Opini oleh
Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy
Studies)
Ekonomi sedang tidak baik. Melemah. Deflasi berlangsung 7
bulan berturut-turut, menandakan daya beli masyarakat anjlok. Jumlah penduduk
kelas menengah menyusut 9,48 juta orang selama 5 tahun terakhir, dari 57,33
juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Atau turun sekitar
16,5 persen. Sungguh besar.
Ekonomi sedang tidak baik. Jumlah penduduk miskin juga naik
dari 25,15 juta (2019) menjadi 25,22 juta (2024), meskipun dalam persentase
turun dari 9,41 persen menjadi 9,03 persen. Artinya, tingkat kemiskinan hanya
turun 0,4 persen dalam lima tahun menandakan gagal dalam pemberantasan
kemiskinan.
Salah satu faktor pemicu utama anjloknya kelas menengah
adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11
persen pada 1 April 2022, di tengah gejolak harga komoditas global yang
melonjak tinggi, yang memicu suku bunga global naik tajam.
Belum genap 3 tahun, tarif PPN akan dinaikkan lagi, dari 11
persen menjadi 12 persen, yang akan berlaku efektif pada 1 Januari 2015, pada
hari pertama, APBN Tahun Anggaran pertama, pemerintahan Prabowo Subianto, di
tengah kondisi ekonomi sedang tidak baik, dan memburuk, serta daya beli yang
masih terus melemah. Indeks aktivitas produksi di zona kontraksi selama 4
bulan. Jumlah PHK bertambah terus. Karena itu, tidak ada alasan yang bisa
membenarkan PPN naik.
Kenaikan pajak, termasuk PPN, merupakan instrumen kebijakan
fiskal yang bersifat kontraksi. Kenaikan PPN akan membuat aktivitas ekonomi
turun. Artinya, di tengah ekonomi sedang melemah, kebijakan menaikkan PPN
merupakan blunder besar. Pertumbuhan Ekonomi akan anjlok. Jumlah penduduk
miskin bisa naik lagi. Jumlah penduduk kelas menengah akan menyusut lebih
dalam.
Sekali lagi, tidak ada alasan ekonomi yang bisa membenarkan
kenaikan PPN pada 1 Januari 2025. Kenaikan PPN akan membuat rakyat tambah
menderita dan tambah miskin. Rakyat akan kehilangan paling sedikit Rp50
triliun, akibat kenaikan pajak semena-mena ini.
Tidak heran, rencana kenaikan PPN menuai protes masyarakat
luas. Petisi tolak kenaikan PPN bergema.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20241121094613-532-1168993/petisi-tolak-ppn-naik-jadi-12-persen-mulai-1-januari-2025-menggema/amp
Penolakan juga datang dari pengusaha. Apindo (Asosiasi
Pengusaha Indonesia), Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia), GAPMMI
(Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman), menyatakan tidak setuju dengan
kenaikan PPN pada 1 Januari 2025.
https://infobanknews.com/apindo-tolak-kenaikan-ppn-12-persen-ancam-daya-beli-dan-pertumbuhan-ekonomi/amp/
https://www.inilah.com/pengusaha-ritel-tolak-kenaikan-ppn-12-persen-awal-tahun-depan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga bersuara,
menegaskan menolak kenaikan PPN.
https://amp.kontan.co.id/news/rakyat-makin-susah-ylki-tolak-kenaikan-tarif-ppn-12-di-2025
Masih banyak elemen masyarakat lainnya yang menolak kenaikan
PPN menjadi 12 persen, termasuk dari kalangan buruh.
Kenapa PPN harus naik pada 1 Januari 2025?
Alasannya, kenaikan PPN menjadi 12 persen sudah diatur di
Bab IV, Pajak Pertambahan Nilai, UU Pajak tahun 2021 (tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan).
Pasal 7 ayat (1) huruf b mengatakan, tarif PPN sebesar 12
persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Aturan kenaikan PPN ini bermasalah secara hukum dan etika.
Pertama, kenapa selama ini Jokowi tidak menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen,
sebelum masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2024 yang lalu?
Kenapa Jokowi sengaja membiarkan bola panas PPN ini kepada
presiden Prabowo Subianto (atau presiden periode 2024-2029) yang belum genap
berusia 2 bulan?
Kedua, mengubah tarif pajak merupakan wewenang presiden dan
DPR dalam masa jabatan, karena merupakan bagian dari kebijakan fiskal dan kebijakan
ekonomi.
Artinya, Jokowi tidak bisa mengubah tarif pajak di luar masa
jabatannya, yaitu 20 Oktober 2024. Jokowi tidak bisa mengubah tarif pajak untuk
3 tahun ke depan, 5 tahun ke depan, 10 tahun ke depan melampaui masa
jabatannya.
Pasal 7 ayat (3) mengatur, tarif PPN bisa diubah antara 5
persen sampai 15 persen. Tetapi ayat (4) mengatur, perubahan ini harus
disampaikan oleh Pemerintah dan disetujui DPR. Ini baru peraturan yang benar.
Setiap perubahan tarif pajak harus mendapat persetujuan dari DPR, dengan
mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini.
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) mencerminkan, kebijakan fiskal
pada periode tertentu sepenuhnya menjadi wewenang presiden dan DPR di masa
periode tersebut. Artinya, kebijakan fiskal (dan perubahan tarif pajak) tahun
2025 sepenuhnya merupakan wewenang presiden Prabowo Subianto dan DPR periode
2024-2029.
Artinya, Jokowi dan DPR periode 2019-2024 tidak mempunyai
hak dan wewenang menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
Tidak heran, mayoritas fraksi DPR (periode 2024-2029)
keberatan dan menolak kenaikan PPN pada 1 Januari 2025, mengingat kondisi
ekonomi saat ini sedang tidak baik.
https://www.beritasatu.com/ekonomi/2856273/mayoritas-fraksi-dpr-minta-kenaikan-ppn-12-persen-ditunda-dan-dipertimbangkan-lagi/amp
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Pasal 7 ayat (1) huruf
b UU Pajak tahun 2021 yang mengatur kenaikan PPN menjadi 12 persen paling
lambat 1 Januari 2025 wajib batal demi hukum, karena melanggar wewenang
presiden dan DPR periode 2024-2029.
—- 000 —-