Waspada! Rupiah Bisa Anjlok Hingga Rp17.000 per Dolar AS, Lebih Buruk Dari Krisis 1998

Waspada! Rupiah Bisa Anjlok Hingga Rp17.000 per Dolar AS, Lebih Buruk Dari Krisis 1998



JAKARTA – Channel Youtube Forum News Network yang dipandu Hersubeno Arif menampilkan narasumber pengamat ekonomi Anthony Budiawan yang juga Managing Director PEPS kali ini membahas melemahnya harga saham di bursa.

 

Dalam dua pekan terakhir, banyak yang mulai memperhatikan pergerakan saham, meski biasanya tidak tertarik. Begitu rupiah melemah, banyak orang langsung bereaksi.Menariknya, setelah sempat melemah pada 18 Maret 2020, pagi ini (26 Maret 2020) terlihat tanda-tanda penguatan rupiah dan IHSG. Apakah ini hanya fluktuasi sementara seperti roller coaster atau ada hal yang lebih serius?

 

Antoni menyatakan bahwa fluktuasi pasar saat ini sangat tinggi. IHSG sempat mencapai puncaknya di angka 7.905 pada September 2024 dan kini turun hingga 6.300, artinya ada penurunan sekitar 27%. Meski ada penguatan harian, tren penurunan masih terlihat, menunjukkan ekonomi dalam tekanan serius.

 

“Saat ini belum ada kebijakan struktural dari pemerintahan Prabowo yang dapat memperbaiki fundamental ekonomi secara signifikan. Defisit anggaran yang terjadi sejak awal tahun menjadi tanda lemahnya ekonomi, terutama karena penurunan penerimaan pajak yang mencapai 30% dalam dua bulan terakhir. Daya beli masyarakat turun drastis, terlihat dari deflasi harga makanan menjelang Ramadan,” ujarnya,Rabu (26/3/3035).

 

Ia menjelaskan dari sisi moneter, tren pelemahan rupiah tampak jelas sejak Perry Warjiyo memimpin Bank Indonesia. Kurs rupiah yang sebelumnya di angka Rp14.000 kini melemah hingga Rp16.600, bahkan menurut Antoni, bisa mencapai Rp17.000 jika tidak ada kebijakan signifikan. Hal ini terjadi karena defisit transaksi berjalan, ketergantungan pada modal asing, dan utang luar negeri yang semakin besar.

 

Antoni menjelaskan bahwa cadangan devisa Indonesia saat ini mencapai USD 154,5 miliar, namun sebagian besar terbentuk dari utang luar negeri, bukan dari surplus perdagangan. Jika aliran modal keluar lebih besar dari arus masuk, maka rupiah dapat terus melemah. Hal ini semakin rumit dengan kenaikan utang luar negeri pemerintah dan pembayaran bunga yang membengkak akibat pelemahan rupiah.

 

“Ketergantungan ekonomi Indonesia pada investasi asing, termasuk dalam proyek infrastruktur yang hasilnya justru dinikmati investor asing. Selain itu, proyek Danantara yang diharapkan dapat menarik investasi asing justru berpotensi tidak efektif dan dapat membebani APBN lebih dalam. Menurutnya, pembangunan ekonomi seharusnya lebih banyak melibatkan pengusaha lokal dan memperkuat kelas menengah untuk menciptakan ekonomi yang lebih stabil,” ungjkapnya.

 

Jika rupiah benar-benar menembus Rp17.000 per dolar AS, dampaknya akan terasa pada inflasi impor (imported inflation) yang dapat menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan biaya produksi, dan menambah beban utang luar negeri. Kondisi ini bisa memperparah situasi ekonomi, meningkatkan risiko kebangkrutan korporasi, PHK massal, dan memicu krisis ekonomi seperti tahun 1998,” lanjutnya.

 

Secara keseluruhan, Antoni menegaskan bahwa jika pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan secara serius, pelemahan rupiah hingga Rp17.000 per dolar AS hanya masalah waktu. Pemerintah perlu memperbaiki fundamental ekonomi, meningkatkan ekspor, dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri serta investasi asing yang berisiko. Ingin tahu lengkap dialog tersebut, simak di link berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=8UHddALLTvE

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال