JAKARTA – Defisit anggaran terjadi ketika pengeluaran negara melebihi pendapatan dalam satu periode fiskal. Untuk menutupi kekurangan ini, pemerintah biasanya berutang atau mencetak uang—yang berisiko memicu inflasi. Dalam sebuah kanal YouTube @bongkarabis pada Senin (17/3/2025) Managing Director Political & Economies Public Studies (PEPS), DR. Anthony Budiawan menggambarkan kondisi defisit anggaran Indonesia.
"APBN 2024, Pemerintah memperkirakan defisit sekitar 2,29% dari PDB atau setara dengan Rp464 triliun," ungkapnya.
Ia juga mengungkapkan Permasalahan yang ada. "Pendapatan negara menurun, terutama dari pajak dan sumber daya alam, meskipun sebelumnya mendapat keuntungan dari harga komoditas global.
"Pengeluaran tetap tinggi, mencakup subsidi, proyek infrastruktur, dan pembayaran utang. Kenaikan PPN menjadi 11% (dan direncanakan naik ke 12%) justru memperlemah daya beli masyarakat," jelasnya
Ia juga mempertanyakan jargon efisiensi, apakah sekadar alasan?
"Pemerintah mengklaim sedang menghemat anggaran, tetapi muncul kritik karena proyek besar seperti IKN tetap berjalan, sementara anggaran subsidi bagi rakyat justru dipangkas," ujarnya.
"BUMN dan proyek-proyek strategis tetap dibiayai, sementara masyarakat diminta berhemat. Utang terus bertambah, menyebabkan beban bunga semakin besar," jelasnya.
"Jika utang bertambah, rakyat kemungkinan akan menanggung beban pajak lebih besar di masa depan," ujarnya.
"Pemangkasan anggaran bisa berujung pada penghentian proyek dan PHK," lanjutnya.
"Jika pemerintah menutup defisit dengan mencetak uang, inflasi bisa semakin tinggi," ungkapnya.
Ia mengatakan defisit anggaran bukan sekadar angka, tetapi mencerminkan kebijakan ekonomi yang mungkin kurang berpihak pada rakyat.
Apakah solusi terbaik adalah menambah utang, menaikkan pajak, atau memangkas belanja? Sumber link: https://youtu.be/W8gEvW6Mv70?si=pG9N5H5PrRF8NQjB)