JAKARTA - Tita, seorang korban mafia tanah, menghadapi kasus pelik yang menimpa tanah warisannya. Ia mengaku memiliki tanah yang ternyata sudah tergadai tanpa sepengetahuannya.
“Ada surat
gadai tapi hanya fotokopi, digadai pada 27 Februari 2016, yang menggadaikan
adalah MAMA KEPALA WARIS,” ujar Tita. Menurutnya, penggadaian tersebut tidak
sah tanpa persetujuan kaum sebagaimana diatur dalam adat Minangkabau.
Tita
menegaskan bahwa tanah warisannya berupa 14 piring sawah dengan sertifikat
asli. Berdasarkan adat Minangkabau, syarat gadai tentu tidak terpenuhi.
“Sawah kami
14 piring dan memiliki sertifikat asli, syarat gadai tentu saja tidak terpenuhi
sesuai adat Minangkabau,” jelasnya.
Upaya hukum
yang dilakukan Tita telah mencapai berbagai tingkatan pengadilan, mulai dari
Pengadilan Negeri Solok hingga Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, namun ia
dinyatakan kalah.
“Kalau
sesuai adat kita harusnya menang,” ungkapnya kecewa.
Ketika
membawa kasus ini ke Mahkamah Agung, Tita justru diminta menyetor sejumlah
uang. “Saya sudah mengajukan PK, dan kuasa hukum saya diminta sejumlah uang,”
tuturnya. Ia juga menyampaikan bahwa banyak korban lain yang tidak mampu
menyewa pengacara dan akhirnya kehilangan tanah mereka meskipun mereka berhak
atas tanah tersebut.
Alvin Lim,
host podcast Quotient TV dan advokat dari LQ Indonesia Law Firm, menanggapi
kasus ini dengan tegas. “Seharusnya tidak ada biaya untuk proses dari
pengadilan negeri ke MA,” kata Alvin. Ia menyoroti ketidakadilan yang dialami
Tita dan korban lainnya, serta menyerukan perlunya perhatian lebih terhadap
hukum adat dalam putusan pengadilan.
Tita
berharap agar tanahnya bisa kembali tanpa harus membayar agunan, mengingat
kasus ini sudah berlangsung selama tujuh tahun. Dia mengaku sudah melapor ke
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), namun
belum mendapatkan hasil yang memuaskan. “Saya mempertanyakan kinerja MA jika
masalah ini tidak selesai,” tambahnya.
Alvin Lim
menekankan pentingnya memperhatikan hukum adat dalam proses peradilan. “Hukum
adat perlu diperhatikan kepada hakim, jika tidak akan ada ketidakadilan,”
ujarnya.
Menurut
Alvin, ketidakpahaman atau pengabaian terhadap hukum adat dapat berakibat pada
keputusan yang tidak adil dan merugikan masyarakat yang hidup berdasarkan adat
tersebut.
Kasus Tita
ini mencerminkan masalah yang lebih luas terkait mafia tanah dan ketidakpastian
hukum di Indonesia.
Banyak
masyarakat, terutama di daerah, menghadapi kesulitan serupa namun tidak
memiliki cukup sumber daya untuk memperjuangkan hak mereka. Ketiadaan biaya dan
kerumitan proses hukum sering kali membuat mereka terpaksa menerima keputusan
yang tidak adil.
Untuk itu,
dukungan dari berbagai pihak, termasuk lembaga hukum dan pemerintah, sangat
dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti ini secara adil dan
transparan. Perlu ada perhatian khusus terhadap penerapan hukum adat dalam
proses peradilan agar masyarakat adat dapat terlindungi hak-haknya.
Tita
berharap agar kasus tanah adat ini menjadi perhatian publik dan pemerintah,
sehingga keadilan bisa ditegakkan dan hak mereka atas tanah warisan dapat
dikembalikan tanpa adanya beban tambahan yang tidak semestinya.
“Kami hanya
ingin keadilan,” tegas Tita, menggambarkan harapan sederhana namun mendalam
dari para korban mafia tanah.