Opini oleh Shamsi Ali Al-Kajangi
Hari Ahad, 16 Juni kemarin, umat Islam dunia merayakan Idul Adha. Perayaan hari penting dan bersejarah yang mengingatkan kita semua kepada perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan anaknya Ismail AS. Idul Adha sesungguhnya bukan pada “sembelihannya”. Tapi yang lebih penting adalah makna-makna yang dapat dipetik dari mengingat pengorbanan itu.
Pada tulisan yang lalu saya sampaikan makna terpenting dari pengorbanan Ibrahim. Bahwa dengan perjuangan dan pengorbanannya Ibrahim telah berhasil menghadirkan tiga wujud transformasi penting dalam kehidupan manusia. Transformasi individiual, keluarga dan masyarakat, bahkan global. Hal yang tidak akan saya ulangi lagi.
Yang ingin saya sampaikan kali ini adalah penggalan khutbah yang saya sampaikan pada Idul Adha kemarin pagi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan gelar Ibrahim sebagai “Ummah” (Kaana ummatan qaanita) dan “Imaam” (inni jaa’iluka linnaas imaama). Bahwa Ibrahim pada dirinya sendiri merepresentasi komunitas atau bangsa (umat). Bahkan diangkat menjadi pemimpin umat manusia (global) oleh Allah SWT.
Dalam khutbah saya yang cukup singkat (15 menitan) karena udara mulai panas, Saya menyampaikan bahwa komitmen kita dalam berislam jangan sampai dipahami secara sempit seolah Islam itu hanya agama individual yang mengajarkan ragam ritual serta dibatasi oleh dinding-dinding rumah ibadah. Justeru Islam harus dipahami sebagai agama kehidupan yang mencakup seluruh aspeknya.
Salah satu aspek terpenting dari ajaran Islam adalah mengatur sisi kehidupan jama’i manusia agar tetap lurus dan selaras dengan kefitrahannya. Jika kehidupan publik manusia tidak diatur dengan norma dan batasan (huduud) maka kehidupan manusia secara sosial akan menjadi kehidupan rimba yang tidak sejalan dengan kefitrahan (kesucian) kemanusiaannya. Selain itu manusia bisa menjadi buas bahkan lebih buas dari binatang buas. Bahkan manusia akan kehilangan pegangan moralitas dalam melihat yang baik sebagai kebaikan dan yang buruk sebagai keburukan.
Di sinilah urgensi umat ini mengingat Ibrahim sebagai ummatan (bangsa/masyarakat). Bahwa pada dirinya terpatri nilai keumatan yang ideal. Ibrahim itu haniif (lurus dalam akidah) dan karenanya “qaanita” (ketaatan) dalam kehidupannya. Dengan akidah yang benar dan solid Ibrahim memiliki komitmen ketaatan yang tinggi.
Jika hal ini kita tarik ke dalam kehidupan keumatan masa kini, ada dua hal yang saya garis bawahi.
Pertama, pentingnya umat ini merajut kembali puing-puing keumatan yang berceceran di mana-mana. Saya menyebutnya pentingnya untuk merekonstruksi kembali “our broken umat”. Bahkan saya menyebutnya sebagai “sick umat”. Penyakit yang saya maksudkan adalah bahwa umat ini sedang mengidap penyakit kronis “wahan” sebagaimana diprediksi oleh Rasulullah sejak masa silam.
Kedua, bahwa kesadaran keumatan itu harus kembali dirajut dalam kesadaran kesatuan (Ummah wahidah) yang diikat oleh “ukhuwah imaniyah” (innamal mikminuna Ikhwah) dan “ikatan kasih sayang” atau rahmah (ruhamaa baenahum). Kesemua itu telah dirusak oleh wahan (hubbu dunia wa karahiyatul maut) tadi. Akibatnya koneksi keumatan tidak lagi berlandaskan “iman” dan “rahmah”. Tapi didasarkan kepada kepentingan sempit yang biasa disebut “National interests” atau kepentingan nasional sempit.
Inilah yang kemudian menjadikan sebagai negara-negara mayoritas Muslim rela mengorbankan saudara-saudara seiman jika kepentingan nasional kurang maksimal. Bahkan seringkali ada negara-negara Islam yang lebih memilih kerjasama dengan negara-negara lain bahkan penjahat sekalipun, demi apa yang disebut kepentingan nasional itu. Hal ini sangat terekspos dengan peristiwa genosida yang masih terus berlangsung di Gaza Palestina saat ini. Sebagain negara-negara Islam masih memilih membangun relasi dengan Israel di saat saudara-saudaranya dibantai tanpa pri kemanusiaan.
Konteks keumatan di Barat
Hal lain yang saya tekankan pada khutbah Id kemarin adalah pentingnya mengambil pelajaran dari keumatan Ibrahim dalam konteks keumatan kita di Dunia Barat, khususnya di Amerika. Ada banyak persamaan antara keadaan keumatan Ibrahim dan keumatan di Amerika. Salah satunya adalah bahwa Ibrahim pada masanya hidup (lahir dan tumbuh) dalam masyarakat yang berideologi paganisme (penyembah berhala-berhala). Umat Islam di Amerika sejatinya juga hidup di tengah masyarakat yang menyembah berhala. Berhala tidak lagi dalam bentuk patung-patung yang kita kenal itu. Tapi berhala “materialisme” yang telah berhasil memarjinalkan posisi Tuhan dalam kehidupan manusia.
Karenanya konteks keumatan Ibrahim AS bagi umat Islam Amerika adalah sangat tepat. Kita menghadapi kaum paganis yang radikal. Paganisme material ini telah menjadi wujud sembahan yang menjadikan bangsa Amerika kehilangan nurani dan jati diri. Akibatnya kehidupan mereka terbolak-balik. Tidak jarang yang baik dianggap buruk dan yang buruk dianggap baik. Saya tentu tidak perlu merincikan hal ini. Kita bisa melihat secara nyata bagaimana “gaya hidup” dengan segala kemajuan dunia menjadi paradoksikal dengan nilai-nilai nurani dan moralitas.
Karenanya jika Ibrahim bangkit melawan keganasan paganisme pada masanya, umat Islam Amerika harusnya memilki misi yang sama. Kehadiran umat Islam di Amerika, baik yang imigran apalagi memang terlahir di bumi Paman Sam harus mampu membangun komitmen untuk memerangi berhala-berhala (paganisme/materialisme) itu. Tugas Ibrahim adalah menghadirkan transformasi akidah Tauhid yang menjadi fondasi bagi masyarakatnya. Ini pulalah misi umat Islam Amerika. Menghasilkan transformasi atau perubahan fundamental bagi bangsa Amerika. Dari sebuah bangsa yang diperbudak oleh material menjadi bangsa yang hanya diperbudak oleh Pencipta langit dan bumi.
Tentu kesadaran tugas mulia ini harus terbangun di atas mentalitas yang solid (tinggi dan mulia). Dan mentalitas yang kuat dan mulia (izzah) itu hanya akan terjadi ketika kita berada pada posisi “kepemimpinan”. Maka sebagaimana Ibrahim diangkat menjadi pemimpin manusia, umat ini juga harusnya mewarisi posisi kepemimpinan atau imaamah itu. Kepemimpinan yang dikaruniakan karena memang telah memenuhi kriterianya. Salah satunya karena telah memenuhi semua perintah-perintah agama (kalimaat) itu. Bukan karena dipaksakan melalui nepotisme yang memalukan.
Kesimpulannya adalah umat Islam di Amerika dan Barat secara umum harus menjadi “leading player” (imaam) dalam upaya mentransformasi Amerika menjadi Amerika yang lebih baik. Amerika yang punya hati dan nurani. Amerika yang jujur pada nilai-nilai yang dibanggakan; penghormatan kepada HAM, kehidupan dan kemuliaan manusia, kebebasan, kesetaraan dan keadilan untuk semua (justice for all).
Untuk umat Islam di Amerika hanya akan mampu melakukan ini, jika dua hal yang mendasar ini dilakukan. Satu, membangun Komunitas Muslim yang kuat. Komunitas Muslim yang tidak saja besar secara kwantitas. Tapi memiliki kwalitas tinggi sebagaimana Ibrahim yang dalam kesendirian dipuji sebagai umat yang solid.
Dua, mengambil bagian dalam kehidupan “mainstream” dan public engagement. Artinya Umat Islam Amerika harus melakuan pembenahan dan memperkuat komunitasnya serta membangun mindset bahwa Amerika adalah negara mereka (their home) sendiri. Umat Islam Amerika tidak bisa lagi menjadi tamu di negaranya sendiri.
Itulah di antara poin-poin yang saya sampaikan dalam khutbah Idul Adha kemarin. Semoga Allah memberkahi dan menerima amal kita semua. Sekali lagi, selamat hari Raya Idul Adha. Taqabbala Allahu minna wa minkum. Amin!
Bellevue Hopsital, 17 Juni 2024
(Chaplain, NYC Health & Hospitals / Bellevue Hospital).