gugurnya Danramil Aradide Letda (Infanteri) Oktovianus Sogalrey semestinya
dapat dijadikan sebagai momentum bagi Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto;
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak; Kepala Staf Angkatan
Laut Laksamana Muhammad Ali, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Muhammad Tonny
Harjono; serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo
Sigit Prabowo, untuk bertindak lebih tegas lagi. Apalagi sejumlah apparat
gabungan dari TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU, dan Polri gugur dalam mengamankan Bumi
Papua.
“Kita semua, termasuk
orang asli Papua, harus memiliki satu kesamaan sikap dan semangat untuk
memerangi gerakan separatisme sampai ke akar-akarnya. Tidak boleh lagi ada
pro-kontra atau bahkan berseberangan. Jangan sampai pula akan menimbulkan
stigma sebagai pembela gerakan separatisme,” ujar Selamat Ginting
dilansir jakartasatu.com.
Ia menjelaskan, Kelompok
Bersenjata Gerakan Separatisme di Bumi Papua, bukan hanya melakukan aksi
ofensif berupa Gangguan Keamanan Bersenjata (GPK) saja. Melainkan juga
membentuk kekuatan pasukan melalui pendidikan militer dan membangun daerah
basis atau pangkal perlawanan.
Seperti lazimnya Gerakan
separatisme di dunia, lanjutnya, umumnya terdiri beberapa kelompok atau front
perjuangan. Jadi, selain kelompok atau front bersenjata, masih ada front
politik, baik di dalam maupun luar negeri. Tugasnya melakukan rekruitmen kader,
pembentukan opini dan kegiatan diplomasi dengan mendirikan perwakilan di luar
negeri.
“Ada pula front logistik
melalui aksi kejahatan atau kriminal. Terakhir front psikologis yang bertugas
melakukan aksi teror dan gerakan clandestein. Sehingga, ancaman gerakan
separatisme di Bumi Papua tidak selalu bersifat militer saja. Melainkan juga
bersifat non-militer, bahkan ancaman nir-militer.
Domain TNI
Dikemukakan, berdasarkan
amanat konstitusi, pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI terdiri dari TNI-AD, TNI-AL
dan TNI-AU, sebagai alat negara bertugas untuk mempertahankan, melindungi dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sehingga semua hakekat ancaman yang
membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara adalah bidang tugas, wewenang dan
tanggungjawab atau domain TNI.
Oleh karena itulah sebagai Pejuang Prajurit
Saptamarga, tidak sepatutnya TNI lepas tangan dan menghianati amanat
konstitusi. Artinya, TNI tidak boleh menyerahkan penanganan ancaman gerakan separatisme menjadi
tugas, wewenang dan tanggungjawab (domain) Polri. Justru ini adalah jelas-jelas
sebagai domain TNI.
Jangan sampai, hanya karena
kesalahannya di era Orde Baru, kemudian TNI menurut saja dengan irama gendang
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau pihak asing. Mereka gencar dan sistematik
menuntut agar TNI mengurangi kekuatan pasukan di daerah-daerah. Sehingga hanya
tinggal satuan organik Kodam di Papua maupun Papua Barat saja.