Opini oleh Ahmad
Khozinudin, S.H - Advokat- [Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas
Tanah Rakyat/ TA-MOR PTR]
Insiden pengeroyokan advokat
(penulis) oleh sejumlah preman dalam aksi menjalankan hak konstitusi berupa
penyampaian pendapat dimuka umum yang dilaksanakan di Desa Muncung, Kronjo
Kabupaten Tangerang, Kemarin (Sabtu, 1/2), harus dijadikan momentum untuk
mengevaluasi institusi Polri. Sebagai institusi yang bertugas melayani,
melindungi dan mengayomi masyarakat, semestinya kejadian tersebut tak terjadi.
Pasalnya, peristiwa itu terjadi dihadapan
banyak anggota POLRI. Bahkan, terjadi didepan hidung Rudi R, Kapolsek Kronjo.
Kejadian itu mengkonsumsi beberapa hal, diantaranya :
Pertama, buruknya kinerja instusi Polri dalam memberikan
pelayanan penyelenggaraan penyampaian pendapat dimuka umum, sebagai amanat dari
Pasal 28 UUD 45 Jo Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 adalah undang-undang
yang mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Semestinya, anggota Polri yang hadir begitu
banyak, bisa mensterilisasi lokasi aksi yang sudah ditetapkan panitia aksi agar
tidak diokupasi oleh pihak lainnya. Polri juga harus menghalau pihak-pihak yang
berusaha mengintimidasi peserta aksi dan berusaha menggagalkan aksi.
Saat itu, penulis sebagai peserta aksi yang
diundang oleh panitia datang on time jam 09.00 WIB. Lalu, sekitar pukul 09.30
berusaha mendekati lokasi aksi untuk meninjau. Penulis juga merasa aman, karena
sudah terlihat banyak anggota polisi berseragam resmi mengamankan area lokasi
aksi.
Tapi begitu penulis berjalan hendak lewat
meninjau Aksi, sejumlah pereman mengerubuti penulis. Polisi tidak berusaha
menghalau preman yang menggangu, tapi malah menarik penulis agar menjauh dari
lokasi aksi.
Saat terjadi keributan, Kapolsek Kronjo
mengaku dipukul preman. Luar biasa, apakah Negara yang kehadirannya diwakili
Polisi kalah dengan preman? Karena itu, saat kejadian penulis menuntut agar
preman-preman tersebut diproses hukum. Karena itu delik umum, maka Polri tak
perlu menunggu laporan dari masyarakat, apalagi Kapolsek Kronjo turut menjadi
korbannya.
Kegagalan Polri mensterilisasi lokasi aksi
dari preman bayaran Aguan, juga tindakan Polisi yang tidak menjauhkan preman
dari penulis (malah sebaliknya, menarik Penulis menjauh dari lokasi aksi),
adalah konfirmasi kegagalan polisi menjalankan tugas melindungi, melayani dan
mengayomi masyarakat.
Gagal melayani aktivitas konstitusional
menyampaikan pendapat. Gagal melindungi keamanan masyarakat. Gagal mengayomi
masyarakat, bahkan terkesan berpihak kepada preman.
Walau akhirnya Aksi penolakan proyek PIK-2
dengan ribuan peserta sukses diselenggarakan, dan preman-preman itu pada kabur,
*akan tetapi kaburnya preman-preman tersebut bukan karena dihalau oleh polisi,
melainkan karena takut pada peserta aksi dengan jumlah yang banyak (sekira 5
ribuan).*
Kedua, buruknya kinerja instusi Polri dalam poin pertama
dimaksud, tidak lepas dari buruknya kinerja unsur Pimpinan, dalam hal ini
buruknya kinerja Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Merujuk apa yang beliau
sampaikan, bahwa ‘Ikan Busuk Dari Kepalanya’. Jadi, busuknya kinerja Polsek
Kronjo yang di Back Up Polres Tangerang, tidak lepas dari busuknya kinerja
Kapolri.
Buruknya pelayanan, perlindungan dan
pengayoman instusi Bhayangkara ini tidak bisa dibebankan secara parsial kepada
bawahan. Faktor pimpinan, yaitu Kapolri, menjadi faktor dominan atas buruknya
kinerja instusi Polri.
Ketiga, karena itu harus ada evaluasi total dan menyeluruh
terhadap kinerja instusi Polri. Agar, Polri dicintai masyarakat. Agar,
masyarakat merasa tenteram dan aman dibawah perlindungan polisi.
Evaluasi terhadap POLRI ini, lagi-lagi harus
dimulai dari kepalanya. KAPOLRI Listyo Sigit Prabowo sudah saatnya dievaluasi
dan diganti. Selain karena buruknya kinerja Polri, Pak Listyo Sigit Prabowo
juga sudah lama menjabat sebagai Kapolri.
Lalu, bagaimana mendesain Kapolri yang unggul
agar menjadi faktor perbaikan institusi Polri dalam menjalankan tugasnya
kedepan?
Penulis
berpendapat, setidaknya kriteria Kapolri ke depan harus memenuhi sejumlah
syarat, diantaranya:
1. Pejabat Kapolri haruslah anggota Polri
terbaik, atau setidaknya bagian dari anggota Polri yang berprestasi unggul.
Yang ditunjuk sebagai pejabat Kapolri haruslah dari kelompok Adhi Makayasa yang
punya prestasi unggul. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak masuk
kategori Adhi makayasa, sehingga wajar kinerjanya buruk.
2. Pejabat Kapolri haruslah anggota Polri yang
dipilih berdasarkan jenjang kepangkatan dan level urut kacang. Hal ini, akan
menjaga wibawa Kapolri dihadapan jajarannya, sehingga perintah Kapolri dapat
ditaati anggota secara lahir dan batin. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
menduduki jabatan Kapolri, dengan jenjang kepangkatan yang instan dan tidak
urut kacang. Banyak senior dari sejumlah angkatan yang dilewati (dikangkangi).
3. Pejabat Kapolri haruslah anggota Polri yang
steril dari Oligarki, sehingga bisa berkhidmat melayani rakyat. Kapolri
Jenderal Listyo Sigit Prabowo dikenal dekat dengan AGUAN, sehingga tidak bisa
tegas menindak kejahatan pagar laut dan sertifikat laut.
4. Pejabat Kapolri haruslah anggota Polri yang
dikenal punya reputasi dan dekat dengan rakyat. Sehingga, Kapolri dalam
menjalankan tugasnya bisa benar-benar memahami suasana kebatinan rakyat, bukan
mengikuti atensi Oligarki.
Penulis
kira, 4 (empat) kriteria ini bisa dijadikan referensi Presiden Prabowo Subianto
untuk menentukan siapa pejabat Kapolri pengganti Listyo Sigit Prabowo. Kriteria ini juga bisa diterapkan untuk mengisi jabatan
Panglima TNI, yang menurut hemat penulis juga sudah waktunya diganti.