Bantahan: IKN Bukanlah Aspirasi Rakyat Sesungguhnya

Bantahan: IKN Bukanlah Aspirasi Rakyat Sesungguhnya

Opini oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP- (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)



Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Nusantara telah menjadi salah satu kebijakan paling kontroversial dalam pemerintahan Presiden Jokowi. 

Meskipun Jokowi berulang kali menegaskan bahwa keputusan ini bukanlah murni proyek presiden, melainkan hasil dari kesepakatan seluruh rakyat yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kenyataannya justru berbeda. 



Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa kebijakan ini lebih merupakan kehendak elite politik daripada hasil partisipasi dan aspirasi nyata dari masyarakat luas. Ada empat bukti bahwa IKN sesungguhnya bukanlah aspirasi rakyat diantaranya adalah:


Pertama, Minimnya Keterlibatan Publik dalam Pengambilan Keputusan

Sejak awal, pemindahan IKN terlihat sebagai kebijakan yang dikeluarkan tanpa melibatkan masyarakat secara langsung. Dalam negara demokratis, partisipasi publik dalam keputusan besar seperti pemindahan ibu kota seharusnya menjadi hal yang utama. 



Namun, dalam kasus IKN, tidak ada referendum atau jajak pendapat yang melibatkan rakyat. Keputusan yang diambil lebih banyak terjadi di kalangan elite pemerintahan dan DPR, sementara aspirasi masyarakat yang seharusnya menjadi dasar dari keputusan tersebut justru terabaikan. 



Meski Jokowi mengklaim bahwa DPR, sebagai wakil rakyat, telah menyetujui pemindahan ibu kota dengan suara mayoritas, proses tersebut tidak dapat dianggap mewakili kehendak rakyat secara langsung. 

Pada kenyataannya, banyak masyarakat yang bahkan tidak mengetahui secara mendetail alasan dan konsekuensi dari pemindahan IKN ini.
Contoh negara-negara lain seperti Brasil, yang melakukan konsultasi publik dan komunikasi intensif ketika memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasília, menunjukkan bahwa dalam proyek besar seperti ini, keterlibatan publik harus menjadi prioritas. 



Namun, Indonesia gagal menerapkan praktik serupa. Tidak ada upaya nyata untuk memberikan ruang bagi rakyat untuk secara langsung menentukan apakah mereka mendukung atau menolak pemindahan ibu kota. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan ini lebih bersifat top-down dan tidak melibatkan masyarakat secara luas dalam proses pengambilan keputusannya.


Kedua, Judicial Review dan Penolakan dari Kalangan Akademisi
Penolakan terhadap pemindahan IKN tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari kalangan akademisi dan cendekiawan. 

Salah satu momen penting dalam perlawanan terhadap kebijakan ini adalah ketika almarhum Prof. Azyumardi Azra, bersama segenap akademisi dan tokoh cendekia lainnya, mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 



Judicial Review ini bertujuan untuk membatalkan Undang-Undang IKN yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan tidak mewakili aspirasi rakyat.

Prof. Azyumardi dan para akademisi berpendapat bahwa kebijakan pemindahan ibu kota tidak didasarkan pada kajian yang komprehensif, baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi. 

Mereka juga menekankan bahwa keputusan ini melanggar prinsip partisipasi publik yang seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan besar. Namun, Judicial Review tersebut akhirnya ditolak oleh MK. 

Penolakan ini menimbulkan kecurigaan tentang independensi Mahkamah Konstitusi, mengingat saat itu MK dipimpin oleh kakak ipar Presiden Jokowi. 

Banyak pihak merasa bahwa keputusan MK lebih mencerminkan keberpihakan kepada pemerintah daripada berdasarkan pertimbangan konstitusi dan hukum yang objektif.


Keputusan MK untuk menolak Judicial Review ini semakin memperkuat anggapan bahwa pemindahan IKN bukanlah kehendak rakyat ataupun akademisi. Aliansi Masyarakat Menolak IKN, yang terdiri dari berbagai kalangan aktivis dan akademisi, juga secara tegas menolak ide pemindahan ibu kota tersebut. 



Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini akan menimbulkan dampak negatif yang besar, baik dari sisi lingkungan, sosial, maupun ekonomi, dan tidak memberikan manfaat jangka panjang yang jelas bagi rakyat.


Ketiga, DPR sebagai Representasi yang Lemah


Jokowi berulang kali menyatakan bahwa keputusan pemindahan IKN disetujui oleh DPR, yang dianggap mewakili kehendak rakyat. Namun, penting untuk diingat bahwa sistem representasi di Indonesia tidak selalu mencerminkan kehendak rakyat secara langsung. 



Banyak kebijakan yang disetujui oleh DPR lebih mencerminkan kepentingan partai politik atau elite tertentu daripada kepentingan masyarakat secara luas. Pemindahan IKN adalah salah satu contohnya.


Meskipun mayoritas fraksi di DPR menyetujui pemindahan IKN, minimnya perdebatan publik dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan menunjukkan bahwa DPR gagal menjalankan fungsinya sebagai representasi rakyat yang sejati. Kritik dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk akademisi, aktivis lingkungan, dan masyarakat adat di Kalimantan, diabaikan dalam proses ini. 



Bahkan, persoalan dampak lingkungan dan potensi penggusuran lahan yang diangkat oleh aktivis lingkungan tidak mendapat perhatian yang memadai dalam pembahasan di DPR.


Keempat, Proyek Mercusuar yang Berpotensi Membebani Keuangan Negara

Selain masalah partisipasi publik, kebijakan pemindahan IKN juga dianggap sebagai proyek mercusuar yang berpotensi membebani anggaran negara.

Data menunjukkan bahwa pemerintah akan mengeluarkan anggaran triliunan rupiah dari APBN untuk membiayai proyek ini. 

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa sebagian besar dana untuk IKN akan berasal dari investasi swasta, kenyataannya hingga saat ini investasi asing yang diharapkan belum mencapai target yang diinginkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa beban keuangan proyek IKN akan lebih banyak ditanggung oleh APBN, yang pada akhirnya akan membebani rakyat.
Pemindahan Ibu Kota Negara ke Nusantara bukanlah keputusan yang mewakili kehendak rakyat ataupun akademisi. 

Sejak awal, kebijakan ini lebih didorong oleh ambisi politik elite daripada aspirasi masyarakat luas. Minimnya keterlibatan publik, penolakan dari kalangan akademisi melalui Judicial Review, dan keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa kebijakan ini diambil tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat secara mendalam. 



Oleh karena itu, klaim bahwa pemindahan IKN adalah keputusan bersama seluruh rakyat tidak berdasar dan perlu dikaji ulang agar kebijakan yang diambil benar-benar mewakili kepentingan seluruh bangsa, bukan hanya segelintir elite.




- end-

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال