Imam Shamsi Ali
Sekitar 10 hari lagi umat Islam di seluruh penjuru dunia akan memasuki bulan Ramadan. Bulan yang memang ditunggu-tunggu dengan hati riang dan gembira. Karena bulan itu dijanjikan penuh dengan kebaikan, keberkahan, cinta dan kasih sayang Allah SWT. Bulan di mana Allah menjanjikan pengampunan bagi hamba-hambaNya yang kembali sadar dengan kebenaran, dibukakan pintu-pintu syurga dan pintu-pintu neraka ditutup. Bulan di dalamnya diturunkan Al-Qur’an di sebuah malam yang lebih baik dari seribu malam.
Intinya bulan Ramadan adalah bulan yang dirindukan karena berbagai kebaikan dan bulan di mana jalan-jalan kebaikan itu terbuka lebar. Di bulan Ramadan kemungkinan berbuat dosa dipersempit dengan diikatnya syetan-syetan. Motivasi dan dorongan untuk melakukan ibadah-ibadah, baik yang bersifat vertikal (mahdhah) maupun horizontal (mu’alamat) tumbuh besar.
Persiapan memasuki bulan berkah
Namun segala sesuatu dalam Islam itu tidak terjadi dengan sendirinya. Diharuskan adanya keterlibatan langsung atau ikhtiar manusia agar janji-janji itu diwujudkan oleh Dia Yang Maha memenuhi janji (Allah SWT). Bahkan peristiwa mu’jizat para nabi sekalipun tidak terjadi tanpa ikhtiar nabi-nabi itu. Musa diperintahkan memukul lautan misalnya sebagai bagian dari ikhtiar itu. Allah boleh saja membelah laut itu tanpa Musa memikirkan tongkatnya. Tapi Allah memerintahkannyan memukul lautan dengan tongkat sebagai ikhtiar yang menjadi keharusan.
Demikian pula berbagai janji yang Allah janjikan di bulan Ramadan tidak mungkin diberikan tanpa ikhtiar maksimal dari kita yang mengharapkannya. Dari berbagai keberkahan, kebaikan, kasih sayang, pengampunan, hingga ridho dan syurgaNya hanya akan diberikan jika dibarengi dengan ikhtiar yang benar dan sungguh-sungguh dari kita.
Salah satu bentuk kesungguhan Ikhtiar kita adalah mempersiapkan diri menyambut bulan Ramadan itu. Persiapan itu akan banyak menentukan bagaimana kita akan membawa diri selama Ramadan. Persiapan yang matang akan menjadikan kita matang dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Persiapan seadanya juga akan menjadikan kita seadanya dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.
Semua bermula dari mindset
Di antara persiapan-persiapan yang harus dilakukan dalam menyambut bulan Ramadan ini adalah perlunya membangun “mindset” atau cara pandang yang benar tentang Islam secara umum dan ibadah secara khusus. Cara pandang yang terbatas bahkan salah mengenai Islam dan ibadah menjadikan ibadah yang kita lakukan terbatas bahkan bisa salah.
Sebagian besar umat Islam masih memahami jika Islam itu adalah kumpulan acuan praktek-praktek ritual yang ketat. Maka Sholat, puasa, Zakat, haji dan Umrah, dzikir, tahmid dan tasbih, semua itu adalah Islam. Beraktifitas di Masjid-Masjid itu ibadah. Namun ketika Masjid telah ditinggalkan seolah Islamnya juga ditinggalkan di Masjid-Masjid. Pada waktu-waktu tertentu, Ramadan misalnya mereka berislam. Pada tempat-tempat tertentu, Mekah misalnya, mereka berislam. Namun di luar Ramadan atau di luar Mekah Islam tidak lagi menjadi pegangan.
Mindset berislam yang seperti ini menjadikan mereka memiliki cara pandang dengan ibadah yang juga terbatas dan tidak efektif. Ibadah dipahami sebagai sekedar amalan-amalan ritual yang sempit dan terbatas. Maka Ramadan bagi sebagian tidak lebih dari sekedar bulan berbagai amalan ritual semata.
Maka satu hal yang harus ditanam kuat dalam sanubari setiap Muslim bahwa Islam itu adalah agama yang mencakup seluruh titik pergerakan nadi kehidupan. Dan ibadah dalam Islam itu mencakup seluruh aspek pergerakan hidup, baik yang bersifat vertical maupun horizontal. islam tidak mengenal pemilah-pemilahan kehidupan kepada ruang-ruang yang berbeda. Ada ruang untuk Tuhan dan ada ruang untuk diri sendiri.
Selain itu antara satu bentuk ibadah dan ibadah lainnya itu (mahdhah dan mu’amalat) saling terkait. Ibadah Sholat itu memiliki dampak pada aspek kehidupan sosial pelakunya. Karena memang Sholat itu mencegah kemungkaran dan kekejian (fahsyaa wal munkar). Demikian juga puasa yang tidak menghentikan pelakunya dari perkataan dan perbuatan buruk maka tiada keperluan bagi Allah untuk dia meninggalkan makan dan minumnya (hadits).
Hati yang bersih menentukan
Berislam secara umum dan ibadah secara khusus akan ditentukan oleh bagaimana situasi hati dan kejiwaan. Semua ibadah yang dilakukan dalam Islam itu nilainya ditentukan secara prinsip oleh hati pelakunya. Bahwa dalam diri manusia itu ada segumpal darah, jika baik akan baik semua anggota tubuhnya. Tapi jika rusak akan rusak seluruh anggota tubuhnya. Itulah hati. Hati yang baik inilah yang akan menentukan Apakah ibadah yang dilakukan itu baik dan diterima atau buruk dan tertolak.
Dalam realitanya ibadah yang dilaksanakan dengan hati yang benar dan bersih itu akan melahirkan “dzikrullah” yang menjadi esensi seluruh ibadah. Dengan dzikir itulah amalan-amalan yang dilakukan bernilai ibadah termasuk yang bersifat duniawi. Tanpa dzikrullah amalan ritual sekalipun tidak akan bernilai ibadah. Di Surah di Al-Jumu’ah misalnya Allah memerintahkan hambaNya untuk hadir di Jumatan dengan penyebutan dzikrullah. Tapi setelah selesai Sholat, mereka diperintah bertebaran di bumi mencari rezekiNya, juga dengan penyebutan dzikrullah. Keduanya dalam pandangan Islam (Sholat dan mencari rezeki) yang benar bernilai ibadah.
Pada aspek inilah puasa harus dilihat sebagai amalan hati (ibadah). Dan Karenanya salah satu persiapan yang penting menyambut Ramadan ini adalah dengan pembersihan hati dan jiwa (tazkiyatun nafs). Al-Qur’an memang mengingatkan: “beruntunglah siapa yang mensucikan. Dan ingat Asma Tuhannya dan Sholat”. (Al-a’laa). Ayat ini seolah mengingatkan bahwa mengingat Allah (dzikrullah) itu hanya mungkin ketika hati berhasil disucikan.
Sayangnya banyak di kalangan umat perhatiannya hanya fokus pada aspek legal atau masalah-masalah fiqhiyah semata. Akibatnya keinginan untuk beribadah secara benar seringkali dibarengi oleh hati yang kurang bersih. Yang terjadi kemudian adalah ketinggian hati dan ego menyikapi perbedaan-perbedaan. Satu contoh yang biasa saya contohkan adalah bagaimana ketika terjadi perbedaan pendapat menyikapi awal dan akhir Ramadan. Moon-sighting biasanya merubah menjadi “moon-fighting”.’
Maka persiapkan menyambut Ramadan dengan membersihkan hati dan jiwa. Bersihkan dari noda-noda dosa dan penyakit hati lainnya. Dengan itu Ramadan akan kita sambut dengan lebih baik dan maksimal. Apalagi niat menjadi fondasi ibadah. Dan niat yang benar hanya akan terjadi ketika hati itu bersih.
Ilmu adalah Jalan Kebaikan.
Selain niat sebagai rukunnya, sebuah ibadah hanya akan diterima ketika ada kesesuaian atau dalam bahasa syariah “ittiba’” atau mengikuti. Mengikuti di sini maksudnya adalah melaksanakan ibadah-ibadah yang kita lakukan dengan mengikut kepada ajaran Allah di Al-Qur’an dan RasulNya (Sunnah). Niat yang benar melaksanakannya jika tidak sejalan dengan ajaran Allah dan RasulNya “maka tertolak” (fahuwa raddun).
Karenanya kesuksesan seseorang dalam ibadahnya memerlukan keilmuan. Rasulullah menegaskan: “barangsiapa yang dikehendaki Allah baginya kebaikan maka Dia akan menjadikannya paham (yufaqqihhu). Termasuk keilmuan atau pemahaman yang terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa Ramadan ini. Apa yang wajib, Sunnah, mubah, makruh, dan apa saja yang haram dan membatalkan puasa. Jika ada pelanggaran di saat berpuasa bagaimana jalan keluarnya dalam Syari’ah, dan seterusnya.
Sayang bahwa masih mayoritas umat ini melaksanakan ibadah-ibadah yang mereka lakukan berdasarkan perkiraan sendiri atau berdasarkan pengalaman turun temurun. Sehingga sebagian praktek-praktek keagamaan itu mengikut kepada tradisi nenek moyang, yang seringkali bertentangan dengan syariah dan mendatangkan dosa.
Akhirnya mari kita sambut bulan suci Ramadan dengan hati riang. Persiapkan secara matang dan menyeluruh bulan Ramadan, termasuk persiapan fisik, akal atau ilmu dan mindset yang benar. Namun tidak kalah pentingnya adalah persiapan ruhiyah, hati dan kejiwaan.
Semoga Allah menguatkan dan menerima dari kita semua. Ramadan Mubarak!
NYC Subway, 19 February 2025
Director of Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation