JAKARTA - Kasus
penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) di
kawasan hutan menjadi sorotan,
terutama karena mencerminkan permasalahan dalam tata kelola lahan di Indonesia.
Pernyataan dari politisi Andi Sinulingga yang menyebut kondisi negeri ini
semakin rusak menunjukkan keprihatinan publik terhadap praktik administrasi
pertanahan yang bermasalah.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mengakui adanya kasus di mana tanah yang
telah bersertifikat ternyata berada di dalam kawasan hutan, atau sebaliknya,
ada kawasan hutan yang diterbitkan sertifikat secara keliru oleh petugas.
Ini menunjukkan perlunya perbaikan sistem pemetaan dan koordinasi
antarinstansi, terutama antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Langkah pembatalan sertifikat yang terbukti berada di kawasan hutan tentu
menjadi solusi logis. Namun, hal ini juga bisa menimbulkan dampak bagi pihak
yang telah memperoleh sertifikat secara legal.
"Ada satu perusahaan atau tanah yang sudah disertifikatkan dalam bentuk
SHM atau SHGU. Dalam perjalanan tiba-tiba muncul itu masuk kawasan hutan.
Sebaliknya, ada juga yang petanya hutan, tapi petugas kita menerbitkan
sertifikat," kata Nusron dalam
rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Nusron mengaku pihaknya telah mencari jalan keluar persoalan tersebut.
"Kalau ada hutan dulu, baru ada SHGU atau SHM, maka akan kita menangkan
hutannya. Maka kewajiban ATR/BPN adalah membatalkan sertifikatnya,"
ujarnya.