Opini oleh Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Selama menjabat Presiden dua periode 2014-2019 dan 2019-2024, Jokowi telah melakukan banyak pelanggaran peraturan perundang-undangan dan Konstitusi.
Ada tiga modus pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan rezim Jokowi. Pertama, Peraturan Presiden melanggar sejumlah Undang-Undang (UU) dan Konstitusi. Kedua, Undang-Undang melanggar sejumlah Undang-Undang lainnya dan Konstitusi. Ketiga, pelaksanaan pemerintahan melanggar sejumlah Undang-Undang yang berlaku dan Konstitusi.
Peraturan Presiden yang melanggar sejumlah UU dan Konstitusi sudah dijelaskan di bagian 1 dari tulisan ini.
Pelanggaran modus kedua, UU melanggar sejumlah UU lainnya dan Konstitusi, menjadi topik bahasan dalam tulisan ini, sebagai berikut:
1. PERPPU No 1 Tahun 2020 / UU No 2 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 …”. Selanjutnya disebut PERPPU Covid-19.
Pertama, PERPPU Covid-19 yang “mewajibkan” Bank Indonesia membeli Surat Utang Negara di pasar perdana, melanggar peraturan tentang independensi Bank Indonesia, seperti diatur di dalam Konstitusi, Pasal 23D UUD 1945, yang berbunyi “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”.
Yang kemudian diatur dan ditegaskan di dalam Pasal 55 ayat (4) UU No 17 Tahun 2003: “Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara … kecuali di pasar sekunder.”
Artinya, bentuk dari independensi Bank Indonesia, antara lain “tidak boleh membeli surat utang negara, kecuali di pasar sekunder”, yang merupakan bagian dari kebijakan moneter.
Kedua, PERPPU Covid-19 mengatur APBN ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Hal ini melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD, yang berbunyi: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang ….
PERPPU Covid-19 juga melanggar Pasal 3 ayat (2) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang menegaskan, “APBN dan Perubahan APBN setiap tahun ditetapkan dengan UU”.
2. Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), melanggar sejumlah UU dan Konstitusi.
UU IKN menetapkan Pemerintah Daerah IKN dinamakan Otorita, dengan Kepala Daerah dinamakan Kepala Otorita, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
UU IKN ini melanggar Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia dibagi atas,
atau terdiri dari, daerah-daerah Provinsi, dan daerah Provinsi terdiri dari Kabupaten dan Kota, dengan Kepala Daerah masing-masing dinamakan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih secara demokratis. Pemerintah daerah memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi.
UU IKN juga melanggar UU Pemerintahan Daerah No 23/2014, bahwa pembentukan daerah baru (provinsi, kabupaten atau kota) melalui pemekaran daerah, dan wajib mendapat persetujuan dari DPRD pemerintah daerah yang dimekarkan, serta wajib memenuhi persyaratan administrasi lainnya.
Dampak atas pelanggaran ini, sebagian teritori milik dua kabupaten di Kalimantan Timur, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Timur, direbut alias “dianeksasi” oleh pemerintah pusat, melalui Otorita IKN (setara Kementerian atau Lembaga) yang merupakan bagian dari pemerintah pusat.
Artinya, pendapatan asli daerah yang seharusnya masuk APBD kedua Kabupaten tersebut direbut dan diakui sebagai pendapatan Otorita, dan masuk APBN.
Kenekatan Jokowi memanipulasi bentuk Pemerintahan Daerah menjadi Otorita didasari niat jahat agar Pembangunan Daerah Otorita IKN dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan dana APBN. Laporan BPK menunjukkan banyak masalah dalam proyek pembangunan IKN, indikasi terjadi banyak kebocoran.
Sebagai konsekuensi, maka semua pengeluaran negara terkait Otorita IKN yang cacat hukum ini menjadi tidak sah, dan harus diakui sebagai penyimpangan APBN dan menjadi kerugian negara. Apalagi kalau proyek pembangunan Otorita IKN ini benar-benar menjadi mangkrak.
3. Undang-Undang Cipta Kerja dan PERPPU Cipta Kerja, melanggar sejumlah UU dan Konstitusi.
PERPPU Cipta Kerja memanipulasi faktor “Kegentingan Memaksa”, dengan alasan akan ada “krisis ekonomi global”, untuk memaksakan penerbitan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang menjadi dasar ditetapkannya Proyek Strategis Nasional (PSN).
Hal ini melanggar Pasal 22 UUD terkait “Kegentingan Memaksa”, yang pada prinsipnya tidak boleh berdasarkan prakiraan, tetapi harus berdasarkan fakta nyata, bahwa peristiwa genting sedang berlangsung.
Dalam hal PERPPU Cipta Kerja, faktor genting “krisis ekonomi global” harus sedang terjadi, dan di samping itu tidak ada UU yang bisa mengatasi peristiwa genting “krisis ekonomi global” tersebut, sehingga terjadi kekosongan hukum, dan karenanya diperlukan UU (atau PERPPU) dalam waktu secepatnya untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.
Faktanya, tidak ada “krisis ekonomi global”. Tidak ada kegentingan memaksa. Karena itu, penetapan PERPPU Cipta Kerja tidak sah, menipulatif, karena tidak memenuhi persyaratan “Kegentingan Memaksa” Pasal 22 UUD.
Kemudian, pelaksana PSN seharusnya adalah negara (pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD). Tetapi kemudian dimanipulasi dengan mengikutsertakan proyek swasta, seperti Rempang, PIK-2 atau BSD, dan karena itu melanggar PERPPU Cipta Kerja tersebut.
Selain itu, penetapan PSN dalam PERPPU Cipta Kerja juga melanggar Konstitusi terkait Hak Asasi Manusia, Pasal 28H ayat (4) UUD yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”
Sedangkan status PSN disalahgunakan untuk mengusir dan “merampas” lahan milik masyarakat secara paksa, seperti yang terjadi di Wadas, Rempang, PIK-2, BSD, dan lainnya.
Masih banyak UU yang dibuat rezim Jokowi yang bertentangan dengan UU lainnya dan Konstitusi.
Antara lain, Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mewajibkan masyarakat untuk menabung, melanggar hak masyarakat untuk memilih apakah konsumsi sekarang atau nanti (menabung).
Mengingat pelanggaran peraturan perundang-undangan yang sudah begitu banyak, Jokowi tidak layak lagi menjabat Presiden, dan harus diberhentikan.
—- 000 —-