Imam Shamsi Ali Al-Kajangi
Saat ini bangsa Amerika sedang mempersiapkan diri untuk melakukan perhelatan demokrasi empat tahunan, pemilihan presiden atau pilpres. Ada dua kandidat utama yang maju; Kamala Harris (incumbent Wakil Presiden) dan Donald Trump (mantan Presiden periode sebelumnya). Ada juga dua kandidat independen; Jill Stein dan Cornell West, calon independen yang saya istilahkan sebagai pelengkap.
Pilpres kali ini sangat krusial dan mendapatkan banyak perhatian. Selain karena memang mata dunia banyak menatap Amerika karena perang Timur Tengah dan Ukrain-Rusia. Juga karena salah seorang calon yang cukup kuat adalah Donald Trump, mantan Presiden Amerika periode lalu, yang dikenal luas dengan ragam kontroversialnya. Hal yang paling menonjol adalah bahwa dalam sejarah Amerika baru kali ini ada seorang capres yang telah divonis di pengadilan karena ragam “kejahatan” (crimes). Salah satunya karena keterlibatannya secara langsung pada peristiwa kekerasan Capitol Hill atau lebih dikenal dengan Tragedi 6 Januari.
Terlepas dari semua itu, bangsa Amerika, termasuk di dalamnya Komunitas Muslim, pastinya menimbang-nimbang untuk menentukan pilihannya. Dalam menimbang itulah ragam permasalahan terkait (related matters) menjadi konsiderasi. Tentu dengan kesadaran bahwa bahwa tidak satupun dari kandidat-kandidat itu yang memenuhi semua harapan dan kepentingan masing-masing.
Secara umum ada dua pertimbangan penting dalam menentukan pilihan presiden di Amerika. Ada pertimbangan domestik (kebijakan untuk kepentingan dalam negeri) dan ada pula karena pertimbangan kebijakan luar negeri dari masing-masing kandidat. Walaupun sejujurnya warna dan bentuk lebijakan masing-masing kandidat lebih bersifat formalitas. Secara substantif semua Presiden Amerika hampir memiliki kebijakan yang sama. Apalagi jika kebijakan itu berkaitan dengan “Foreign Policy” atau kebijakan luar negeri.
Namun tidak ada salahnya kita pilah-pilah kebijakan dua kandidat utama; Kamala Harris dan Donald Trump. Keduanya nampak sangat kontras dan berbeda latar belakang. Kandidat Partai Republican Donald Trump adalah seorang pria, pebisnis kaya, media personal dan keturunan Eropa (white). Sementara Kamala Harris adalah seorang wanita dari kelas menengah dari keturunan imigran Jamaica dan India (berkulit non white). Tentu perbedaan yang paling penting dari keduanya adalah pandangan terhadap nilai-nilai sosial, seperti gay rights, aborsi, dan isu-isu lainnya.
Dalam menentukan pilihan politik, termasuk pilihan pilihan Presiden dan legislatif (Kongress atau Senator) memang menjadi dilema tersendiri bagi komunitas Muslim. Kedua kandidat kuat, Republican dan Demokrat, sama-sama “evil” (jahat) yang berat untuk ditolerir. Khusus dalam hal kebijakan luar negeri keduanya memiliki tangan-tangan yang berlumuran darah. Apalagi jika kebijakan itu berkaitan dengan isu Palestina dan Israel.
Kamala Harris adalah Wakil Presiden Joe Biden, seorang “non Jewish Zionist” sebagaimana diakuinya. Joe Biden tidak bisa mengingkari bahwa dialah yang membuka jalan bagi terjadinya pembunuhan, pemusnahan massal dan genosida di Palestina. Walaupun Kamala Harris dalam banyak kesempatan menyerukan gencatan senjata segera, namun dia tidak bisa melepaskan diri dari kebijakan pemerintahan Amerika di Timur Tengah selama ini.
Sementara itu Donald Trump memang pada masanya tidak ada peperangan yang terjadi. Tapi itu bukan berarti Donald Trump tidak “evil” dalam bentuk yang lain. Dialah yang memutuskan untuk Amerika mengakui Jerusalem sebagai Ibukota Israel dan memindahkan Kedutaan Amerika ke Jerusalem. Keduanya merupakan pelanggaran hukum internasional dan resolusi PBB.
Diakui juga bahwa Donald Trump punya pertimbangan dalam hal peperangan global. Namun hal itu bukan karena kepribadian yang lebih damai. Tapi lebih kepada pertimbangan ekonomi dan keuangan. Dia sadar bahwa biaya peperangan-peperangan yang melibatkan Amerika telah membawa kerugian ekonomi yang cukup besar. Karenanya Donald Trump menahan diri untuk tidak terlibat dalam peperangan global itu.
Pertimbangan dalam negeri
Komunitas Muslim tentu selain mempertimbangkan kemungkinan kebijakan luar negeri kedua kandidat, juga mempertimbangkan secara serius kebijakan dalam negeri. Komunitas Muslim adalah bagian integral dari masyarakat Amerika. Kebijakan yang baik atau buruk dari seorang pemimpin negara akan berdampak kepada semua warga, termasuk masyarakat Muslim. Dan karenanya pertimbangan domestik menjadi sangat penting bagi komunitas Muslim Amerika.
Seperti yang saya sampaikan terdahulu bahwa memang sangat dilematis bagi Komunitas Muslim dalam menentukan pilihan itu. Kedua kandidat yang mewakili dua partai besar (Demokrat dan Republican) masing-masing memiliki aspek “evil” dan aspek yang dapat menjadi pertimbangan positif. Pada akhirnya dalam hal pilihan presiden di Amerika Komunitas Muslim memakai kaidah ushul untuk memilih “the least evil” (aqallu ad-dhiraraen).
Jika menimbang kedua parta itu (Demokrat dan Republican) secara nilai dan moralitas maka sejujurnya Republican menjadi pilihan yang lebih baik. Nilai-nilai konservatif masih dipertahankan oleh Partai ini, minimal pada tataran konsep. Sementara Demokrat justeru memperjuangkan apa yang disebut hak-hak dasar, walau secara nilai dan moral dalam pandangan agama tidak diterima. Salah satunya perkawinan sejenis yang saat ini telah dilegalkan di hampir semua negara bagian Amerika.
Namun demikain Komunitas Muslim merasakan bahwa dalam hal “relasi sosial” Demokrat jauh lebih bersahabat. Pendekatan Demokrat yang merangkul semuanya dan memberikan kebebasan kepada semua menjadi jalan bagi komunitas Muslim untuk melakukan manuver-manuver positif bagi hadirnya perubahan di Amerika. Artinya walaupun secara nilai dan moralitas itu tidak sejalan, tapi Demokrat memberikan ruang bagi Komunitas Muslim (dan minoritas lainnya) untuk melakukan yang terbaik bagi perbaikan.
Secara khusus kebijakan dalam negeri Donald Trump akan sangat berat bagi Komunitas Muslim. Selain karena karakter pribadi yang ugal-ugalan, berbicara tanpa memkirkan konsekwensi, bahkan pernah mengeluarkan keputusan Presiden (Presidential decree) melarang orang-orang Islam masuk Amerika. Dimulai dari 6 negara tapi bertujuan untuk memperlakukannya bagi semua negara-negara mayoritas Muslim lainnya. Juga disadari bahwa Donald Trump memang adalah representasi dari “white Supremacy” atau “white nationalist” Yang sangat anti non white.
Kesimpulannya Donald Trump adalah sebagai sosok kandidat rasis yang anti imigran dan non white. Hal ini menjadi lebih runyam lagi karena masyarakat Muslim di Amerika dipersepsikan oleh mereka yang white supremacist sebagai bagian dari Komunitas imigran dan non white. Sehingga ketidak senangan kepada komunitas Muslim berlipat ganda; imigran, non white, dan pastinya Islamnya yang masih ditakuti (Phobia).
Inilah beberapa pertimbangan yang diambil secara serius oleh komunitas Muslim dalam menentukan pilihannya. Sehingga pada akhirnya pada lazimnya di pilpres manapun, termasuk Indonesia, ijtihad politik yang sungguh-sungguh diperlukan. Dan sebagaimana tabiatnya pada setiap ijtihad akan ada perbedaan-perbedaan pendapat. Termasuk adanya perbedaan pendapat masyarakat Muslim dalam menentukan pilihan Presiden di Amerika.
Apapun itu dan siapapun pilihannya pada akhirnya yang terpilih, bukan sesuatu yang terlalu mengkhawatirkan. Selain pilpres memang pesta rutinitas empat tahunan di Amerika (Indonesia lima tahun). Juga di Amerika siapapun yang terpilih tidak terlalu menentukan Wajah kehidupan publik. Hal itu karena instisilah yang mewarnai kehidupan publik dan bernegara. Negara tidak lagi ditentukan oleh segelintir elit-elit politik seperti di negara lain.
Tapi sekiranya saya ditanya akan memilih yang mana; Kamala Harris atau Donald Trump? Jawaban saya Kamala Harris. Argumentasi saya sederhana. Dia bukan kandidat yang ideal dalam pandangan saya. Tapi secara domestik saya akan memiliki ruang yang lebih luas untuk meneruskan gerakan perubahan dan transformasi ke arah Amerika yang lebih baik. InsyaAllah!
Udara MKSR-JKT, 21 Oktober 2024
Diaspora Indonesia di Kota New York