JAKARTA - RUU Perampasan Aset telah menjadi topik yang cukup kontroversial dan sudah lama dinantikan pengesahannya di Indonesia. RUU ini dirancang untuk memungkinkan pemerintah merampas aset-aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan. Namun, hingga saat ini, RUU tersebut belum juga disahkan oleh DPR RI meskipun telah diajukan sejak 2006.
Meskipun ada desakan dari pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, yang
menilai RUU ini mendesak untuk memaksimalkan upaya penyelamatan dan
pengembalian uang negara serta mencegah tindak pidana pencucian uang (TPPU), sementara RUU tersebut belum
masuk dalam agenda pembahasan di DPR.
“Upaya penyelamatan
dan pengembalian uang negara serta mencegah tindak pidana pencucian uang
(TPPU),” kata Presiden, Senin
(29/8).
Alasan yang diberikan adalah perlunya kajian lebih lanjut, dan situasi
politik yang sibuk menjelang Pemilu 2024 juga mempengaruhi prioritas
legislatif.
RUU ini penting karena diharapkan dapat mengatur lebih jelas mekanisme mulai
dari penelusuran, penyitaan, hingga pengelolaan aset yang diduga hasil
kejahatan. Beberapa pihak seperti mantan pimpinan KPK dan pakar hukum
menyarankan agar RUU ini menjadi program prioritas pemerintahan baru.
Tertundanya pembahasan RUU ini dianggap sebagai bukti lemahnya komitmen
penegakan hukum terkait korupsi dan TPPU di Indonesia, di mana banyak kasus
yang belum bisa menjerakan para koruptor karena hukuman penjara saja tidak
cukup efektif. Oleh karena itu, penerapan hukum pemiskinan dengan merampas
aset-aset ilegal diharapkan dapat memberikan efek jera yang lebih kuat.