JAKARTA – Perbincangan kanal Youtube kanalbaca.com dengan pewancara Jajang Yanwar Habib dengan narasumber Prof. Anthony Budiawan pada Kamis (27/3/2029) membahas dengan melihat indikator makro perekonomian, perkembangan ekonomi terkini.
Fluktuasi rupiah
dalam nilai tukar terhadap dolar semakin
melemah. Levelnya sudah melewati posisi 16 ribu sekian, bahkan
dimungkinkan menembus angka 17 ribu. Angka psikologis mana pun sudah lewat, lalu ada namanya bursa
efek. Kita kemarin sempat di hold perdagangannya oleh otoritas bursa.
Kemudian itu menandai sebuah sentimen negatif.
Yang kemudian beriringan, yang kalau dibaca itu beriringan terhadap kegiatan
sebelumnya. Yaitu apa? Statemen pembentukan Danantara.
Kemudian juga ada beberapa statement mengenai
kegiatan yang sifatnya pemerintah memberikan subsidi kepada pemerintah dalam
bentuk makan bergizi gratis. Kemudian ada lagi soal pertanyaan pemerintah
menginjot pajak gitu kan. Akhirnya pasar kita mengalami sentimen yang cukup
keras.
Nah, kami mencatat di bursa itu ada capital
outflow oleh investor asing sebanyak Rp886 miliar dalam 2 bulan setengah terakhir.
Kemudian ada indikator yang lain mengenai cadangan devisa Rp156 miliar USD
sekian turun 0,4% di bulan lalu. Namun pemerintah mengklaim bahwa kita masih
aman.
Cukup untuk membiayai setara dengan 6,7 bulan
impor. Lalu kemudian indikator yang lain menyebutkan bahwa sumber fiskal kita
kayaknya ini lagi ngos-ngosan. Kalau lihat ya, 2023 ke 2024 kita udah turun.
Ngedropnya sekitar rasio penerimaan pajak dari 10,31 ke 10,07.
Terjadi
penurunan.
JY: Bagaimana kemudian di tahun ini? Mengawali
tahunnya saja kemudian terjadi penyelesaian yang cukup a lot.
Prof: Pertama adalah mengenai penerimaan pajak ya. Penerimaan pajak ini tax
ratio tadi 10,3 pada tahun 2023. Kemudian tahun 2024 sudah sekitar 10 persen. Yang terendah itu adalah
2019 sebelum Covid itu sudah 9,8 persen.
Jadi kalau dari 2014 itu tax-nya rasio pajak
dari 10,85 persen terus turun menjadi 9,8 persen dalam 5 tahun. 2015 ke
2019. Kita ada sedikit windfall profit, kenaikan harga komoditas yang sehingga
menaikkan kita punya rasio pajak. Dan itu pun naik hanya menjadi 10,4 persen
gitu.
Sedikit lah. Nah kemudian sekarang ini sudah
mendekati level di 2019. Berarti 2025 ini kita perkirakan, saya perkirakan ini
rasio pajak kita akan turun.
Dari di bawah 10 persen. Mungkin bisa 9,5
persen. Lebih rendah dari level 2019.
Dari 2019 yang 9,8 persen. Tentu saja ini
mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan dalam arti kita punya fiskal ini sudah tidak
terlalu kuat lagi untuk membiayai kita punya kebutuhan. Artinya
defisit bisa meningkat. Atau kalau defisit tidak meningkat, belanja negara
harus turun. Nah ini menunjukkan, memicu atau memberikan destimulus, memicu dari
aktivitas ekonomi akan turun.
Untuk menjaga itu, bagaimana pemerintahan
Prabowo sekarang ini kan mau menaikkan pajak sampai nantinya, sampai sekitar
pajaknya 18 persen, penerimaan negaranya sampai 23 persen. Penerimaan negara
itu termasuk PNBP
(Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Kalau pajak itu diperkirakan antara 15 persen
sampai 18 persen. Ini tantangan besar. Kalau di awal 2025 dia turun menjadi 9,5
persen rasio pajaknya, maka dapat dipastikan bahwa rasio pajak yang diinginkan
itu tidak mungkin bisa tercapai.
Kalau mau tercapai dari aktivitas ekonomi itu
sangat sulit. Aktivitas ekonomi kenaikan pajaknya itu sangat sedikit sekali.
Kecuali seperti kemarin, kita mendapat mean for profit, harga komoditas naik
melambung tinggi.
JY: Ada satu datanya, PPH badan itu turun sekian
persen. Penurunannya itu lumayan jadi Rp335,8 triliun. Penurunan ini karena
profitabilitas korporasi terus menurun. Ini dari statement otoritas. Tentu saja bahwa
kita lihat aktivitas ekonomi ini dari tahun 2024, pertengahan itu sudah turun
terus. Aktivitas ekonomi kita lihat dari angka inflasi, deflasi.
Prof: Dari Mei 2024 turun terus. Terjadi deflasi sampai September 2024.
Februari sekarang, jadi total Januari-Februari, itu juga terjadi deflasi.
Pasti aktivitas ekonomi turun, pasti PPH badan
itu juga turun. Itu pertama. Kemudian dari aktivitas pajaknya, kalau kita lihat
bahwa penerimaan negara itu turun dari badan, kita juga bisa lihat bahwa banyak
sekali perusahaan-perusahaan yang terjadi PHK. Itu juga pastikan PPH badannya pasti turun.
Kalau PHK itu berarti dia tidak ada profit atau bahkan gulung tikar. Ini
masalahnya.
Jadi kita bisa maklumi bahwa dampaknya adalah,
sudah bisa diperkirakan dampaknya adalah penurunan dari PPH secara keseluruhan.
Kalau kita lihat sampai dengan Februari, ini lebih memprihatinkan pokok PPH ini
penerimaan pajaknya itu turun sampai 30%. Ini yang sangat memprihatinkan.
Sampai dengan Februari turun 30%. Jadi kita
perkirakan memang sampai dengan Desember itu penerimaan pajak itu tidak sesuai
dengan tidak bisa mencapai target. Artinya targetnya terlalu optimistis? Saat
itu bisa dibilang begitu, terlalu optimistis.
Atau kalau tidak terlalu optimistis, berarti
aktivitas ekonomi tidak sesuai dengan harapan sewaktu menyusun APBN. Sebetulnya
APBN mengatakan begini, tapi kenyataannya tidak begitu. Itu bisa juga antara
mengantisipasinya.
Sebetulnya APBN ini bisa bilang, oke saya tahu
bahwa aktivitas ekonomi akan turun, tetapi dengan kebijakan-kebijakan
antisipatif, berarti kita bisa menaikkan lagi aktivitas ekonomi sehingga
penerimaan pajak itu mereka yakin itu bisa terjadi. Ini kita lihat bulan-bulan
ke depan apakah itu yang terjadi atau tidak.
Yang kedua? Kondisi moneter. Terus saham.
Saham dan nilai tukar mata uang. Nah saham dan nilai mata uang. Sekarang kita bicara saham dulu. Saham
juga dari puncaknya itu sekitar tahun lalu September.
Dan sudah turun kalau kita lihat, mungkin
indeks saham sudah turun dari 6.600 menjadi sekarang ini sekitar 6.100. Berarti
memang sudah turun cukup tinggi. Nah ini sejalan dengan
aktivitas ekonomi. Jadi kalau kita lihat harga saham ini kan sebetulnya
antisipasi dari aktivitas ekonomi ke depan.
Kalau kita optimis terhadap aktivitas
ekonominya akan bagus, akan naik, maka harga saham akan mengikuti. Ketertarikan
untuk investasi. Jadi investor akan bilang, oke ini perusahaan bagus, ini
perusahaan ini.
Tapi kalau dia turun terus, prospeknya turun,
maka pasti investor bilang, sudah saya akan investasi di tempat lain. Mungkin
masuk ke surat hutang negara, berpindah kalau mereka ada uang. Kalau investor
asing, dia mungkin akan melihat di negara mana yang ada investasi yang masih
bagus.
Jadi bursa saham itu sudah mencerminkan.
Sekarang yang dikatakan Mas Jajang itu kan bahwa ada tiba-tiba drop. Nah ini
juga apakah ketika itu dikatakan, sebetulnya kita sudah antisipasi bahwa ke
depan ini bursa, saya masih melihat bahwa aktivitas bursa ini masih turun.
Hari ini bursa juga ternyata naik juga.
Naiknya cukup tinggi. Kalau nggak salah, hampir 1,4%-1,5%. Ini tanggal
25 Maret ya? Tanggal 25 Maret. Ya hari ini cukup tinggi gitu naik. Setelah
kemarin drop sekitar juga 1,4 sekian persen juga.
1, sekian persen. Nah jadi ini up and down
lah. Jadi begitu ada yang ini, tapi memang yang mengejutkan adalah kalau sampai
memicu automatic trading halt.
Nah itu yang cukup mengejutkan. Tapi ya
kemudian ada berbalik lagi. Tapi begini, tren jangka panjang ini kalau tidak
ada kebijakan ekonomi yang mumpuni, yang bisa memberikan kepercayaan kepada
investor bahwa aktivitas ekonomi kita akan naik, ya trennya akan turun.
Nah jadi gitu. Nah yang kedua adalah, yang
kemudian adalah mengenai nilai tukar. Yang lebih memprihatinkan adalah nilai
tukar.
Nilai tukar ini sekarang sudah tembus
Rp16.600. Tadi hampir menekati Rp16.650. Transaksinya sempat menekati itu.
Sekarang ditutup sekitar Rp16.590-an. Ya kurang lebih lah ya. Sekarang sudah
hampir close.
Nah ini mau sampai berapa? Apakah akan
menekati Rp17.000? Dan dulu kita sudah ekspektasi ini akan menekati Rp16.500,
terus kemudian Rp17.000. Dan kita tidak melihat apa yang bisa dilakukan oleh
Bank Indonesia. Tadi sempat ada beberapa, ya saya sebutnya intervensi kali ya
untuk membawa itu menyarik ke bawah. Artinya supaya Rupiah menguat, tetapi
kemudian ya cuma segitu saja.
Tidak bisa mempertahankan di bawah Rp16.500
atau bahkan di bawah Rp16.000, kembali ke Rp16.000. Itu masih tetap Rp16.000,
sekitar Rp16.600. Ini dampaknya sangat besar. Apalagi kalau bisa sampai
Rp17.000. Ini cukup serius. Cukup serius artinya gini, utang luar negeri kita
ini sangat besar sekali.
Dan naik terus gitu. Kalau nggak salah per
Februari itu sudah Rp427 miliar. Dari sebelum-sebelumnya naik setiap tahun
5-6%, 7%, 8% gitu. Itu naik terus. Pertanyaannya kenapa utang luar negeri itu naik terus?
Nah ini kan yang memicu kurs Rupiah akan terdepresiasi terus. Kalau utang luar
negerinya tertahan, tidak masuk atau bahkan keluar, ini Rupiah pasti
terdepresiasi.
Jadi Rupiah ini sekarang ini hanya tergantung
dari berapa besar utang luar negeri kita masuk. Utang luar negeri itu artinya
dia bisa masuk ke saham, investasi, disebutnya investasi, tapi secara portfolio
kita harus melihatnya itu utang. Karena dia akan bisa menjual kembali itu saham
untuk dia tarik kembali.
Meskipun instrumennya adalah instrumen saham,
tetapi bagi negara-negara itu outflow artinya itu adalah utang. Yang dia kalau
menjual sahamnya dia akan kembalikan. Akan balik lagi itu uang.
Jadi saham maupun surat berharga negara. Nah
ini yang sangat serius. Ini komponen yang ada di dalam cadangan devisa.
Tadi sudah monitor fiskal, nah ini dari
keduanya. Kemudian ada di, kita melihat tetap cadangan devisa. Salah satu
komponen di dalam cadangan devisa itu ternyata adalah transaksi kita terhadap
utang, akses kita terhadap utang.
Itu berapa persen di dalam komposisi cadangan
devisa? Kalau kita lihat utang luar negeri kita, pemerintah saja itu sudah
lebih dari 200 miliar. Pemerintah dan Bank Indonesia lebih dari 200 miliar.
Mungkin dengan BUMN itu bisa 60 persen.
Anggapnya pemerintah dengan Bank Indonesia
sendiri itu bisa mencapai 240-250 miliar. Angka terakhirnya saya agak lupa.
Tapi pasti lebih tinggi dari 200 miliar ke atas. Kita punya cadangan devisa cuma 154,5 miliar per Februari. Jadi
artinya apa? Artinya kita punya utang luar negeri sudah jauh lebih rendah dari
cadangan devisa. Jadi kalau dia keluar sedikit saja itu, utang luar negeri,
ditarik saja sedikit. Ini kelimpungan.
Jadi artinya apa? Artinya 154 miliar ini
cadangan devisa ini lebih banyak milik dari pribadi-pribadi. Apa itu? Pemasaran
yang ada dolar, seribu dolar, itu masuk ke cadangan devisa. Jadi itu
termasuk yang di 154 miliar. Individu-individu ini, ini yang lebih banyak
memiliki USD itu. Artinya itu memang kepemilikan masyarakat terhadap uang dalam
bentuk dolar.
Ya itu. Dia kan eksportir. Dia memiliki itu. Dia yang memiliki.
Jadi bukan pemerintah. Pemerintah sendiri sebetulnya sudah habis. Karena dia
utang. Lalu apalagi Bank Indonesia utangnya dari 2019 itu hanya sekitar 3
miliar dolar. Kemudian 2024 ini naik menjadi hampir 30 miliar dolar.
Jadi hidup kita ini memang rupiah ini memang
hanya dari itu. Utang masuk, lalu intervensi menguat sedikit, begitu lagi.
Karena fundamental ekonomi kita itu sangat lemah sekali.
Artinya
transaksi berjalan kita defisit. Transaksi berjalan defisit itu mau tidak mau
rupiah itu akan tertekan. Karena outflow ke luar negeri itu sangat besar
sekali.
JY: Tekanan fiskal dilihat dari risiko fiskal,
risiko ekonomi makro, risiko utang pemerintah pusat, sama kewajiban contingent
pemerintah pusat, sama risiko pengeluaran pemerintah yang dimandatkan.
Mandatory spending. Tidak banyak risetnya. Sewaktu zaman Pak Harto penerimaan rasio pajak kita itu cukup tinggi.
Tapi
setelah reformasi, penerimaan negara itu hancur. Tapi kemudian peaknya
meningkat-meningkat lagi sampai tahun 2008.
Prof: 2008, rasio perpajakan kita terhadap PDB itu 13,3%. Kenapa sekarang
dari 2008 turun terus? Ini masalah utamanya adalah undang-undang PPH tahun
2008. Pada saat itu kebetulan Menteri Keuangannya masih Sri Mulyani juga pada
saat itu. Undang-undang itu yang namanya dulu ada Sunset Policy tahun 2008
menyebabkan dari 13,3% pada tahun 2008, terus rasio pajak turun sampai tahun
2014 tadi 10,85%. Dan terus 2019- 9,8%.
Jadi terus turun. Dan itu masalahnya adalah di
undang-undang perpajakan pada tahun 2008 yang membuat itu. Artinya kalau kita
mau menaikkan ini, itu undang-undang itu harus dikembalikan.
Sebenarnya sangat mudah sekali. Di dalam undang-undang perpajakan itu, insentif-insentif
itu diberikan kepada banyak sekali kepada perusahaan yang membayar pajak sangat
besar sekali.
Itu sehingga kenaikan pajak secara persentase
jauh kalah dari pertumbuhan ekonomi. Sehingga rasionya kalah dari pertumbuhan
PDB. Sehingga rasionya itu menjadi mengecil.
Jadi undang-undang perpajakan PPH tadi, sunset
policy ini, jadi betul tahun 2008 dalam bentuk penghapusan sanksi
administrasi perpajakan. Enggak hanya itu saja, itu banyaklah insentif-insentif
itu. PPH badan diturunkan untuk daya saing.
Itu waktu menjadi 25 persen dari 30 persen
menjadi 25 persen. Terus kemudian diturunkan lagi menjadi 22 persen. Sekarang
baru 20 persen kalau nggak salah ya.
Dan kemudian juga PPH pribadi dikurangin dan
sebagainya. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Nah kenyataannya, faktanya
pertumbuhan ekonomi tidak sesuai harapan. Sehingga penerimaan pajak dari pengurangan
pajak tadi lalu kemudian diharapkan dari kenaikan ekonomi, kita mendapatkan
kenaikan pajak, bisa substitusi dari kekurangan tadi tidak tercapai. Sehingga
kita punya penerimaan pajak terhadap PDB terus turun. Tergerus…
Jadi artinya insentif pajak yang diharapkan
tidak sesuai dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ya, oke. Nah tetapi
kenyataannya kok PPH pasal 21, PPH pajak karyawan kok melesat 21 persen di
tahun 2024? Angkanya 243,8 triliun.
Artinya kok yang dieksploitasi untuk mengisi
sumber penghasilan pajak, kok dari PPH gaji? Ya, mungkin PPH 21 itu kan pasti
selalu tiap tahun naik karena Kenaikan UMR? Kenaikan UMR dan semua karyawan
juga naik mengikuti dari inflasi tadi. Setiap karyawan ada promosi, pasti naik.
Dan juga jumlah tenaga kerja juga naik secara umum.
Jumlah tenaga kerja naik berarti pendapatan
PPH 21 penghasilan itu berarti naik. Terus yang komponen kedua adalah kenaikan
dari gaji, dari setiap orang. Kenaikan UMR dan kenaikan gaji-gaji yang lain.
Dengan promosi dan sebagainya, dan sebagainya.
Tapi saya tidak tahu angkanya perlu dianalisa lagi apakah itu year on yearnya
itu 30 persen itu sebetulnya adalah merepresentasikan tahun-tahun sebelumnya
atau apa. Nah ini, apakah itu juga termasuk PPH, kalau berarti PPH 21 ya ini
ya, berarti penghasilannya aja kan gitu.
Saya ini, tetapi kalau kenaikan ya pasti
setiap tahun naik. Tapi seberapa besar kita tidak tahu. Kalau sampai terlalu
besar lagi ya apakah, tadi tarif sebetulnya tidak naik, tarifnya.
Tapi gaji kita yang naik itu dibebankan.
Menjadi itu. Oke jadi permasalahannya kalau kita rangkum dari sisi fiskal
adalah tadi ya, kita negara tidak mampu menghimpun sumber penghasilan dari
pajak ini karena aktivitas ekonominya ternyata tidak bertumbuh.
JY: Stimulasi dengan sunset policy sejak 2008. Apakah sebaiknya pemerintah sekarang mencabut kebijakan sunset policy
dan mengembalikan pajak badannya ke angka semula, kemudian juga deregulasi lagi
dari kebijakan 2008?
Prof: Tapi di dalam beberapa hal mungkin bisa dilakukan, harus selektif misalkan sektor-sektor tertentu, tapi saya tidak mau
promosikan nanti pajak mana yang akan naik, nanti saya dari sektor-sektor itu
dibilang, wah ini apa deh, memprovokasi pajak naik, artinya bisa
dievaluasi menurut keadilan saja.
Keadilan artinya kalau
memang ini profitnya terlalu besar harusnya adalah dipajaki lebih besar. Itu
kan prinsip dari pajak progresif. Prinsip dari pajak progresif kita mengerti
semua, bahwa kalau profitnya besar ya dipajaki, persentasinya pun lebih besar.
Jadi itu normal saja. Tetapi yang saya mau
katakan adalah, bahwa kebijakan ekonomi sejak 2008, sebetulnya peningkatan
ekonomi ada, karena kita ada pertumbuhan 5%, 5%, 5%. Peningkatan ekonomi ini
tidak sesuai dengan apa yang ingin distimulasi.
Stimulusnya adalah kalau 2008, kita mau
stimulus ekonomi agar dia naik, tetapi kenyataannya sampai dengan 2014,
misalnya kita lihat dari periode SBY lah ya, 2009 ke 2014, kenaikan ekonomi ini
tidak setinggi dari yang diharapkan dari kenaikan pajak. Kenaikan pajaknya ya.
Kenaikan pajaknya tidak diharapkan, tidak seperti yang diharapkan dari insentif
tadi.
Jadi pemberian insentif itu lebih besar dari
diskrepansi atau incremental dari pendiriman pajak itu. Sehingga ini tidak
mencukupi, sehingga tax ratio-nya turun. Kalau pertumbuhan ekonominya misalnya
mungkin 8%, bukan 5% misalnya, jadi ini tertutupi.
Jadi targetnya adalah kita memberikan insentif
mau meningkatkan ekonomi kasarnya 8%, tapi yang tercapai cuma 5%. Ya rasio
pajaknya turun. Kalau saya jadinya kepikiran gini, ini pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan dikasih bahan baku stimulus.
Tapi ternyata tidak cukup efektif, artinya bahwa pemerintah harus bekerja lebih keras, bagaimana bisa
menciptakan pertumbuhan itu.
Nah sekarang, pemerintahan sekarang
menginginkan pertumbuhan ini 8%. Kita lihat. Kalau dia pertumbuhan 8%, itu akan
berdampak kepada tax ratio tadi. Tax ratio-nya memang akan naik. Itu memang sejalan. Tetapi kalau
pertumbuhan 8% ini tidak naik, tidak tercapai, maka tax ratio itu turun.
Link sumber : https://www.youtube.com/watch?v=UsDFwAcozXg