Opini oleh Damai Hari Lubis - Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Penulis menandai terhadap warta jurnalis, terhadap hasil wawancara cegat di
Jakarta Convention Center, Joko Widodo terindikasi merajuk atau _ngambek_
karena Jokowi berucap, “dirinya tidak akan hadir di Gedung DPR, Senayan, saat
pelantikan Presiden terpilih Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024.” Jokowi
menyampaikan ini usai acara BNI Investor Daily Summit di Jakarta Convention
Center pada Selasa (8 Oktober 2024).
Sebelum Jokowi, Gibran terbukti _ngambek_, tidak hadiri
pelantikan anggota DPR RI, DPD RI dan MPR RI yang baru terpilih periode
2024-2029 pada tanggal 1 Oktober 2024 Di Gedung Legislatif.
Apakah ngambeknya anak beranak ini (Jokowi dan Gibran)
sebagai anasir indikasi Jokowi dan Gibran telah mendapat kabar atau meyakini
bahwa Gibran tak akan dilantik sebagai Wapres oleh sebab permasalahan akun Fufu
Fafa yang “karakteristik pemilik akun nya manusia tidak bermoral” yang amat
menghinakan Menhan sekaligus bakal Presiden RI Prabowo.
Dan ternyata pemilik akun Fufu Fafa menurut para netizen
sosmed dan Pakar Roy Suryo dalam prosentase 99 % lebih dan publik lebih
bertambah yakini lagi setelah BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) telah
menyatakan pemilik akun tersebut adalah Gibran, juga sesuai “informasi” dari
Roy, di Istana Kaesang, mengakui pemilik akun fufu fafa adalah Kakaknya.
Entah dengan menggunakan sistim hukum yang model apa atau
kah sekedar strategi politis dengan pola tetap tidak menyimpang daripada UUD.
1945. Dengan catatan sistem hukum merupakan HAM bagi setiap WNI. Jika
menghendaki dan menyatakan mundur dari jabatan apapun yang Ia (dirinya) emban.
Prediksi penulis, jika ada strategi hukumnya untuk tidak
melantik Gibran, kemungkinan melalui pola:
A. Ketentuan Hukum (Politik) Ketatanegaraan:
1. Gibran tidak akan hadir, hanya ada berupa surat pernyataan pengunduran
secara tetap dirinya sebagai Wapres RI, diatas kertas bermaterai 10.000 dengan
alasan bukan karena kasus Fufu Fafa dan surat pernyataan dimaksud pada
menit-menit terakhir akan dibacakan oleh Mensesneg pertanggal 20 Oktober 2024
dan pada acara serah terima jabatan dan pelantikan
Presiden terpilih ini juga tanpa kehadiran Jokowi yang berhalangan.
Surat dari Jokowi juga hanya sekedar dibacakan oleh Mensesneg, sehingga Jokowi
dan Gibran (anak beranak yang malu dan “ngembek”) tidak akan menghadiri serah
terima jabatan dalam acara pelantikan.
Adapun proses seremonialnya adalah, Ketua MPR yang baru
langsung bersidang pada menit-menit terakhir menjelang pelantikan untuk
melakukan musyawarah dan setelahnya MPR RI langsung mendapatkan pengganti
Wapres RI dari sosok kader Partai PDIP. Dan MPR RI, kemudian melanjutkan acara
ke agenda sumpah pelantikan, yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung RI/MA
yang membacakan lafal sumpah dan janji lalu dikuti oleh Presiden RI, Prabowo
Subianto dan Wapres pengganti hasil musyawarah, maka UPACARA DAN SEREMONI
PELANTIKAN PRESIDEN RI PRABOWO SUBIANTO periode ke- 8 dan pasangannya Wapres RI
selesai.
2. Jokowi hadir hanya sebentar dengan ucapan telah
berakhirnya kekuasaan dirinya selaku Presiden RI kepada MPR RI di dihadapan
Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh peserta yang hadir dan seluruh anggota dan
Ketua DPR RI dan Ketua DPD RI dan Ketua KPU RI, serta Jokowi akan menyampaikan
permohonan maafnya kepada seluruh bangsa ini dan para tokoh nasional, serta
para tokoh masyarakat kepada dirinya yang banyak kekurangan, serta tidak lupa
dia akan memberikan ucapan selamat dan pesan-pesan singkat kepada Prabowo
Subianto sebagai pemangku Presiden Baru RI Ke-8 Periode 2024-2029. Atau,
3. Andai Gibran tidak hadir dan ternyata hanya mengirim
surat berhalangan tanpa mengundurkan diri, maka Presiden Prabowo Subianto,
setelah acara pelantikan sesuai hukum Ketatanegaraan tetap sah dan
konstitusional akan memimpin negara ini dan paling lama 6 Bulan MPR RI akan
melantik pasangan Wapres, bisa jadi dari kader PDIP atau sosok independen yang
jatidirinya mumpuni dan mendapat legitimasi pengakuan dari berbagai komponen
anak bangsa dari lintas ilmu dan lintas SARA.
Pastinya paska pelantikan Prabowo Presiden, terhadap Jokowi
dan keluarganya bakal menjadi bulan-bulanan “diskursus politik publik” yang
akan menghakiminya melalui berbagai pola tekanan politik dan hukum (political
and legal pressure), termasuk berbagai hujatan, cacian serta sumpah serapah
yang menyakitkan ulu hati dari berbagai kelompok masyarakat di sepanjang masa
jabatan presiden Prabowo Subianto.
Jokowi yang lemah bagai cacing tanah, akan lunglai serta
ditinggalkan, Jokowi mungkin sepanjang sisa hidupnya akan didera berbagai
*KARMA DISKRESI POLITIK & HUKUM* oleh banyaknya tuduhan kriminal, termasuk
diantaranya yang utama dan cukup serius sehingga mesti diproses hukum sesuai
rule of law, berupa,
B. Pertanggungjawaban Karma Moralitas Politik dan Hukum:
1. Delik/ tindak kriminal Jokowi yang secara berencana
(dolus) telah menipu seluruh bangsa ini tanpa terkecuali selama belasan tahun
dan terbukti juga telah memakan korban orang lain dipenjara, dugaan publik
terhadap delik ini berupa tuduhan yang pernah muncul beberapa kali upaya
litigasi keperdataan via ranah peradilan, “Jokowi menggunakan Ijasah Palsu” dan
kategorial-nya perilaku tuduhan ini merupakan unsur-unsur delik, serta
melibatkan penyertanya/delneming Iriana (istri Jokowi) dan Idayati (adik Jokowi
istri Alm. Mulyono dan saat ini Istri dari eks Ketua MK Anwar Usman) dengan
modus menggunakan surat/ijasah palsu yang seolah autentik, dan delik ini
merupakan dolus directus atau mensrea atau sengaja dan berencana dilakukan oleh
Jokowi untuk mendaftar sebagai Walikota Surakarta;
2. Kematian 894 petugas KPPS saat pelaksanaan pilpres 2019;
3. Obstruksi terhadap lembaga aparatur negara di bidang law enforcement dalam
banyak kasus korupsi, gratifikasi, money laundry dan nepotisme
4. Unlawful killing 6 Orang Korban di Tol KM. 50;
5. Dan lain-lain berbagai tindak pidana berlapis berupa concursus realis dan
idealis (gabungan perbuatan tindak pidana dari beberapa perkara pidana yang
terpisah dan dalam satu rangkaian perbuatan).
Maka Penguasa baru RI 1 ke-8, Prabowo Subianto tidak pantas
dan tidak berlaku adil/justice (gerechtigheid), jika Jokowi bekas presiden ke 7
setelah lengser keprabon yang nyata demagog (perusuh), karena terbukti attitude
yang Ia tampilkan realistis berupa bad leadership behavior, Jokowi melulu
inkonstitusional dengan perilaku mirip kebijakan meniru sistem monarki atau
primordial, serta sengaja melahirkan tumpang tindih (sejarah) hukum.
Maka Jokowi verboden/forbidden untuk diberi gelar
penghormatan atau tanda jasa atau reward apapun selain demi menjaga fungsi
kepastian hukum (legality/rechtmatigheid), juga menghindari Prabowo Subianto
terlibat cacat sejarah hukum.