Oleh Shamsi Al-Kajangi
Setelah Rasulullah melakukan konsolidasi keumatan, baik secara internal (sesama Muslim) maupun eksternal (dengan non Muslim) dengan sendirinya secara utuh beliau diterima sebagai pemimpin bangsa dan negara Madinah. Warga kalangan non Muslim, khususnya Komunitas Yahudi di Madinah, tidak sepenuhnya menerima beliau sebagai pemimpin negara.
Penolakan Komunitas Yahudi ini tidak lepas dari apa yang Al-Quran sebut sebagai “hasadan” atau dengki yang mereka miliki terhadap nabi dan rasul Allah SWT. Kita mengenal dalam sejarah jika kehadiran Komunitas Yahudi di Madinah adalah bagian dari keyakinan mereka akan datangnya nabi terakhir yang dijanjikan di Kitab suci mereka. Hanya saja Yahudi sebagaimana kita ketahui selalu mengaitkan agama dengan keturunan. Karenanya Muhammad SAW mereka tolak karena bukan dari keturunan Ishak, sebagaimana mereka.
Hasad atau kedengkian ini kemudian berimbas juga kepada kepemimpinan politik Rasulullah (raja atau Presiden) di Madinah. Resistensi terbesar Rasulullah datang dari kelompok masyarakat Yahudi ini. Bahkan lahirnya kelompok-kelompok resistansi lainnya, termasuk kelompok munafik, juga karena provokasi Yahudi. Mirip-mirip dengan situasi Zionis masa kini. Mereka lihai memainkan muslihat dan makar untuk membenturkan satu kelompok orang dengan kelompok lainnya. Bahkan membenturkan di antara sesama kelompok yang satu. Mirip-mirip dengan “devide et empire” (taktik pecah belah untuk menjajah).
Selain muslihat jahat dan kelicikan yang dimiliki oleh masyarakat Yahudi di Madinah, mereka juga sejak lama dipersepsikan sebagai “kelas atas” di Madinah. Prestise dan keistimewaan itu karena memang mereka lebih terdidik dan juga lebih unggul secara ekonomi. Sehingga masyarakat Arab non-Islam, khususnya ‘Aus dan Khazraj, cenderung mengikuti arahan-arahan mereka. Bahkan perang saudara yang selama ini terjadi antara mereka juga tidak lepas dari perencanaan (makar) Yahudi ini.
Salah satu kelebihan masyarakat Yahudi di Madinah juga adalah penguasaan market dan kapital (pasar dan keuangan). Mereka yang memiliki pasar. Mereka pula yang memiliki sumur Madinah. Keduanya menjadi sumber kehidupan dan kekuatan ekonomi. Dan dengan diterapkannya sistim ribawi masa itu menjadikan mereka semakin leluasa menguasasi perekonomian Madinah dan menjadikan yang lain tergantung kepada mereka.
Karenanya atas tuntutan untuk membebaskan umat dari ketergantungan ekonomi, yang dapat berimbas kepada ketergantungan politik, Rasulullah mulai memikirkan langkah-langkah kongkrit yang objektif untuk membangun perekonomian umat. Apalagi kekuatan ekonomi Yahudi ini mulai dipergunakan untuk melakukan pressures (tekanan-tekanan) kepada pemerintahan Muhammad SAW dengan ragam makar.
Pada saat yang sama Rasulullah telah menerima perintah Zakat dalam Qur’an (wa atuz zakaah). Rasulullah dalam memahami perintah zakat tidak dipahami secara konvensional sebagaimana kita semua memahaminya. Tapi dipahami dengan pemahaman yang lebih dari sekedar pemahaman umum. Secara umum Zakat berarti perintah Allah (kewajiban) untuk mengeluarkan harta 2.5 persen dari penghasilan bersih (setelah semua pengeluaran pokok) sekali dalam setahun. Zakat ini bahkan menjadi salah satu dari fondasi (rukun) amalan ritual Islam.
Rasulullah memahami Zakat dengan pemahaman yang lebih maju. Bahwa ketika kita diperintah “mengeluarkan” maka seharusnya perintah sebaliknya berlaku. Secara logika tidak mungkar seseorang akan mengeluarkan atau memberi kalau orang itu tidak memiliki. Karenanya perintah memberi oleh Rasulullah SAW dipahami sekaligus sebagai perintah untuk mendapatkan pemasukan (income) yang lebih dari kebutuhan pokok.
Dengan kata lain perintah mengeluarkan zakat kepada umat ini dipahami oleh Rasulullah SAW sebagai perintah untuk membangun perekonomian umat. Perintah kepada umat ini untuk melakukan jihad ekonomi agar umat menjadi makmur. Bahkan umat memilki kemampuan yang melebihi dari sekedar memenuhi kebutuhan pokoknya. Tapi mampu memberikan Zakat (Charity) untuk membantu mereka yang mustadh’afiin (segmen masyarakat lemah).
Rasulullah kemudian mengidentifikasi sumber perekonomian Madinah. Selain pertanian (korma) dan peternakan juga perlunya menguasasi sumur dan pasar. Sumur dan pasar mungkin bisa diilustrasikan sebagai modal dan perbankan masa kini. Siapa yang menguasai dua hal ini maka mereka menguasasi perekonomian negara. Dan keduanya ada di tangan Komunitas Yahudi saat itu.
Untuk itu Rasulullah mengumpulkan sahabat-sahabatnya yang memiliki kemampuan finansial. Mereka diseru untuk mengumpulkan dana untuk membeli pasar dan sumur itu. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama sumur dan pasar dibeli oleh Komunitas Muslim di Madinah. Mereka yang tadinya adalah konsumen berbalik menjadi pemilik. Sebaliknya Komunitas Yahudi kini menjadi konsumen bagi komunitas Islam.
Saya tidak ingin menuliskan secara rinci lagi bagaimana proses-proses yang terjadi hingga pasar dan sumur Madinah itu terbeli. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa hal keempat yang Rasulullah lakukan di Madinah untuk membangun Komunitas yang solid adalah membangun perekonomian umat. Beliau tersadarkan bahwa tanpa kekuatan ekonomi umat akan selalu lemah, bahkan bergantung kepada orang lain.
Hal ini menjadi tuntutan untuk disadari oleh umat masa kini. Kekuatan ekonomi umat yang lemah mengakibatkan ketergantungan kepada orang lain. Hal yang kemudian menyebabkan kelemahan bahkan rasa inferioritas kompleks. Rasa hina dan hilangnya “izzah” dan jati diri karena ketergantungan ekonomi ini. Hal yang Rasulullah lawan dan berhasil.
Akankah umat ini terus menggantung kepada kekuatan lain? Atau sudah masanya bangkit merebut modal dan pasar dunia. Semoga! (Bersambung…).
Manhattan, 15 Juli 2024
Direktur Jamaica Muslim Center / Presiden Nusantara Foundation