Opini oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), No 60 dan No 70, cukup mengguncang gravitasi politik Indonesia.
Pertama, MK memutuskan partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPRD dapat ikut mengusung calon pasangan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikoeta).
Kedua, MK juga menurunkan threshold atau ambang batas pencalonan kepala daerah dari 25 persen perolehan suara atau 20 persen jumlah kursi di DPRD menjadi persentase degresif tergantung dari jumlah pemilih daerah: semakin besar jumlah pemilih, semakin rendah persentase ambang batas pencalonan. Untuk pemilihan kepala daerah Provinsi Jakarta, ambang batas pencalonan cukup 7,5 persen dari perolehan suara.
Ketiga, MK juga putuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur tetap 30 tahun pada saat penetapan calon.
Putusan MK tersebut dibacakan atau diputus pada 20 Agustus 2024.
Putusan MK ini sangat baik bagi demokrasi Indonesia, karena meminimalisir kemungkinan kartel politik yang akan membawa Indonesia menjadi negara tirani yang dikuasai partai politik. Putusan MK ini lebih sesuai dengan amanat Konstitusi Pasal 18 ayat (4), bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis: semakin rendah ambang batas pencalonan kepala daerah, maka semakin baik tingkat demokrasi.
Nampaknya, Putusan MK yang pro demokrasi dan kedaulatan rakyat tersebut disikapi berbeda oleh sekelompok masyarakat, khususnya elit politik istana dan kroninya.
Tersiar berita, presiden Jokowi dan kroninya di DPR akan melakukan “perlawanan” terhadap Putusan MK tersebut. Berita liar ini tidak mempunyai dasar hukum, alias bertentangan dengan konstitusi.
Berita liar pertama, Presiden Jokowi akan mengeluarkan PERPPU untuk menganulir Putusan MK tentang ambang batas Pilkada tersebut. Tentu saja manuver ini tidak mungkin bisa dilakukan secara hukum. Karena, PERPPU yang setara UU tidak bisa menganulir Putusan MK, karena kedudukan hierarki PERPPU (dan UU) berada di bawah Putusan MK yang wajib dimaknai sebagai bagian dari Konstitusi.
Sebaliknya, MK bisa menganulir UU atau pasal dalam undang-undang yang dianggapnya bertentangan dengan Konstitusi, seperti Putusan MK No 60 ini yang mengubah atau menganulir Pasal 40 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah.
Artinya, kalau Jokowi nekat menerbitkan PERPPU yang bertentangan dengan Putusan MK tersebut, apalagi mengembalikan UU atau pasal dalam UU yang inkonstitusional dan sudah dikoreksi oleh MK, maka secara nyata-nyata Jokowi melanggar Putusan MK dan artinya melanggar Konstitusi. Untuk itu, Jokowi bisa seketika itu juga dimakzulkan, seperti diatur di dalam Konstitusi.
Berita liar kedua, DPR akan membuat UU Pilkada baru secara kilat, untuk menganulir Putusan MK. Berita ini juga hanya ilusi, dan secara hukum tidak dimungkinkan. Berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan No 12 Tahun 2011, pembentukan UU harus melewati beberapa tahapan yang tidak mungkin bisa selesai hanya dalam satu minggu.
Selain itu, materi muatan UU Pilkada baru tidak boleh bertentangan dengan Putusan MK. Dalam hal ini, ambang batas untuk pencalonan gubernur dan wakil gubernur Pilkada Jakarta, misalnya, tidak boleh lebih dari 7,5 persen dari perolehan suara.
Apabila dipaksakan proses pembuatan UU Pilkada baru tersebut dibuat super cepat, melanggar UU NO 12/2011, dan materinya bertentangan dengan Putusan MK, maka DPR secara nyata melakukan pelanggaran konstitusi, atau lebih tepatnya makar konstitusi.
Berita liar ketiga, DPR akan menafsirkan Putusan MK tersebut berlaku untuk Pilkada berikutnya, yaitu 2029. Hal ini tidak benar secara hukum dan konstitusi. Apabila KPU tidak menerima pendaftaran pencalonan kepala daerah sesuai Putusan MK, maka Pilkada akan menjadi tidak sah, karena melanggar Putusan MK dan karena itu melanggar Konstitusi. Dalam hal ini, KPU secara nyata melakukan makar konstitusi.
Alasannya, pertama, Putusan MK berlaku final dan mengikat, dan berlaku seketika (pada saat dibacakan, pada 20 Agustus 2024), kecuali dinyatakan lain secara eksplisit di dalam Putusan MK tentang masa berlakunya. Karena, pada dasarnya, Konstitusi wajib berlaku seketika untuk memberi kepastian hukum. Dengan kata lain, UU atau Pasal dalam UU yang bertentangan dengan konstitusi wajib batal seketika pada saat dinyatakan inkonstitusional atau direvisi oleh MK.
Hal ini sudah terbukti dan sudah ada yuris prudensinya ketika MK memutus batas usia minimum capres dan cawapres 40 tahun atau pernah menjabat sebagai Kepala Daerah, yang kemudian membuat Gibran bisa dicalonkan sebagai wakil presiden, meskipun Peraturan KPU belum diubah, dan masih menggunakan Peraturan KPU lama, dengan batas usia minimum 40 tahun.
Artinya, Putusan MK No 90 tersebut berlaku seketika, dan menganulir semua peraturan dan UU yang bertentangan dengan Putusan MK. Karena, Putusan MK lebih tinggi dari Peraturan KPU atau UU yang direvisinya.
Kalau KPU tidak merevisi Peraturan KPU sesuai Putusan MK, maka KPU melanggar kode etik seperti tercermin dari Putusan DKPP, tetapi tidak membatalkan pencalonan yang sesuai Putusan MK.
Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi DPR atau Presiden selain taat dan tunduk pada Putusan MK.
Apabila DPR atau Presiden nekat melawan Putusan MK, maka berarti DPR atau Presiden melanggar Konstitusi, atau melakukan perbuatan makar Konstitusi. Hal ini pasti akan memicu chaos, dan mengundang amarah rakyat yang sudah muak melihat demokrasi dan kedaulatan rakyat diinjak-injak segelintir orang.
Sudah menjadi hak dan kewajiban rakyat untuk melindungi konstitusi dan merebut kedaulatan rakyat, dengan cara apapun.
John Locke: Revolt is the right of people.