Jakarta, – Seorang
penyiar Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 2 Ternate bernama
Aini tak pernah
membayangkan dirinya akan kehilangan pekerjaan akibat kebijakan pemangkasan
anggaran RRI. Kebijakan ini merupakan dampak dari instruksi Presiden Prabowo
Subianto yang mengurangi anggaran kementerian dan lembaga (K/L) serta transfer
ke daerah sebesar Rp306 triliun pada 2025 untuk meningkatkan efisiensi belanja
negara.
Dalam sebuah
video berdurasi tiga menit yang diunggah di akun Instagram pribadinya
@aiinizzaa, Aini mengungkapkan kegelisahannya terkait efisiensi anggaran yang
menyebabkan PHK massal tenaga honorer.
Selama 11
tahun menjadi penyiar lepas di RRI Ternate, Aini memahami bahwa kebijakan
efisiensi anggaran bertujuan untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis
(MBG). Namun, ia menyayangkan dampak yang ditimbulkan, terutama bagi mereka
yang kehilangan pekerjaan.
"Ketika pagi hari bapak berhasil memberikan makanan gratis dan
bergizi untuk anak-anak, tapi saat mereka pulang, mereka mendapati orang tua
mereka kehilangan pekerjaan dan tidak mampu menyediakan makan siang dan malam
yang layak," ungkapnya
dalam video yang kemudian menjadi viral.
Pemangkasan Anggaran RRI dan
Dampaknya
Juru Bicara
RRI, Yonas Markus Tuhuleruw, mengungkapkan bahwa anggaran LPP RRI tahun ini
mengalami pemangkasan sekitar Rp300 miliar dari total pagu Rp1,7 triliun pada
2025. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah biaya operasional, yang
berakibat pada kebijakan penghentian tenaga kerja lepas.
"Kami prihatin dengan kondisi ini. Namun, ini adalah langkah
terakhir yang harus diambil," ujar Yonas melalui akun Instagram @rri_official,
Senin (10/2/2025).
Selain RRI,
lembaga penyiaran publik TVRI juga mengalami situasi serupa. Akibat pemotongan
anggaran lebih dari 50%, TVRI terpaksa menghentikan kontrak para kontributornya
di seluruh Indonesia sejak 4 Februari 2025.
Efisiensi Anggaran di
Berbagai Sektor
Pemangkasan
anggaran tidak hanya berdampak pada tenaga honorer dan kontrak, tetapi juga
menyebabkan pembatalan sejumlah proyek strategis serta efisiensi besar-besaran
di berbagai kementerian dan lembaga.
Berdasarkan
laporan TheStanceID,
Kementerian Pekerjaan Umum terpaksa membatalkan 14 proyek bendungan dan saluran
irigasi yang bertujuan mendukung swasembada pangan, setelah anggarannya
dipotong Rp81,38 triliun. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pemotongan
anggaran justru menghambat pertumbuhan ekonomi, yang seharusnya dapat membuka
lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Riset dan Pendidikan
Terhambat
Badan Riset
dan Inovasi Nasional (BRIN) juga terkena dampak kebijakan ini, dengan
pemangkasan anggaran sebesar Rp2 miliar atau 35,52% dari total pagu Rp5,8
miliar. Akibatnya, BRIN tidak dapat mendanai riset yang mendukung program Asta
Cita Presiden Prabowo.
Tak hanya
itu, Kementerian Keuangan juga membatalkan program Ministerial Scholarship 2025 sebagai bagian dari langkah
efisiensi anggaran.
Badan
Kepegawaian Negara (BKN) pun menerapkan sistem kerja baru bagi ASN, di mana
pegawai hanya bekerja dari kantor (WFO) selama tiga hari dan dapat bekerja dari
mana saja (WFA) selama dua hari per minggu. Kebijakan ini dilakukan untuk
menekan biaya operasional, sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 1 Tahun 2025.
Protes Pegawai LPSK atas
Pemangkasan Anggaran
Dampak
pemotongan anggaran juga dirasakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK), yang mengalami pemangkasan hingga 62,8%. Dari anggaran awal Rp229
miliar, LPSK hanya menerima Rp85 miliar pada 2025.
Sebagai
bentuk protes, ratusan pegawai LPSK menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta Timur
pada Senin (10/2/2025). Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati, mengakui bahwa
keterbatasan anggaran ini berisiko menghambat pelayanan terhadap saksi dan
korban, termasuk pembatasan jumlah kasus yang dapat ditangani.
Prabowo Tegaskan Efisiensi
untuk Hilangkan Pemborosan
Presiden
Prabowo Subianto membela kebijakan pemangkasan anggaran ini sebagai langkah
untuk menghapus pengeluaran yang tidak perlu dan menutup celah korupsi.
Menurutnya, banyak program yang dipangkas hanya bersifat seremonial.
"Studi banding ke luar negeri untuk belajar cara mengentaskan
kemiskinan? Kok ke Australia, negara yang masuk dalam 10 besar terkaya di
dunia?" sindirnya
dalam Kongres XVIII Muslimat Nahdlatul Ulama di Surabaya, Senin (10/2/2025),
dikutip dari Republika.
Prabowo juga
menyinggung adanya pihak-pihak dalam birokrasi yang menolak kebijakan
efisiensi, seolah-olah merasa kebal hukum.
"Ada yang menentang saya, yang merasa sudah menjadi raja kecil di
dalam birokrasi," tegasnya.
Kritik terhadap Kebijakan
Pemangkasan Anggaran
Peneliti
dari Next Policy, Ibnu Faisal,
mengingatkan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan sektor
pendidikan dan kesehatan, yang merupakan hak dasar warga negara sebagaimana
diatur dalam UUD 1945.
Menurutnya,
pemotongan anggaran seharusnya lebih difokuskan pada pengurangan tunjangan dan
fasilitas pejabat tinggi, bukan memangkas layanan bagi masyarakat.
"Pemerintah punya kabinet yang gemuk dengan banyak menteri dan
wamen. Coba mereka diwajibkan naik kendaraan umum atau menghapus pengawalan
khusus, itu baru efisiensi yang nyata," ujarnya.
Senada
dengan itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad
Isnur, menilai kebijakan ini cacat hukum. Ia menyoroti bahwa perubahan anggaran
dilakukan hanya berdasarkan Inpres, padahal APBN 2025 telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 yang mensyaratkan pembahasan dengan DPR.
"Mengubah APBN hanya dengan Inpres tanpa pembahasan di DPR adalah
tindakan sesat dan cacat konstitusi," kritik Isnur.
Ia juga
menyoroti bahwa pemangkasan anggaran justru berdampak pada lembaga penting
seperti Komnas HAM, Komisi Yudisial, dan LPSK, sementara anggaran Polri justru
meningkat 7,34% dari tahun sebelumnya.
"Pemangkasan ini adalah ancaman bagi penegakan hukum dan hak asasi
manusia di Indonesia," pungkasnya.