JAKARTA – Peran pengusaha asal Kalimantan Selatan Haji Isam dalam proyek cetak sawah yang tengah dikerjakan oleh Kementerian Pertanian harus dipertanyakan karena peran mereka dalam program pemerintah tidak pernah diketahui dan dikabarkan kepada publik.
Demikian dikatakan oleh Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan pada Rabu (2/10/2024).
“Terkait proyek food estate beras di Merauke, Papua, yang melibatkan pihak swasta untuk pembukaan lahan, dengan mengerahkan 2.000 ekskavator, harus ada kejelasan apakah proyek tersebut merupakan proyek investasi swasta, atau proyek pemerintah,” ungkapnya.
“Kalau proyek food estate tersebut merupakan proyek pemerintah, maka harus jelas apa peran swasta dalam proyek food estate pemerintah tersebut: apakah sebagai kontraktor atau hibah, khususnya terkait aktivitas ‘cetak sawah’ yang mengerahkan 2.000 ekskavator tersebut,” tambahnya lagi.
Anthony secara tegas juga mempertanyakan peran Haji Isam dan pengusaha swasta dalam program food estate, khususnya cetak sawah.
Sebagaimana diketahui, Haji Isam membeli 2.000 unit eskavator untuk mengerjakan proyek cetak sawah yang tengah dikerjakan oleh pemerintah di Merauke.
Namun, tidak disebutkan anggaran yang dipakai untuk mengerjakan program cetak sawah memakai uang dari pihak swasta atau pemerintah.
Kondisi ini mengundang pertanyaan karena dalam wawancara dengan detiknews pada Senin (16/9/2024) lalu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp4,6 triliun rupiah untuk program cetak sawah ini.
“Kalau program food estate tersebut merupakan proyek investasi swasta maka pemerintah tidak boleh mengeluarkan dana APBN untuk proyek food estate tersebut. Pengeluaran dana APBN untuk proyek swasta dapat menjadi delik korupsi, karena kerugian negara dengan menguntungkan pihak lain,” tandasnya.
Cetak Sawah Ilegal Bila Menteri Pertanian Tidak Terbuka
Tak sekedar itu, Anthony juga ingin pemerintah terbuka dalam mekanisme pemberian izin lahan kepada pihak swasta untuk dikelola agar tidak terjadi tumpang tindih anggaran dan melanggar peraturan.
“Kalau proyek food estate tersebut merupakan proyek investasi swasta, dengan membuka lahan hutan, maka harus jelas apakah mekanisme pemberian izin lahan kepada pihak swasta sudah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apakah semua persyaratan untuk konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan sudah dipenuhi,” tandasnya.
Bila memang berperan sebagai kontraktor, lanjutnya, maka pemerintah harus mengumumkan apakah dalam proyek cetak sawah dilakukan dengan sistem penunjukan langsung kepada kontraktor atau tidak.
Selain itu, ia meminta agar Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memberitahukan kepada masyarakat tentang proses pengadaan atau tender yang telah dilakukan terkait program cetak sawah tersebut.
“Kalau peran swasta tersebut sebagai kontraktor, apakah penunjukan kontraktor tersebut sudah memenuhi semua persyaratan dan proses pengadaan barang (tender) yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti pengumuman, jumlah peserta, dan sebagainya? Atau dilakukan penunjukan langsung?” ungkapnya.
Bila tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kata Anthony, maka proyek tersebut dapat menjadi temuan yang mengarah kepada tindak pidana korupsi dan perusakan lingkungan.
Jika memang biaya cetak sawah tersebut dianggap sebagai hibah dan pemerintah tidak perlu mengembalikan biayanya sedikitpun, Anthony meminta agar kementerian pertanian secara terbuka membeberkannya ke publik.
“Kalau semua biaya ‘cetak sawah’ tersebut diberikan sebagai hibah, di mana pemerintah tidak perlu mengembalikan semua biaya ‘cetak sawah’ tersebut, apakah dalam hal ini pemerintah sudah memenuhi persyaratan hibah, yang harus masuk dalam APBN yang disetujui oleh DPR? Berapa besar nilai hibah tersebut?” tegasnya.
Bila tidak diumumkan, Anthony menilai pembukaan lahan cetak sawah di Merauke akan dianggap sebagai aktivitas ilegal dan merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
“Kalau keduanya belum jelas, maka pembukaan lahan ‘cetak sawah’ di Merauke dapat dianggap sebagai aktivitas ilegal yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, dan juga dapat dituduh sebagai kejahatan lingkungan,” tegasnya.