Opini oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Empat
hari menjelang pelantikan Prabowo Subianto, Gubernur Bank Indonesia, Perry
Warjiyo, merasa yakin kurs rupiah akan menguat, mendekati Rp15.000 per dolar
AS. Hal ini dikatakan Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan
Gubernur BI, Rabu (16/10/2024).
Dua hari kemudian, 18 Oktober 2024, Menteri Keuangan
Sri Mulyani juga mengatakan hal senada, kurs rupiah akan menguat terhadap dolar
AS. Alasannya, klasik. Fundamental ekonomi Indonesia sangat baik. Inflasi
rendah, prospek per- tumbuhan ekonomi sangat baik. Karena itu, rupiah seharus-
nya menguat. Kalau terpuruk, maka yang salah pasti faktor eksternal, faktor
global. Antara lain perang Rusia-Ukraina, pergolakan Timur Tengah, konflik
Gaza, konflik Israel-Iran, serangan rudal Iran ke Israel, dan sebaliknya. Yang
terakhir, faktor Trump. Sri Mulyani bilang, rupiah melemah karena Trump menang
pada pilpres AS 5 November yang lalu.
Alasan Bank Indonesia dan Menteri Keuangan terkait
kurs rupiah tersebut tidak tepat, cenderung menyesatkan, dan membodohi publik.
Di era ekonomi yang semakin terbuka, kurs rupiah
ditentukan oleh transaksi internasional antara Indonesia dengan seluruh dunia
(rest of the world). Transaksi internasional, atau dinamakan transaksi
berjalan, mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia terhadap ekonomi dunia.
Kalau transaksi berjalan defisit, artinya aliran
dolar masuk lebih sedikit dari dolar keluar, maka kurs rupiah akan anjlok.
Kalau kondisi defisit ini berlangsung terus-menerus, secara struktural,
mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia secara struktural sangat buruk
terhadap ekonomi dunia, mengakibatkan kurs rupiah akan terus anjlok.
Kondisi ini yang terjadi dengan ekonomi Indonesia.
Posisi transaksi berjalan Indonesia dengan dunia internasional san- gat buruk,
mengalami defisit terus-menerus, kecuali tahun 2021-2022, di mana Indonesia
mendapat 'durian runtuh' dari lonjakan harga komoditas. Tetapi sejak 2023,
transaksi berjalan mulai defisit lagi.
Untuk periode Januari-September 2024, defisit
transaksi berjalan sudah mencapai 7,9 miliar dolar AS. Karena itu, kurs rupiah
terus tertekan dan anjlok.
Untuk mempertahankan kurs rupiah, Bank Indonesia dan
Kementerian Keuangan harus intervensi, alias 'doping', melalui penarikan Utang
Luar Negeri untuk menutupi defisit transaksi berjalan.
Utang Luar Negeri sektor swasta, khususnya BUMN, sudah
tidak diminati lagi oleh investor asing. Mungkin risiko finansial, atau risiko
gagal bayar, sektor swasta BUMN cukup tinggi. Sehingga total Utang Luar Negeri
swasta akhir-akhir ini cenderung turun.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan kurs rupiah,
Pemerintah dan Bank Indonesia dijadikan mesin cetak Utang Luar Negeri. Bank
Indonesia sejak Agustus 2023 telah me- nerbitkan tiga jenis surat utang, yaitu
SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia), SVBI (Sertifikat Valuta Asing Bank
Indo- nesia), SUVBI (Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia).
Siaran pers Bank Indonesia secara eksplisit
mengatakan: "Penerbitan SVBI dan SUVBI dilakukan untuk mengelola li-
kuiditas valuta asing guna mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.....".
Kalimat ini menegaskan, Utang Luar Negeri Bank Indonesia digunakan untuk
intervensi kurs rupiah.
Peran baru Bank Indonesia tersebut, sebagai pencetak
Utang Luar Negeri untuk intervensi kurs rupiah, sangat bahaya bagi sistem
moneter Indonesia. Kebijakan moneter Bank Sentral umumnya dilakukan melalui
kebijakan suku bunga dan likuiditas uang beredar. Bukan menarik utang luar
negeri.
Tidak heran, kurs rupiah selama triwulan ketiga (Q3)
2024 sempat menguat cukup tajam, dari Rp16.390 per dolar AS pada 2 Juli 2024
menjadi Rp15.135 per dolar AS pada 30 September 2024.
Tetapi, penguatan kurs rupiah tersebut bukan karena
fundamental ekonomi Indonesia yang sehat dan kuat, seperti dikatakan Bank
Indonesia dan Menteri Keuangan. Tetapi, kurs rupiah menguat karena Pemerintah
dan Bank Indonesia ber- hasil menarik Utang Luar Negeri dalam jumlah sangat
besar.
Pada Q3/2024, hanya dalam 3 bulan, Utang Luar Negeri
Pemerintah dan Bank Indonesia naik 19,69 miliar dolar AS atau 9,3 persen dari
total Utang Luar Negeri Pemerintah dan Bank Indonesia per akhir Juni 2024.
Utang Luar Negeri Pemerintah naik 6,9 persen dan Bank Indonesia naik 31 persen.
Sedangkan Utang Luar Negeri BUMN turun 310 juta dolar AS.
Tanpa penarikan Utang Luar Negeri, kurs rupiah akan
terpuruk. Seperti yang terjadi belakangan ini, rupiah melemah lagi mendekati
Rp16.000 per dolar AS lagi. Kalau kondisi fun- damental ekonomi Indonesia masih
seperti ini, rupiah dipastikan akan terus merosot, bisa menjadi Rp17.000,
Rp18.000 atau lebih rendah lagi. Kurs rupiah hanya bisa menguat kalau
Pemerintah dan Bank Indonesia menggelembungkan Utang Luar Negeri terus-menerus:
sampai gelembung pecah?