Opini oleh D. Supriyanto Jagad N *)
Larangan jurnalisme investigasi. Demikian topik yang sedang menghangat, khususnya di kalangan insan pers. Larangan penayangan secara ekslusif jurnalisme investigatif dalam RUU Penyiaran pada draft terakhir, berpotensi mengancam kebebasan pers dan pertanda lonceng kematian bagi tegaknya demokrasi di Indonesia.
Larangan tersebut, tidak sesuai dengan nilai demokrasi, kerena media tidak dapat lagi melakukan fungsi kontrol sosial, dan berpotensi melahirkan kewenangan kekuasaan secara semena-mena.
Sebagai insan pers, saya merenung sejenak, lalu bertanya entah apa yang merasuk dalam diri pembuat draft RUU Penyiaran itu sampai eksplisit menyertakan diktum melarang penayangan produk jurnalisme investigatif. Jati diri pers nasional akan runtuh jika dipaksakan untuk diundangkan. Pers tidak lagi merdeka, tidak independen, dan tidak akan pernah lahir karya jurnalistik yang berkualitas.
Demi menyelamatkan pers, Dewan Pers pun turun gunung. Menurut Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, ada beberapa unsur yang menyebabkan RUU tersebut menghambat kebebasan pers, khususnya di dunia penyiaran.
Pertama, kata Ninik, RUU ini menghambat insan pers Indonesia untuk melahirkan karya jurnalistik terbaik lantaran adanya larangan membuat liputan yang bersifat investigatif.
Ada apa ini sebenarnya dibalik semua ini? Kebebasan Pers di Indonesia sudah dirasakan nyaman dan “on the track” dengan UU Pers No. 40/1999 yang ditetapkan semenjak 23/09/1999 lalu dan dirasakan sudah sesuai dengan Jiwa & Semangat Reformasi, mendadak ada Usulan dalam Draft RUU Penyiaran Baru yang sedang digodog di Komisi 1 dan BaLeg (Badan Legislasi) DPR-RI.
Dalam draft RUU Penyiaran, ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif, ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU nomor 40 tahun 1999 pasal 4. Dalam UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran.
Kedua, penyusunan RUU ini dinilai tidak melalui prosedur yang layak karena tidak melibatkan masyarakat untuk memberikan pendapat. Bahkan, Dewan Pers sendiri merasa tidak dilibatkan dalam pembentukan RUU ini.
Ketiga, RUU ini membuat lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa yang berurusan dengan pelanggaran pers di bidang penyiaran.
Untuk persoalan ini, saya juga sependapat dengan Roy Suryo, bahwa UU No 40/1999 telah dengan sangat baik mengatur ihwal kerja & etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi. Kalau sekarang mendadak muncul usulan untuk mengatur soal khusus ini (dengan KPI / Komisi Penyiaran Indonesia) bisa diprediksikan akan ada pasal-pasal tiitipan (baca: colongan) yang akan menghambat Kebebasan Pers selama ini tersebut. Termasuk juga Penyelesaian Sengketa Pers yang selama ini ditangani baik oleh Dewan Pers, dalam RUU ini di Pasal 42 akan dilakukan oleh KPI.
Memang anehnya pada konsideran draft RUU Penyiaran tersebut sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang Pers yang sudah ada sebelumnya, sehingga hal ini dalam sistematika Penulisan Draft RUU akan berpotensi tumpang tindih sekaligus ketidakpastian hukum yang diaturnya.
Sudahlah, kita kembali pada ruh pers itu sendiri. Yang sudah berjalan dengan baik gak usah diutak-atik, yang mungkin hanya menyenangkan pihak-pihak tertentu saja. Mungkin lo ya…
Jika RUU ini terus bergulir dan akhirnya disahkan DPR, ada potensi bahwa media di Indonesia tidak akan kredibel dan independen dalam mengawal sebuah isu untuk perbaikan bangsa ini.
Untuk itu, segala upaya pelarangan yang membungkam pers dengan alasan apapun, sejatinya adalah ancaman kebebasan pers karena fungsi dan kerja pers memang harus memenuhi prinsip liputan dua sisi yakni cek dan ricek dengan menggali baik realitas psikologis (opini) maupun realitas sosiologis (kebebasan faktual).
Bisa jadi ada benarnya apa yang disampaikan pengamat politik Universitas Jember Dr. Muhammad Iqbal, ada simpul kekuasaan politik ekonomi yang sangat terusik dengan betapa tajam dan kritisnya produk jurnalisme investigatif ketika berhasil mengungkap suatu kebijakan atau persekongkolan jahat yang merugikan kepentingan publik.
Pelarangan tersebut potensial mengerdilkan bahkan memberangus kebebasan serta independensi pers di ranah penyiaran.
Sebagai insan pers, saya berharap legislatif bisa lebih peka dan masih memiliki hati nurani untuk menyelamatkan pers nasional dan mendudukan pers sebagai penyampai informasi dan fungsi kontrol.
Lenteng Agung, 15 Mei 2024
*) Pekerja media