Opini oleh M
Rizal Fadillah
Akun Fufufafa masih ramai dibicarakan khususnya di media
sosial. Belum juga keduanya dilantik tetapi serangan “Wapres” kepada “Pres”
sangat sengit dan brutal. Meski berjangka waktu jauh ke belakang namun ternyata
potensial berdimensi jauh ke depan. Hubungan “Pres” dan “Wapres” akan saling
menekan dan membunuh.
Awalnya ramai isu jabatan Prabowo hanya dua tahun setelah
itu diambil Gibran. Terjadi sesuatu pada Prabowo. Tentu dengan asumsi
bahwa Jokowi masih kuat. Tetapi Prabowo bisa saja berprinsip “kill
or to be killed”. Ketika demikian maka keduanya saling intip untuk saling
mematikan.
Penarikan Gibran menjadi pasangan Prabowo saat bertarung
melawan Ganjar Mahfud dan Anies Muhaimin sesungguhnya bernuansa psiko-politis
dalam arti tarikan psikologis Jokowi agar dengan segala cara membantu Prabowo.
Dengan otoritas Jokowi maka Gibran yang tidak memenuhi syarat dapat lolos.
Cacat-cacat wajah di “make up” sangat menor.
Kemenangan Prabowo Gibran yang kontroversial akibat Bansos,
Sirekap dan kerja MK masih dapat ditutup sepanjang Jokowi dan Prabowo solid.
Megawati yang uring-uringan dan potensial menjadi oposisi harus diredam.
Prabowo bisa bermain janji untuk beberapa posisi. Pandangan pendek Megawati
mungkin diolah Prabowo dengan berkolaborasi untuk menyingkirkan Jokowi.
Kini segitiga bermuda anomali sedang dimainkan dengan adu
kuat untuk saling menenggelamkan. Jokowi harus tetap mengendalikan
Prabowo dan mengancam Megawati. Ia mungkin merasa masih punya Cina dan Polisi.
Megawati menekan Jokowi untuk membongkar perkeliruan sang petugas partai
dengan menempel Prabowo. Adapun Prabowo cari alasan untuk mendepak Jokowi
melalui celotehan Gibran.
Artefak Fufufafa ditemukan meski harus dibuat anomali
dahulu. Prabowo tenang menghadapi konten 5000-an tulisan. Pakar Telematika Dr.
KRMT Roy Suryo, MSc yakin 99,99 % akun itu milik Gibran. 70 % tulisan menyerang
Prabowo. Kini Prabowo punya senjata yang kapan saja dapat digunakan untuk
memukul Jokowi dan Gibran. Jokowi sudah jadi bebek lumpuh (lame duck) bahkan
bebek sekarat (dying duck). Adakah Fufufafa itu kebetulan atau temuan sengaja ?
Yang jelas tukang sandera kini tersandera.
PKS juga diserang Fufufafa tapi masih takut untuk melawan,
maklum sedang membebek. Alih-alih melaporkan Fufufafa malah seperti tak ada
kerjaan justru melaporkan ke Polisi media Islam “Ar Rahmah”. Alasannya
pencemaran. PKS menambah ruang untuk dijauhi dan dimusuhi umat Islam. PKS
sedang menjadi bebek bingung (confused duck). Kasus Pilkada Jakarta
telah membuat PKS menjadi bebek cengeng (crybaby duck).
Di lapangan rakyat sudah berteriak “mulyono” dan “bajingan”.
Sebentar lagi teriakan “tangkap” dan “adili” akan menggema dimana-mana. Oposisi
dan rakyat yang telah berjuang lama untuk makzulkan, tangkap dan adili akan
menemukan momentum.
Tangkap dan adili Jokowi merupakan satu keniscayaan. Dan hal itu semakin
dekat.
Sudah saatnya dosa-dosa politik Jokowi diinventarisasi dan
dituangkan dalam narasi yang menuju pada pemenuhan rumusan delik. Penyertaan
anggota keluarga juga perlu dicermati. Korupsi, pelanggaran hak asasi,
penghianatan negara, kebohongan publik, hingga hutang luar negeri dan politik
dinasti menjadi teropongan hukum.
Jokowi mulai panik dan sedang mengalami sakarat politik
(political dying). Menghitung mundur (count down) itu sungguh menakutkan.
Seperti langkah lunglai seorang terhukum yang sedang berjalan menuju ke tiang
gantungan. Pucat dengan mulut komat-kamit. Entah mantera apa yang dibaca.
Yang jelas perbuatan buruk pasti berujung buruk.
Fufufafa sang putera telah membuat mati berdiri.
Penghapusan data justru memperbanyak alat bukti.
Fufufafafifi hi hi hi mentertawakan Jokowi. Rencana rapi dibuat wara-wiri.
Penyesalan pun menjadi tidak berarti.
Hi hi hi…Jokowi Jokowi
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 14 September 2024