Opini oleh: Koordinator TPDI, Advokat Perekat Nusantara, Petrus Selestinus.
Pemanggilan dan pemeriksaan Hasto Kristiyanto (Hasto), Sekjen
PDI Perjuangan, sebagai saksi untuk tersangka Harun Masiku oleh Penyidik KPK,
pada hari Senin, 10 Juni 2024, merupakan suatu akrobat politik yang sangat
tidak elok dipertontonkan oleh KPK.
Hasto nyata-nyata dipanggil KPK sebagai Saksi dan Hasto tetap
hadir tepat waktu di KPK dalam kapasitas sebagai Saksi, karenanya KPK harus
menghormati dan memperlakukan Hasto sebagai Saksi dengan segala haknya yang
dilindungi oleh ketentuan pasal 5 dan pasal 7 KUHAP dan oleh UU KPK.
Namun apa yang dihadapi oleh Hasto, ketika bertemu dengan
Penyidik KPK, ternyata KPK menunjukan sikap dan perilaku yang arogan, pemer
kekuasaan bahkan memperlakukan Hasto sebagai seorang tersangka, karena KPK
serta merta melakukan upaya paksa dengan menyita HP dan Tas tangan milik Hasto
di luar prosedur hukum.
SAKSI ADALAH MITRA PENYIDIK
HP dan Tas tangan milik Hasto dijadikan KPK seakan-akan menjadi
bagian dari alat bukti permulaan yang cukup bagi penyidik dalam menetapkan
Hasto sebagai tersangka. Padahal Hasto adalah Saksi bukan Tersangka, karena itu
sesuai prinsip hukum acara tentang penyitaan terhadap suatu barang dari
seseorang, maka barang itu harus merupakan hasil dari kejahatan atau alat untuk
melakukan kejahatan serta dilakukan berdasarkan KUHAP dan ketentuan pasal 46
dan 47 UU No.19 Tahun 2019 Tentang KPK.
Apa yang dilakukan KPK jelas merupakan pelanggaran hukum yang
serius terhadap prinsip KUHAP dan prinsip pasal 46 dan 47 UU No.19 Tahun 2019,
di mana penyidik memperlakukan Hasto sebagai Tersangka dan mengabaikan
ketentuan pasal 5 dan pasal 7 KUHAP berikut penjelasannya yaitu tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab. Artinya apa yang dilakukan oleh KPK tidak
bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum, patut dan masuk akal
dan menghormati HAM Hasto sebagai Saksi.
Padahal sebagai seorang Saksi yang keterangannya sangat
diperlukan KPK, maka Hasto layaknya diposisikan sebagai mitra Penyidik KPK
(terlepas dari apakah kemudian nanti KPK mau menjadikan Hasto sebagai
tersangka). Secara prinsip hukum, hak Hasto sebagai Saksi harus dihormati,
karena dari Hasto KPK berharap memperoleh informasi dan bukti untuk membuat
perkara menjadi lebih terang.
KPK TIDAK BERWENANG SITA
Hanya barang milik Tersangka, atau barang yang digunakan oleh
tersangka untuk melakukan tindak pidana korupsi atau barang hasil kejahatan
korupsi yang dimiliki oleh tersangka, maka KPK dapat melakukan penyitaan di
luar mekanisme KUHAP, artinya penyitaan itu cukup dilakukan dengan izin dari
Dewas KPK atau dapat dimintakan izin segera setelah penyitaan terjadi (pasal 46
dan 47 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 19 Tahun 2019).
Dalam kasus sita HP dan Tas tangan milik Saksi Hasto, KPK justru
melakukan sita tidak dari tangan Hasto tapi dari seorang staf Hasto itupun
dengan cara menjebak, ini adalah langkah polticking KPK, nuansa politiknya
sangat kental, antara lain untuk mempermalukan seorang Hasto dengan segala aktivitas
Hasto selama ini bahkan Hasto diduga kuat dijadikan sebagai tumbal politik
balas dendam kekuasaan.
Kalau saja Hasto berdasarkan bukti permulaan yang cukup
dinyatakan sebagai tersangka, kemudian lari bersama-sama Harun Masiku dan
dinyatakan DPO, maka sah-sah saja KPK menyita HP dan Tas tangan milik Hasto di
luar mekanisme KUHAP dan menggunakan mekanisme Pasal 46 dan 47 ayat (3) dan
ayat (4) UU No. 19 Tahun 2019 Tentang KPK.
Di sini KPK telah melakukan tindakan sewenang-wenang,
mencampuradukan wewenang dan melampaui wewenang, karena apapun alasannya Hasto
adalah Saksi, bukan Tersangka. Namun tindakan KPK menyita HP dan Tas tangan
milik Hasto, seolah-olah Hasto adalah Tersangka, berimplikasi kepada tindakan
Sita KPK menjadi tidak sah dan KPK harus segera kembalikan HP dan Tas tangan
milik Hasto tanpa syarat.
Implikasi hukum lainnya adalah KPK bisa digugat Praperadilan dan
Gugat PMH ke Pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 66 UU No.19 Tahun 2019
Tentang KPK sejalan dengan KPK dilaporkan ke Dewas KPK sebagai pelanggaran
Etik, semata-mata karena KPK tidak cermat membaca ketentuan pasal 46 dan 47 UU
No.19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 20 Tahun 2002 Tentang KPK.