Opini : Anthony Budiawan *)
BUMN kerap
dijadikan alat untuk kepentingan pribadi dan politik para penguasa, salah
satunya dengan pembagian jabatan direksi serta komisaris demi kepentingan
politik tertentu. Padahal, idealnya BUMN berperan dalam sektor yang menguasai
hajat hidup masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam.
Kontribusi
BUMN terhadap kas negara dianggap minim, bahkan lebih banyak membebani APBN
melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN). Di era pemerintahan Jokowi,
kondisi ini semakin buruk karena BUMN terseret dalam berbagai kepentingan
politik. Segala kebutuhan pemerintah dapat dipenuhi dengan cepat melalui BUMN
tanpa transparansi yang memadai.
Meskipun
memiliki sumber daya alam melimpah, Indonesia masih terjebak dalam kemiskinan
dan utang yang besar. Kekayaan suatu negara sebenarnya tidak hanya bergantung
pada sumber daya alamnya, melainkan pada kemampuan industrinya dalam
memproduksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat.
Gagalnya
Indonesia dalam membangun industri terlihat dari terus memburuknya neraca
transaksi berjalan, di mana ekspor belum mampu menutupi kebutuhan devisa.
Perekonomian masih sangat bergantung pada sektor ekstraktif seperti
pertambangan dan perkebunan, yang membuat Indonesia tertinggal dari negara lain
seperti Vietnam. Pada 2023, ekspor Indonesia hanya mencapai 258,8 miliar dolar
AS, sementara Vietnam sudah mencapai 353,8 miliar dolar AS.
Dalam bidang
fiskal, Indonesia gagal membangun sistem keuangan yang sehat dan berkelanjutan.
Rasio pajak yang rendah menyebabkan defisit anggaran dan utang terus meningkat.
Dari 2009 hingga 2019, defisit melonjak drastis dari Rp88,6 triliun menjadi
Rp348,6 triliun, sedangkan utang pemerintah naik dari Rp1.591 triliun menjadi
Rp4.785 triliun. Parahnya lagi, bunga utang yang semakin besar tidak dapat
ditutupi oleh penerimaan negara, sehingga harus dibayar dengan utang baru,
sebuah praktik yang telah berlangsung sejak 2012.
Keberadaan
BUMN yang seharusnya menjadi pilar ekonomi negara justru berubah menjadi beban.
Banyak BUMN yang terlibat di berbagai sektor industri tanpa kejelasan, bahkan
mengalami kerugian besar. Dalam sepuluh tahun terakhir, beberapa BUMN dipaksa
berinvestasi di infrastruktur seperti jalan tol, yang akhirnya membuat banyak
di antaranya mengalami kesulitan keuangan hingga nyaris kolaps. Triliunan
rupiah dana publik yang digunakan untuk penyertaan modal dan bailout pun
terbuang sia-sia.
Banyak yang
mengkritik bahwa BUMN lebih menguntungkan elite politik daripada rakyat.
Eksploitasi sumber daya alam justru memperkaya segelintir pengusaha, sementara
masyarakat lokal hanya menerima dampak negatif berupa banjir, longsor, dan
pencemaran lingkungan.
Modus
korupsi kini semakin berkembang, dari yang awalnya hanya terkait anggaran dan
proyek, menjadi korupsi melalui kebijakan. UU Cipta Kerja, UU Minerba, serta
berbagai regulasi lain justru mempercepat pergeseran ini dengan memberikan
keuntungan kepada kelompok elite tertentu.
Korupsi
kebijakan ini sulit diberantas karena melibatkan pejabat tinggi yang memiliki
kekuasaan besar, menjadikannya bagian dari kejahatan terorganisir (organized
crime and corruption). Hal ini bahkan menjadi perhatian lembaga internasional
seperti OCCRP, yang menyoroti praktik korupsi di Indonesia.
*) - Managing Director Political
Economy and Policy Studies (PEPS)