Opini oleh
Eddy Junaidi - Nusantara
Institute
“Percaya atau tidak, belum pernah ada sikap dan perilaku
Presiden Republik Indonesia
seperti Joko Widodo, termasuk Soekarno dan Soeharto sekalipun. Satu-satunya yang ingin sekeluarga
berkuasa, mulai dari putranya, Gibran Rakabuming
Raka yang menjadi Wakil Presiden; Kaesang Pangarep (Ketua Partai Solidaritas Indonesia yang akan
dijadikan Gubernur Daerah Khusus Jakarta
dengan mengubah Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta, dimana Gubernur DKJ ditunjuk langsung oleh
Presiden).
Jadwal Pilkada yang semula dijadwalkan November 2024, karena Joko Widodo harus lengser pada
Oktober 2024, maka Pilkada DKI
dipercepat menjadi September 2024. Bersyukur, PDI
Perjuangan menolak revisi Undang-Undang DKJ, dan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak atas percepatan Pilkada
pada September 2024. Operasi Sayang Anak
gagal!”
Alasan Pemakzulan Joko Widodo
Politik Dinasti tidak saja untuk anak kandung, tetapi juga
untuk sang menantu, Bobby Nasution
(suami dari Kahiyang Ayu) dan Erina Gudono (istri dari Kaesang Pangarep). Sungguh sangat memalukan,
dan masuk dalam kategori perbuatan tercela.
Pencalonan ini lebih menjijikan ketika muncul nama Sendi Fardiansyah (Sekretaris Pribadi Ibu Iriana Joko
Widodo) yang menjadi calon Bupati Bogor; dan
Kahiyang Ayu menjadi calon Wali
Kota Solo. Luar biasa bak seorang Raja di
negara demokrasi.
Banyak kalangan menganggap kategori pelanggaran etika menjurus perbuatan tercela (Pasal 7 UUD 1945). Lebih jelas, pasal 7 UUD 1945 berisi:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa:
1) Pengkhianatan terhadap negara
2) Korupsi
3) Penyuapan
4) Tindak pidana berat lainnya
5) Perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Jika pemakzulan berdasarkan konstitusi (hukum) secara kasat
mata, Joko Widodo selama lebih
dari sembilan tahun ini sudah melanggar salah satu dari pasal 7 UUD 1945. Analisis ini perlu pembuktian, karena pasti
akan ditantang: “Ayo buktikan!”
selayaknya hukum prosedural.
Secara konstitusional, apakah ada pengkhianatan negara dari
sikap Joko Widodo sebagai Presiden
Republik Indonesia? (ayat 1 pasal 7 UUD 1945). Kita fokus pada hubungan Joko Widodo dengan hukum politik yang
condong ke Cina (Xi Jinping).
Sejak Januari 2015, tiga bulan setelah dilantik menjadi President Republik Indonesia, Joko Widodo
didampingi beberapa menteri, seperti Luhut
Binsar Pandjaitan, Rini Soemarno, dan Bambang Brodjonegoro, melakukan kunjungan ke Beijing, di antaranya
mendeklarasikan bahwa Indonesia Poros Maritim
Dunia, menjadi partner strategis Cina (nostalgia Jalur Sutera – Skema One Belt One Road).
Hasilnya, diperoleh komitmen (8 MOU) termasuk Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, dan berbagai
proyek untuk BUMN senilai USD 5 miliar
dengan jaminan 3 bank BUMN (Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI). Belum lagi proyek strategis, seperti:
reklamasi, Meikarta, bandara, pelabuhan, infrastruktur,
yang bertujuan untuk kelancaran lalu lintas logistik Cina, eksploitasi aset strategis Indonesia.
Yang paling disorot adalah eksploitasi nikel dengan
perusahaan Cina, dikawal oleh
Luhut Binsar Pandjaitan secara khusus dengan komitmen Skema Turnkey Project, yang mana jika modal dari
Cina, maka seluruh teknologi dan Sumber Daya
Manusia (SDM) dari buruh sampai Direksi, didatangkan dari Cina.
Hal ini pasti sarat dengan korupsi (Pasal 7 UUD 1945). Untuk
pembuktian perlu testimoni dari
Luhut Binsar Pandjaitan, Basuki Hadimuljono (Menteri PUPR), Erick Thohir (Menteri BUMN), dan Bahlil
Lahadalia (Menteri Investasi). Sedangkan
Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan) mempunyai data tentang pelanggaran Undang-Undang Keuangan Republik
Indonesia. Pengelolaan Keuangan
Negara yang “ugal-ugalan” (akrobat) melanggar konstitusi. Disebut ugal-ugalan karena ambisi infrastruktur
yang tidak selalu berdampak positif seperti
tujuannya.
Sangat banyak potensi dugaan gratifikasi (penyuapan),
seperti laporan dari Ubedilah Badrun
tentang korupsi yang dilakukan oleh Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep terhadap Gandi
Sulistiyanto (Sinar Mas) yang dijadikan Duta
Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan, sementara eksekutif Sinar Mas lainnya dijadikan Project Officer pembangunan
Ibu Kota Nusantara (IKN).
Berikutnya, pembangunan IKN dapat dikategorikan sebagai
pengkhianatan negara dan perbuatan
tercela, karena Joko Widodo gagal menjabat President selama 3 periode sesuai yang diultimatumkan oleh “saudara tua”,
sehingga Xi Jinping akan menyita
pulau Kalimantan jika Indonesia tidak dapat membayar utang terhadap Cina.
Utang sebesar Rp 349 triliun yang dilakukan Joko Widodo
kepada Cina, adalah di luar
prosedur (utang tersembunyi), karena tanpa seizin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Penerimaan negara di
luar APBN tidak lagi diperbolehkan oleh Undang-Undang
Keuangan Republik Indonesia semenjak tahun 2017. Untuk kesaksian mengenai hal ini dapat ditanyakan kepada fraksi Partai
Keadilan
Sejahtera (PKS), karena menjadi pertanyaan saat DKP (Dewan Kehormatan Perwira) dengan Sri Mulyani Indrawati
(Menteri Keuangan). Kecurangan Pemilu
sebagai perbuatan tercela Perbuatan
tercela adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 7 UUD 1945
Bisakah kecurangan Pemilu dikategorikan sebagai perbuatan
tercela seorang Presiden dan/atau
Wakil Presiden Republik Indonesia? Jawabannya: bisa banget.
Selain melanggar Undang-Undang Pemilu (aspek hukum) juga melanggar pasal 7 UUD 1945. Pasal Perbuatan Tercela
dilanggar secara terbuka akan cawe-cawe pada
Pilpres 2024. Melanggar etika yang menjurus “tidak pantas”, jika dibuktikan akan memenuhi persyaratan
perbuatan tercela. Namun siapa yang mampu
membuktikan? Paslon 01 kah? Atau Paslon 03 yang bersemangat
membuktikan dengan Hak Angket di DPR-RI (oposisi parlemen)?.
Jika secara prosedural hukum, kecil kemungkinannya, karena
syarat kuantitatif mendekati
selisih margin (Paslon 02 sebanyak 58%, sementara Paslon 01 hanya sebesar 24%), jadi selisih 34% dengan
jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) sebanyak
204 juta. Jadi hampir 67 juta suara yang harus dibuktikan kecurangannya. Suatu hal yang mustahil
untuk dibuktikan oleh Paslon 01 dan Paslon
03 yang mempunyai legal standing (kedudukan hukum). Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) akan follow-up, bisa
dipastikan untuk seterusnya akan
ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), walau tetap bersidang.
Kita mengetahui bagaimana peran “paman” dalam meloloskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka
sebagai Calon Wakil Presiden. Jika terbukti
pidana memenuhi pasal perbuatan tercela.
Selanjutnya, PDI Perjuangan mengancam akan bersaksi kepada
Kapolda (jika di daerah–level
provinsi) bahwa terdapat pelanggaran secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (kualitatif), yang melanggar Undang-Undang
Pemilu. Hal ini akan diangkat di
DPR dengan skema Hak Angket, interpelasi, dan berujung pemakzulan Joko Widodo, sehingga ada Pemilu ulang tanpa Joko
Widodo.
Dalam perspektif hukum, banyak “dosa” pelanggaran pidana
berat lainnya selain kecurangan
Pilpres 2024. Dari segi hukum perlu testimoni (baca: khianat) dari orang-orang terdekat Joko Widodo,
seperti: Luhut Binsar Pandjaitan, Sri Mulyani
Indrawati, Pratikno, Basuki Hadimuljono, Bahlil Lahadalia, Erick Thohir, Budi Karya Sumadi, Airlangga Hartarto.
Mereka juga perlu melakukan seperti
yang dilakukan oleh Ginandjar Kartasasmita, Akbar Tandjung, dkk yaitu mengundurkan diri dari Kabinet di akhir
April 1998, yang memukul telak Soeharto.
Apakah “die hard” Joko Widodo berani berkhianat. Sikap Luhut Binsar Pandjaitan yang menjaga jarak (tidak
all-out seperti sebelumnya) dengan alasan
sakit, bisa menjadi sinyal. Sri Mulyani curhat kepada Megawati
Soekarnoputri, itu juga sinyal.
Budi Karya Sumadi sakit, itu juga sinyal.
Terancam bangkrutnya BUMN di bawah Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),
seperti BUMN Karya, adalah sinyal bahwa Basuki Hadimuljono mulai ketakutan dan dekat dengan Megawati
Soekarnoputri sebagai indikator.
Jika menteri-menteri dari PDI Perjuangan (5 orang), Partai
Nasional Demokrat (2 orang),
Partai Kebangkitan Bangsa (3 orang), Partai Persatuan Pembangunan (1 orang), total menjadi 11 orang mundur,
Joko Widodo akan goyah (bisa delegitimasi
dengan mosi tidak percaya!). Pembuktian secara parsial akan mubazir, ditindaklanjuti oleh Bawaslu
sebagai “basa-basi”, dan nantinya (pasti)
akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Jadi protes secara hukum oleh PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, PPP akan berpeluang 50 : 50. Namun proses
pemakzulan pasca pengumuman oleh Komisi Pemilihan
Umum (yang dinilai tidak kredibel) tentang Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka,
yang akan memicu people power sangat dimungkinkan.
Jalan satu-satunya harus dibuktikan secara AI (Artificial Intelligence), karena kecurangan pada
Pilpres 2024 bersifat “Algoritma Digital”,
harus dibuktikan dengan audit forensik server KPU, yang kemungkinan juga
akan ditolak oleh Joko Widodo, dan
bisa-bisa memakai server dummy (palsu).
Siapa yang paling tepat membuktikan? Jawaban satu-satunya
adalah “Paman Sam – sang Hitman!” Kenapa bisa? Karena Amerika Serikat
(AS) adalah satu-satunya negara yang mempunyai
Pegasus (software dan hardware) buatan AS dan teknologi Israel sebagai “mesin pencari data dan
informasi” yang keamanannya di atas Google.
Aplikasi dan mesinnya disebut Intel Us Zero-Click, yang
hanya dimiliki Amerika Serikat (CIA-Central
Intelligence Agency dan FBI-Federal Bureau of Investigation) dan Israel (Mossad). Badan Intelijen
Pusat (CIA) AS jika sudah dikomersilkan pasti
sudah mempunyai pengganti, seperti halnya Pegasus setelah “intel us zero- click” ditemukan.
Terjadi juga dengan Pegasus tempur dengan dikomersialkannya F-16 setelah AS memiliki F-35. Pertanyaan besarnya
adalah, apakah AS mau, dan “mengebom” Joko
Widodo dan Prabowo Subianto (yang sudah terpilih menjadi President Republik Indonesia ke-8)?
Dari tulisan “Jokowi Effect di Pilpres 2024, Memang Ada?” disajikan kronologi, latar belakang, skema dan pola, serta
cipta kondisi melalui hasil “surepay” cara
Joko Widodo memenangkan paslon 02.
AS jelas “berseberangan” dengan rezim Joko Widodo yang pro Beijing.
Posisi politik Indonesia sesuai
konstitusi seharusnya: Non Blok dan ikut mendorong perdamaian dunia. AS mengambil sikap menjauh dari rezim Joko
Widodo selama sembilan tahun. AS
terlihat hanya melindungi Uranium di Papua
(Freeport) yang harga mati bahan baku nuklir diserobot Cina.
AS sudah mengultimatum Cina bahwa harus selesai pada 2030
dengan skema Food Security
(Ketahanan Pangan) dan Energy Security (Ketahanan Energi), karena akan langka pangan dan energi
fosil pada tahun 2030. Cina
mengantisipasi dengan Skema OBOR (One Belt One Road), dan Xi Jinping
langsung menjadi Presiden RRC seumur hidup untuk memimpin langsung Proxy War (pangan dan energi) di tahun 2030.
Dengan berbasis konteks AS versus Cina, tentu AS tidak mau paslon 02 akan meneruskan Poros Jakarta-Beijing. Apalagi
dalam konteks Laut Cina Selatan, secara
geografis (konteks geo-strategi) AS memerlukan Indonesia untuk logistik perang jika perang di Laut Cina Selatan
terjadi. Jadi AS berpotensi cawe-cawe di Indonesia
dari kecurangan Pilpres 2024.
Dengan catatan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh Prabowo Subianto, mengakibatkan AS belum memberinya visa.
Rasa nasionalisme Prabowo Subianto
yang tinggi (lebih cerdas dari Joko Widodo), namun berwatak labil dan temperamental. Jebakan utang Cina dan
proyek strategis yang berkelanjutan.
Disinyalir oleh AS bahwa Prabowo Subianto tidak bisa
“dipegang” seperti halnya Susilo
Bambang Yudhoyono. Dengan salah
satu kapal induk AS di Laut Papua, dan sulit dilepaskannya pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru
dari penyanderaan, pasti ada AS di belakangnya
(kaitannya dengan proteksi Uranium). Kelebihan geo-strategi Indonesia di Laut Cina Selatan
(Kepulauan Natuna) adalah harga mati bagi AS untuk dimiliki Cina.
Banyak dari hasil operasi AS di Indonesia menyimpulkan bahwa Prabowo Subianto bukan sahabat yang diinginkan.
Kecuali Prabowo Subianto merapat ke AS
dan melobby khusus.
Disimpulkan dan diyakini bahwa AS mempunyai data “copy paste” dari kecurangan Pilpres 2024 oleh Joko
Widodo dengan restu Prabowo Subianto. Apakah
memenuhi syarat untuk dibongkar? Jawabannya, tergantung merapat atau tidaknya Prabowo Subianto dengan
AS, dan berkomitmen untuk melepas proyek
keberlanjutan dengan Cina dan Xi Jinping, baik dalam konteks Uranium ataupun Kepulauan Natuna. Tercatat
bocoran dari CIA mengenai rencana Cina yang
akan menjadikan Pulau Rempang sebagai pangkalan militer berkedok “judi” oleh Tomy Winata, menandakan AS
siaga penuh memonitor Cina di Indonesia.
Besar kemungkinan AS akan cawe-cawe seperti halnya yang terjadi pada Bung Karno (1965), dimana Indonesia pro Komunis
(Cina dan Uni Soviet). Juga Soeharto
(1998) yang ingin mandiri, tidak bergantung dari Amerika Serikat, dalam hal ini, IMF (International
Monetary Fund/Dana Moneter Internasional)
dan WB (World Bank/Bank Dunia).
Apakah ini disadari oleh Prabowo Subianto (berkomitmen
melanjutkan politik Joko Widodo)?
Atau sebaliknya, dengan alasan Uranium di Papua, geo-strategi Laut Cina Selatan (Kepulauan Natuna),
dan people power (ekses kecurangan Pilpres)
AS akan mem-back-up perlawanan? Jika AS ikut cawe-cawe tentu tuntutan diskualifikasi paslon 02 dan
diikuti pemakzulan Joko Widodo akan berhasil.
AS langsung “mengebom” dengan membuka data kecurangan Pilpres 2024. Berkaitan dengan hal ini Anies
Baswedan, Megawati Soekarnoputri, dan Surya
Paloh, setelah proses Hak Angket di DPR-RI, melobby AS, dan Pilpres batal sehingga harus diulang tanpa Joko
Widodo.
Mungkinkah people power terjadi?
Mengingat citra buruk keterlibatan AS ekses membongkar kecurangan hasil Pilpres 2024 sebagai “Pemilik Demokrasi”
dan polisi dunia; belum lagi rekor AS menumbangkan
berbagai rezim di belahan dunia, seperti Ferdinand Marcos (mantan Presiden Filipina), pecahnya
Uni Soviet, Yugoslavia, dan beberapa negara
di Amerika Latin. Sang Hitman (AS) jika punya kehendak, pasti terjadi.
Dan Indonesia dibuktikan dengan peristiwa Soekarno (1965) dan Soeharto
(1998) sebagai rezim anti demokrasi.
Dengan alasan demokrasi, AS akan bertindak apa pun jika
kepentingan strateginya dengan
Indonesia (Uranium dan kepentingan strategi) terganggu. Menurut analisis penulis, akan lebih mudah bagi AS untuk
mencapai tujuannya dengan people
power. Kenapa? Karena keterlibatan (partisipasi) masyarakat yang menginginkan diskualifikasi paslon
02 dan pemakzulan Joko Widodo
melalui Legislatif (DPR).
Sesuai konstitusi dan dapat berperan di balik layar seperti kejadian 1965 dan 1998.
Belum pernah terjadi di Indonesia, people power (oposisi non parlemen) berkolaborasi dengan oposisi parlemen
secara simbiosis mutualistis, karena mereka
(Megawati Soekarnoputri – PDI Perjuangan cs) berkhianat kepada Joko Widodo, mereka merasa sebelumnya
dikhianati oleh petugas partainya.
PDI Perjuangan dan parpol yang mengamini kemunduran Soeharto
adalah oposisi bersama PPP kala
itu. Soeharto dengan legowo lengser atau people power dan operasi moneter Soros yang terjadi sejak tahun 1997.
Akankah terulang pola Soeharto
(1998)? Atau dipaksa mundur seperti Bung Karno (1965) oleh Soeharto (Angkatan Darat)?
Sepertinya terlihat Joko Widodo yang euforia karena Gibran
Rakabuming Raka- sang anak menjadi
Wakil Presiden. Begitu juga dengan Prabowo Subianto yang menjadi Presiden Republik Indonesia ke-8 (dan sudah memakai
lencana Presiden), setelah empat
kali mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden maupun Presiden pada empat kali Pemilu (2009, 2014, 2019, 2024).
Prabowo Subianto
juga mendapat bonus Bintang 4 (Hor) dari Joko Widodo, untuk pengikat kesetiaan yang bersangkutan.
Mengingat hal di atas, pasti Joko Widodo berduet dengan
Prabowo Subianto “merasa
mengendalikan seluruh kekuatan untuk mempertahankan diri dari ancaman people power sejak 20 Maret s/d
akhir September 2024”. Walau
optimisme (arogan) duet Prabowo Subianto–Joko Widodo meremehkan kehadiran tujuh Jenderal TNI
(Purnawirawan) Bintang 4 (mantan KASAD, KASAL,
dan KASAU), Sutiyoso (Bintang 3), dan puluhan Jenderal TNI (Purnawirawan) lainnya yang saat ini dipimpin oleh
Jusuf Kalla sebagai koordinator kelompok yang
disebut Petisi 100 Plus.
Di antara Jenderal TNI (Purnawirawan), tercatat nama-nama mantan KASAD (Subagyo Hadi Siswoyo, Tyasno Sudarto),
Fachrul Razi (mantan Wakil Panglima TNI),
dan Gatot Nurmantyo (mantan Panglima TNI), mantan KASAU (Agus Supriatna, Chappy Hakim), mantan KASAL
(Slamet Soebijanto, Bernard Kent Sondakh,
Tedjo Edhy Purdijatno). Berikutnya
dari Komando ada Suharto (mantan Danjen Marinir), Soenarko (mantan Danjen Kopassus), Sutiyoso
(mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wakil
Danjen Kopassus).
Belum lagi kita mengetahui sikap Wiranto dan Agum Gumelar
yang plinplan perihal DKP (Dewan
Kehormatan Perwira) pada pemecatan Prabowo Subianto (1998) yang dikarenakan penculikan aktivis 1998, dan menjadi
catatan khusus Amerika Serikat dan
HAM PBB.
Selain itu juga ada keterlibatan Prof. Amien Rais (mantan
Ketua Umum Muhammadiyah, pendiri
Partai Amanat Nasional dan Partai Ummat) dan Prof. Din Syamsudin (tokoh Islam dunia), perlawanan dari NU (Nahdlatul
Ulama) Kultural, seperti Gus Aam
(cucu Wahab Chasbullah-pendiri NU), KH. Azaim Ibrahimy, As’ad Syamsul Arifin (tokoh NU), dan Gus Najih (putra
dari KH. Maimun Zubair), Pondok
Pesantren Gontor, dan KH. Thoifur Mawardi
(Purworejo) alumni Mekkah yang sudah sepuh, dan berpengaruh terhadap
400-an Pesantren besar di Indonesia. Semua kyai NU pendukung Anies Baswedan berpotensi melawan kecurangan Pemilu
yang bagian dari people power.
Diwaspadai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berbau AS yang
berpusat di LBHI (Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia), yang saat ini dikepung oleh Brimob. Mereka yang hadir dengan isu lingkungan hidup, antara lain:
Walhi, Kephis, dan Green Peace;
demokrasi dan HAM (YLBHI), PBHI, HAM PBB Perwakilan Indonesia, Haris Azhar (Lokataru), Usman Hamid (Human Rights
Working
Group), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)-Uni eropa untuk lingkungan hidup, dan banyak lagi LSM afiliasi AS, saat
ini dijaga ketat oleh Brimob dan diteror oleh preman.
Langkah represif Joko Widodo akan berujung chaos (Brimob
yang main kayu), bukan tidak
mungkin Prabowo akan menerjunkan TNI. Menurunkan Hercules, dkk, Laskar Merah Putih dan Laskar
Preman hanya akan mengundang konflik horizontal,
berujung dengan “berdarah” dan HAM PBB akan turun, diikuti operasi AS, beralasan demikrasi dan
HAM.
Gejala krisis politik cross dengan krisis ekonomi. Krisis politik setelah 20 Maret 2024
sangat mungkin terjadi. KPU mengumumkan hasil
rekapitulasi nasional Pemilu 2024. Paslon 02 dituduh oleh Paslon 01 dan Paslon 03, serta publik bahwa
kecurangan Sirekap dengan Algoritma Digital,
adalah kecurangan yang diskenario dengan skema program: Anies Baswedan (24%), Prabowo Subianto (58%), dan
Ganjar Pranowo (18%).
Dimulai dengan cipta kondisi hard quick count, penghitungan
real digital dan manual dengan
ulasan kecanggihan teknologi (kecurangan = Jokowi effect), Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming
Raka diumumkan sebagai Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029.
Isu kecurangan Pilpres 2024 adalah bak rumput kering
dipantik api. Pasca 20 Maret 2024
protes civil society dan Hak Angket Legislatif akan eskalatif. Jika diantisipasi oleh Joko
Widodo-Prabowo Subianto dengan “kasar” (main kayu/power) sangat potensial terjadi chaos. Pemicu lainnya
adalah gejolak harga pra
Ramadhan/Lebaran akibat ulah kartel yang dipelihara rezim Joko Widodo melalui kuota pangan Kementerian
Perdagangan (Zulkifli Hasan) dan Kementerian
Pertanian (Amran Sulaiman).
Negara Indonesia harus membayar utang sebesar lebih dari
Rp500 triliun pada April-Mei 2024
ini. Tentu saat ini Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati) akan menahan laju pembayaran (konon senilai
Rp800 triliun ada pada Bank Indonesia)
untuk keselamatan Indonesia dan reputasi pribadinya sebagai raja utang.
Mukhamad Misbakhun (Fraksi Golkar di Komisi XI) mengatakan
bahwa, utang Indonesia mencapai
Rp20.750 triliun; dengan rincian Rp8.500 triliun utang Pemerintah, sebesar Rp6.900 triliun utang BUMN; dan hampir
Rp5.000 triliun utang Pemerintah
di dalam negeri, seperti: Taspen, BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), Bhakti Telkom, BPJS Tenaga Kerja, dll; serta kewajiban dengan BUMN (subsidi) seperti: Pertamina, PLN, Bulog, dan PUPR. Jika menggunakan data ini ratio utang
yang diperbolehkan konstitusi lebih dari 100%,
padahal yang diperbolehkan berdasarkan Undang-Undang hanya 60%. Jika yang dihitung utang luar negeri
pemerintah saja, hanya Rp8.500 triliun (38%).
Banyak sekali isu bahwa rezim Joko Widodo melanggar pasal 7 UUD 1945 perihal
pemakzulan. Joko Widodo adalah
orang yang sangat visioner, berpikir ke depan. Ia adalah paket komplit sosok politisi dan pengusaha, dan meski sering
terkesan grasa- grusu dalam
mengambil kebijakan, ia adalah sosok langka dengan kalkulasi cermat dan matang, di atas rata-rata
politisi Indonesia. Misalnya, ia tidak peduli dengan kritik pedas mega proyek infrastruktur, mulai dari jalan
tol hingga Ibu Kota Nusantara,
yang dibiayai dengan utang jumbo.
Benar, pilihan Joko Widodo berdampak buruk dalam jangka pendek pada kinerja perekonomian
yang jauh di bawah pendahulunya
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tetapi dari sudut pandang teoritis apa yang ia bangun memang baru akan berdampak
positif bagi Indonesia setelah ia
lengser. Indonesia memang butuh infrastruktur yang layak untuk menjadi negara maju.
Ia tidak bergeming dengan kebijakan hilirisasi produk tambang dan juga regulasi payung kontroversial Cipta Kerja,
meskipun di kritik kanan kiri. Ia tahu, dalam visinya, suatu saat nanti ia akan dikenang sebagai peletak
fondasi ekonomi Indonesia maju nan
modern. Boleh dibilang, hampir semua kebijakan ekonominya itu memiliki dampak positif jangka panjang, sehingga
yang ia pun menyiapkan skenario
politik jangka panjang untuk memastikan semua kepentingan dan visinya tetap dijalankan oleh penggantinya.
Joko Widodo hanya
tinggal memastikan, penerusnya adalah orang yang direstuinya. Untuk hal ini saya sudah menulisnya dalam
seri analisis sebelumnya, bahwa Prabowo Subianto
adalah pilihan kedua Joko Widodo untuk melawan Capres PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, sehingga
siapa pun pemenangnya, kecuali Anies Baswedan,
adalah orang yang dapat ia percaya meneruskan kebijakan- kebijakannya.
Patut diduga, sudah ada semacam konsesi politik yang diberikan Joko Wdodo kepada Prabowo Subianto saat merayunya untuk
bergabung menjadi Menteri Pertahanan
saat menyusun kabinet 2019. Pertama, Prabowo ditempatkan di posisi strategis pada kementerian
dengan anggaran jumbo tiap tahun, paling besar
pada 2023 mencapai Rp131 triliun. Kedua, konsesi endorsement politik
untuk maju sebagai penggantinya di 2024. Dalam pidato pada acara HUT Partai Perindo di Jakarta Pusat, 7 November 2022
silam, Joko Widodo setengah berkelakar
bilang begini. “Kelihatannya setelah ini jatahnya (Presiden) Pak Prabowo,” kata Joko Widodo. Prabowo
Subianto yang hadir dalam acara itu langsung
berdiri dari kursinya dan memberi hormat kepada Joko Widodo.
Mimikri Joko Widodo, Seperti tulisan opini Muhammad Maruf (CNBC Indonesia, 5 Juni
2023) di bawah ini. Dengan tingkat
kepuasan kinerja hingga 85% berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2023-tertinggi sejak Joko
Widodo naik tahta pada 2014,
sangat masuk akal semua capres ibarat ingin mimikri dengan Joko Widodo. Mimikri adalah kemampuan hewan
untuk memakai bagian tubuhnya atau
warna kulitnya agar dapat menyerupai sesuatu, bisa saja hewan lainnya, benda, perilaku atau bahkan suara.
Mimikri tidak berarti hewan mengubah tubuhnya
tetapi hanya menyesuaikan tubuhnya sesuai lingkungan atau hewan lain.
PENUTUP
Terjadikah diskualifikasi paslon 02 yang berbuntut
pemakzulan Joko Widodo? Ibarat
pemantik rumput kering, kecurangan Pilpres yang terbongkar dan gejolak harga-harga sebagai pemicu terjadinya
krisis politik dan ekonomi. Jika itu terjadi pada April–September 2024, itu adalah rumput kering yang
terbakar api.
Faktor-faktor berikut adalah pendorong percepatan
membesarnya api:
1) Intervensi AS (sang Hitman);
2) Kecurangan pada Pilpres 2024 yang terbukti;
3) Pengkhianatan menteri-menteri yang dikenal memegang rahasia kejahatannya, seperti: Luhut Binsar Pandjaitan,
Sri Mulyani Indrawati, Erick
Thohir, Basuki Hadimuljono, Bahlil Lahadalia, Budi Karya Sumadi.
4) Berikutnya
dengan mundurnya menteri-menteri koalisi PDI Perjuangan, PKB, Nasdem yang mencapai 11 orang (30% dari Kabinet
Jokowi-Ma’ruf); 4) Hadirnya Jusuf
Kalla sebagai operator sekaligus bohir bersama taipan yang dendam (kasus minyak goreng dan BTS (Base Transceiver Station/ stasiun pemancar-penerima dasar)-Kominfo) dimana orang- orang terkait dipenjara;
5) Cina dengan ultimatum sita pulau Kalimantan jika
Indonesia tidak dapat membayar
utang;
6) Peran Jusuf Kalla dibantu Jenderal TNI (Purnawirawan) serta LSM, mahasiswa-mahasiswa dari 214 Perguruan
Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi
Swasta yang ingin memakzulkan Joko Widodo;
7) Secara legal formal: Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh,
dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin)
akan memproses Hak Angket di DPR RI, walaupun sampai medio Februari 2024 masih ragu-ragu. Wajar saja, karena beberapa Ketua Umum parpol tersandera
dengan kasus di KPK.
Proses Hak Angket akan disambut oposisi non-parlemen dengan
people power. Krisis politik akan
eskalatik, di waktu bersamaan terjadi gejolak harga pangan di saat ekonomi slow-down (daya beli
rendah). Penduduk yang rentan miskin, dan
sudah miskin, mudah digerakkan turun ke jalan, sementara elemen civil
society sudah pemanasan.
Penulis yakin
pemakzulan Joko Widodo akan terjadi.
Tujuh faktor di atas akan ber……dengan situasi dan kondisi objektif ekonomi yang akan mengalami turbulensi jika
cross dengan krisis politik.
Kesimpulannya, people power mungkin saja terjadi, jika
melihat kondisi objektif
perlawanan . Apakah sampai mendiskualifikasi paslon 02, apakah sekalian
memakzulkan Joko Widodo??? Hanya Allah SWT yang tahu.