JAKARTA - Founder LQ Indonesia Law Firm dan Quotient Fund, Alvin Lim, akhirnya buka suara menanggapi kasus yang dialami oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009–2014, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan.
Dalam perkara ini, Karen Agustiawan didakwa telah merugikan negara sebesar 113,84 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp1,77 triliun akibat dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Pertamina pada 2011–2014.
Menurut Alvin Lim, dakwaan yang dilayangkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak jelas, karena disusun hanya berdasarkan keterangan saksi yang tidak ada dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
"Sesuatu yang terjadi sama Karen ini sebenarnya akibat dari asumsi Kejaksaan dan asumsi dadi KPK yang sebenarnya tidak sesuai dengan undang-undang tersebut ya. Bunyi undang-undang tersebut barang siapa menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan merugikan negara, tetapi ini tidak jelas disebutkannya, merugikan negaranya bagaimana," kat Alvin Lim dalam tayangan videonya di YouTube Quotient tv, Sabtu (5/10).
Sejatinya, hal yang dilakukan oleh Karen memang benar murni bisnis dalam membangun kerjasama antara perusahaan BUMN dengan pihak asing. Menurut Alvin Lim, yang namanya bisnis pasti ada untung dan rugi.
Dalam hal ini, Karen bertindak dalam kapasitasnya sebagai presiden direktur BUMN, yang membuat putusan-putusan bisnis melalui tanda tangan kontrak yang merupakan bagian dari business judgement rule, semacam konsep dimana direksi perseroan tidak dapat dibebankan tanggung jawab secara hukum atas keputusan yang diambilnya.
Alvin Lim menilai, jika melihat kasus Karen Agustiawan dan nantinya setiap direksi dipidanakan dan dikriminalkan hanya karena putusan-putusan bisnis yang dibuat, maka seluruh direksi BUMN akan diterpa ketakutan setiap kali memutuskan kebijakan. Sebab, setiap kerugian yang ditimbulkan oleh BUMN, selalu ditafsirkan sebagai kerugian negara.
"Jadi seharusnya kalau menurut saya, Jaksa atau KPK itu harusnya lebih cermat dan melihat ada enggak unsur kesengajaan dia mau merugikan atau kong kalikong. Jadi misalnya, udah kita rugiin aja BUMN ini, tapi nanti saya dapat bagian, nah itu pidana ya," jelas Alvin Lim.
"Tapi kalau dia benar-benar gak tahu dia lakukan secara bisnis tiba-tiba rugi dan dia disuruh nanggung kerugian, ya enggak bisa dong, berarti kalau untung dia harusnya dapat keuntungannya dong," bebernya.
Akan tetapi, dalam kasus ini langkah yang dilakukan Karen dianggap salah, karena memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di AS. Menurut JPU KPK hal yang dilakukan Karen tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis secara teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.
Bahkan, Karen juga disebut tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2, serta memberikan kuasa kepada Yenni Andayani selaku Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina 2013–2014 dan Hari Karyuliarto selaku Direktur Gas Pertamina 2012–2014.
Atas hal ini, Karen juga diduga telah memperkaya diri sebesar Rp1,09 miliar dan sebanyak 104.016 dolar AS atau setara dengan Rp1,62 miliar.
"Tidak ada menguntungkan diri sendiri atau orang lain, kalau menguntungkan diri sendiri dia terima suap itu jelaslah ya dia korupsi, tapi bagaimana pada orang yang tidak menerima suap dianggap misalnya menguntungkan orang lain di situ padahal ini adalah bisnis hari ini bisa untung besok bisa rugi yang namanya bisnis," ujar Alvin Lim.