Opini olah Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Kurs
rupiah terpuruk ke tingkat yang memprihatinkan. Rupiah sempat tembus Rp16.500
per dolar AS pada akhir minggu lalu (20/06/24). Nampaknya Kementerian Keuangan
dan Gubernur Bank Indonesia (BI) tidak berdaya menghadapi merosotnya kurs rupiah
ini. Tetapi, mereka mencoba membela diri, yang cenderung ngawur.
Menteri
Keuangan Sri Mulyani menuding Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, menjadi
penyebab anjloknya rupiah, karena tidak menurunkan suku bunga acuannya (Fed
Funds Rate). Tentu saja, pernyataan Sri Mulyani ini sangat ngawur. Bagaimana
mungkin seorang Menteri Keuangan menyalahi Bank Sentral AS atas terpuruknya
rupiah? Memprihatinkan. Terlihat jelas Sri Mulyani hanya mencari kambing hitam
atas kegagalannya.
Selain
Sri Mulyani, Gubernur BI Perry Warjiyo juga memberi pernyataan. Sayangnya,
pernyataan Perry Warjiyo malah membuat masyarakat bertambah khawatir atas
kondisi moneter saat ini. Pernyataan Perry Warjiyo mencermikan pelemahan rupiah
sudah di luar kendali BI.
Perry
Warjiyo mengatakan, fundamental ekonomi Indonesia saat ini sangat baik sehingga
kurs rupiah seharusnya menguat: Sehingga kurs rupiah seharusnya menguat. Dikutip
dari harian kompas.com: “Kalau dilihat dari faktor fundamental, nilai tukar
rupiah kita itu seharusnya akan menguat," kata Perry (20/6/2024).”
Nampaknya, Gubernur BI bingung dan tidak mengerti, kenapa kurs rupiah malah
melemah? Bahaya sekali!
Perry
menjelaskan, yang dimaksud fundamental ekonomi cukup baik tercermin dari
tingkat inflasi rendah (2,84 persen), pertumbuhan ekonomi Q1/2024 cukup tinggi
(5,11 persen), dan pertumbuhan kredit cukup baik (12 persen).
Penjelasan
Gubernur BI sangat mengkhawatirkan karena terkesan yang bersangkutan tidak
paham (atau pura-pura tidak paham?) tentang keterkaitan fundamental ekonomi dan
kurs rupiah.
Pernyataan
Perry Warjiyo bahwa “tingkat inflasi Indonesia relatif rendah (dibandingkan AS)
maka kurs rupiah seharusnya menguat (terhadap dolar AS)”, secara implisit merujuk
teori inflation parity (atau Relative Purchasing Power Parity = RPPP) dalam
menentukan nilai tukar. Yaitu, perbedaaan tingkat inflasi antar dua negara akan
terefleksi sepenuhnya pada perubahan kurs mata uang kedua negara tersebut.
Tetapi,
faktanya, teori RPPP tidak pernah menjadi dasar penentu nilai tukar mata uang
di dunia yang semakin terbuka (open global economy). Kalau teori kurs mata uang
rujukan Perry Warjiyo benar, maka kurs rupiah seharusnya sudah menguat sejak
Februari 2021, di mana tingkat inflasi AS mulai meningkat tajam, jauh lebih
tinggi dari tingkat inflasi Indonesia.
Namun,
faktanya kurs rupiah tidak menguat selama periode tersebut. Artinya, teori nilai
tukar yang di maksud Perry Warjiyo, bahwa kurs rupiah akan menguat karena
inflasi lebih rendah, tidak terbukti. Sebaliknya, kurs rupiah selama periode 18
Februari 2021 sampai akhir Desember 2022 malah merosot 11,1 persen: dari
Rp14.010 menjadi Rp15.565 per dolar AS, dan lanjut melemah menjadi Rp16.450 per
dolar AS pada 20 Juni 2024.
Apakah
karena distorsi pemahaman ini, maka Perry Warjiyo berkali-kali mengatakan “yakin”
nilai tukar rupiah akan menguat, tetapi berkali-kali juga hal tersebut tidak
terjadi, sehingga membuat kredibilitas BI terpuruk: Pertanyannnya, apakah BI masih
dapat mengendalikan kurs rupiah?
BI bahkan
sampai menerbitkan tiga jenis surat utang, dalam rupiah (SRBI) maupun valuta
asing (SVBI, SUVBI), untuk memperkuat (alias doping) kurs rupiah. Tetapi, gagal
total.
Kedua,
Perry Warjiyo mengatakan, pertumbuhan ekonomi Q1/2024 cukup tinggi, 5,11
persen, karena itu, kurs rupiah seharusnya menguat. Lagi-lagi, Perry gagal
paham tentang fundamental ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan kurs, di mana
pertumbuhan ekonomi (Indonesia) relatif tinggi tidak berarti nilai tukar
(rupiah) menguat.
Pertumbuhan
ekonomi triwulanan Indonesia selama periode Q1/1996 sampai Q3/1997 sangat
tinggi, mencapai 10,39 persen pada Q4/1996, 7,2 persen pada Q1/1997 dan 5,22
persen pada Q2 dan Q3/1997. Tetapi kurs rupiah terhadap dolar AS anjlok dari
Rp2.432 pada 1 Juli 1997 menjadi Rp5.550 pada 31 Desember 1997, dan sempat tembus
Rp6.000 pada 24 Desember 1997.
Artinya,
krisis nilai tukar (moneter) tidak ada hubungannya dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi periode-periode sebelumnya. Artinya, pertumbuhan ekonomi 5,11 persen
pada Q1.2024 (meskipun penuh tanda tanya), tidak menjamin kurs rupiah tidak bisa
merosot. Artinya, jaminan Perry Warjiyo bahwa rupiah akan menguat hanya jaminan
kosong.
Ketiga,
Perry juga mengatakan pelemahan kurs rupiah lebih baik dari beberapa negara
lainnya, antara lain Jepang. Sekali lagi, pernyataan seperti ini sangat
mengecewakan, seolah-olah Perry Warjiyo tidak paham bahwa kondisi ekonomi setiap
negara berbeda-beda.
Bagi
negara tertentu yang mempunyai surplus neraca transaksi berjalan seperti
Jepang, Thailand, Vietnam, Malaysia, Korea, pelemahan nilai tukar mata uangnya
akan menguntungkan ekonomi mereka. Karena alasan ini, kebijakan ekonomi Shinzo
Abe yang dinamakan Abenomics pada intinya adalah dengan sengaja melemahkan nilai
tukar yen terhadap dolar AS, melalui quantitative easing, ekspansi
fiskal serta devaluasi yen. Hasilnya yen terdepresiasi sekitar 25 persen hanya
dalam 4 bulan. Selain itu, aset bersih warga Jepang di luar negeri mencatat
surplus sangat besar, sehingga devaluasi (pelemahan) yen sangat menguntung
ekonomi Jepang.
Tetapi,
bagi Indonesia sebaliknya. Pelemahan rupiah akan membuat ekonomi Indonesia
terpuruk. Karena Indonesia mempunyai defisit transaksi berjalan dan utang luar
negeri yang sangat besar. Karena itu, membandingkan pelemahan rupiah dengan
pelemahan yen sangat tidak masuk akal, mencerminkan panik.
Perry Warjiyo patut dikasihani, karena harus pasang badan untuk Jokowi (dan Sri Mulyani). Perry Warjiyo harus mengorbankan kredibilitasnya, dengan memberi pernyataan tidak profesional dan tidak masuk akal.
Perry
Warjiyo seharusnya berani mengatakan, masalah moneter dan anjloknya kurs rupiah
saat ini akibat tata kelola keuangan negara ugal-ugalan, yang membuat defisit
APBN dan utang negara melonjak tajam, serta kegagalan pembangunan ekonomi untuk
menciptakan fundamental ekonomi yang baik, yaitu menciptakan surplus transaksi
berjalan agar tidak tergantung dari utang luar negeri.Dalam hal ini, kebijakan
moneter BI tidak akan efektif karena tersandera permasalahan ekonomi dan
fiskal. Untuk itu, Jokowi harus bertanggung jawab.