Opini oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Karena ada ketidakpastian hukum terkait keabsahan Gibran sebagai wakil presiden, maka MPR wajib menunda pelantikan Gibran sampai ada kepastian hukum, artinya sampai hakim PTUN memutus dan membacakan putusannya terkait keabsahan pencalonan Gibran.
Penundaan pembacaan putusan gugatan terhadap KPU terkait keabsahan Gibran sebagai calon wakil presiden, menunjukkan hakim PTUN sedang melakukan manuver politik, bukan menyelesaikan sengketa hukum seadil-adilnya, sesuai prinsip hukum yang berlaku.
Apalagi penundaan pembacaan putusan tersebut sudah ditetapkan menjadi tanggal 24 Oktober 2024, yaitu melewati tanggal pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2024-2029, yang sedang disengketakan.
Dalam hal ini, hakim PTUN yang menangani gugatan tersebut secara langsung membuat ketidakkepastian hukum di Indonesia terkait keabsahan wakil presiden.
Hakim PTUN seharusnya melihat urgensi dari perkara gugatan, yang dalam hal ini mempunyai konsekuensi batas waktu yang tidak bisa ditunda, yaitu tanggal 20 Oktober 2024.
Oleh karena itu, dalam kondisi apapun, hakim PTUN wajib memutus, dan membacakan putusannya, sebelum batas waktu 20 Oktober 2024 tersebut, apapun hasilnya, untuk memberi kepastian hukum terkait keabsahan wakil presiden.
Sebagai konsekuensi akibat penundaan pembacaan putusan tersebut, maka rakyat Indonesia masih terus meragukan keabsahan Gibran sebagai wakil presiden, meskipun dilantik.
Sebagai konsekuensi, karena telah terjadi ketidakpastian hukum, maka MPR wajib menunda pelantikan Gibran sampai ada kepastian hukum, artinya sampai hakim PTUN memutus dan membacakan putusannya terkait keabsahan Gibran sebagai wakil presiden.