Imam Shamsi Ali
Minggu, 16 Juni lusa ini kembali menjadi hari mengingat nabi Ibrahim AS. Beliau adalah sosok yang menjadi “sentra” keislaman dan ketaatan. Pada diri beliau terpatri kesempurnaan Tauhid, ketaatan, perjuangan dan pengorbanan dalam menjalankan agama Allah SWT. Karenanya beliau senantiasa disandingkan dengan nabi dan Rasul terakhir, pembawa risalah yang sempurna, Muhammad SAW. Bahkan menjadi panutan bagi umat ini: “wattabi’ millata Ibrahim”.
Jika kita mengingat sejarah Ibrahim AS dan pengorbanannya, akan kita dapati pelajaran kehidupan yang sangat mendalam dan menyeluruh. Bahwa sesungguhnya perjalanan beliau dalam perjuangan dan pengorbanan telah menghadirkan transformasi kehidupan yang menyeluruh. Bahwa perjuangan dan pengorbanan itu bukan pada lahiriyah yang dilakukan. Tapi pada esensi makna yang diajarkan.
Itulah salah satu makna dari firman Allah: “sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah daging dan darahnya. Tapi yang sampai kepadaNya adalah ketakwaan di antara kalian”.
Esensi pengorbanan Ibrahim itu terlihat pada tiga bentuk transformasi kehidupan Manusia.
Pertama, transformasi individual dengan akidah Tauhid.
Kita mengenal dari Al-Quran bahwa Ibrahim AS adalah sosok yang terlahir dari latar belakang keluarga dan lingkungan yang musyrik. Kesyirikan pada masa itu teridentifikasi dengan penyembahan berhala-berhala atau patung-patung. Pada tataran logika biasa harusnya Ibrahim kecil/muda telah terjatuh dan tenggelam dalam kesyirikan itu.
Tapi yang terjadi (tentu secara iman karena dijaga Allah atau ma’shun) justeru beliau menjadi intan permata yang indah dan bernilai. Di tengah kesyirikan yang begitu dalam pada masanya beliau justeru mampu memisahkan diri dan menjadi sosok yang menemukan keimanan dan kebenaran yang hakiki. Proses-proses yang dilalui juga adalah proses unik. Dari bintang-bintang ke bulan lalu ke matahari yang disangkanya Tuhan, pada akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa: “sesungguhnya Tuhan adalah yang mencipta langit dan bumi. Dan kepadaNya semata dia berserah diri”.
Perjalanan hidup Ibrahim semuanya menggambarkan transformasi itu. Beliau secara individu bertransformasi menjadi sosok yang tidak saja berakidah “tauhid”. Tapi menjadi pilar dan akar ketauhidan dalam kehidupan manusia. Beliau kemudian dikenal sebagai “Abul ambiya”. Dari beliaulah terlahir begitu banyak nabi dan Rasul yang membawa risalah Tauhid ke seluruh penjuru alam semesta.
Jika saja realita ini kita kaitkan dengan konteks kita umat Islam di Dunia Barat justeru khawatir yang terjadi adalah sebaliknya. Bahwa kita datang dari latar belakang Islam dan iman. Namun lambat laun karena berhala-berhala kehidupan menjadikan kita justeru terjatuh ke dalam dunia kesyirikan. Berhala-berhala itu bukan lagi dalam wujud patung-patung. Tapi wujud modern yang lebih berbahaya. Salah satunya adalah berhala materialisme yang kerap menggeser posisi Tuhan dalam kehidupan kita.
Kedua, transformasi keluarga melalui keimanan dan ketaatan.
Transformasi kedua yang sangat penting untuk kita ingat dan tauladani dari Ibrahim AS adalah transformasi keluarga. Bahwa beliau berlatar belakang keluarga yang berkarakter kesyirikan. Ayah beliau bahkan dikenal sebagai pembuat patung-patung yang menjadi sembahan raja dan masyarakat.
Namun Ibrahim dengan perjuangan dan pengorbanannya telah membawa Transformasi keluarga yang sangat Istimewa. Bagaimana keluarga Ibrahim dalam sejarah menjadi keluarga yang menjadi pelopor ketauhidan dan ketaatan (ketakwaan). Itulah yang diabadikan dalam Al-Quran dengan doanya: “waj’alna imaaman lil-muttaqiin”.
Dalam perjalanan selanjutnya Ibrahim dikarunia Allah keluarga yang luar biasa. Baik yang dari isteri pertamanya Sarah (AS) maupun dari isteri keduanya Hajar (AS). Dari Sarah kita kenal belakangan melahirkan Ishak. Dan dari Ishak kemudian Allah mengkaruniai para nabi dan Rasul yang banyak. Termasuk di dalamnya nabi Ya’qub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Zakriyah, Isa dan Yahya. Dari Hajar terlahir anak pertamanya Ismail yang keturunannya di kemudian hari menjadi nabi dan Rasul terakhir, Muhammad SAW.
Tapi yang perlu kita ingat adalah bagaimana perjuangan dan pengorbanan Ibrahim itu kemudian melahirkan keluarga rabbani yang memilki ketangguhan Iman dan komitmen ketaatan yang luar biasa. Keluarga inilah yang selanjutnya menjadi jalan terjaganya hidayah bagi alam semesta.
Jika saja kita tarik pada konteks kehidupan kita sebagai Muslim di dunia Barat justeru menjadi kekhawatiran yang sangat. Jangan-jangan kita justeru berbalik. Jika Ibrahim AS terlahir dari keluarga yang musyrik lalu bertransformasi ke keluarga yang bertauhid dan taat, jangan-jangan anak dan generasi kita berbalik. Terlahir dari keluarga Muslim tapi tumbuh menjadi generasi yang terjatuh ke dalam penyembahan berhala-berhala. Termasuk di dalamnya berhala materialisme yang dari hari ke hari semakin menggeser posisi Tuhan dalam
Kehidupan manusia.
Ketiga, transformasi komunal dengan ketakwaan.
Transformasi ketiga yang terjadi dengan perjuangan dan pengorbanan Ibrahim (AS) adalah transformasi komunal atau kemasyarakatan. Bahkan sesungguhnya Ibrahim berhasil mewujudkan transformasi global ke seluruh penjuru semesta.
Kita mengenal dari Al-Quran yang kemudian menjadi catatan sejarah bahwa Ibrahim terlahir dalam masyarakat Musyrik di bawah seorang raja yang musyrik bernama Namrud. Semua masyarakat, termasuk ayah Ibrahim sendiri adalah musyrik. Sehingga bisa disimpulkan bahwa masyarakat di mana Ibrahim tumbuh adalah masyarakat yang berkarakter kesyirikan.
Namun melalui perjuangan dan pengorbanannya, Ibrahim berhasil melakukan transformasi komunal bahkan global. Ibrahim sendiri dikenal sebagai “Ummah” dan beliau diangkat oleh Allah menjadi “imam Lin-naas” (pemimpin manusia).
Jika saja hal ini kita tarik ke dalam konteks kehidupan kita di Dunia Barat maka seharusnya kita jadikan cambuk untuk perjuangan dan pengorbanan untuk terjadinya transformasi komunal. Pada konteks Amerika diharapkan umat Islam harus mampu melakuan transformasi komunal, merubah Amerika dari bangsa yang cenderung menyembah berhala materialisme ke bangsa yang menyembah hanya kepada Pencipta langit San bumi. Dari masyarakat yang berkarakter materialis menjadi masyarakat yang berkarakter Rabbani (ketuhanan). Dan sejatinya itulah Amerika: “one nation under God”.
Kesimpulan yang ingin kita ambil adalah bahwa perayaan Idul Adha harusnya bukan sekedar dipahami sebagai amalan ritual dengan menyembelih hewan. Tapi Idul Adha harus dipahami sebagai peristiwa yang harusnya menjadi landasan bagi terjadinya transformasi kehidupan secara menyeluruh. Bahkan sejatinya Idul Adha harus menjadi motivasi bagi umat ini untuk kembali merajut jati dirinya sabagai “Ummah wahidah” (one global nation) dalam ikatan “wihdah dan ukhuwah imaniyah.
InshaAllah Semoga!
Bellevue hospital, 12 June 2024