JAKARTA – Channel Youtube Forum News Network yang dipandu Hersubeno Arif menampilkan narasumber pengamat ekonomi Anthony Budiawan yang juga Managing Director PEPS kali ini membahas melemahnya harga saham di bursa.
Dalam dua
pekan terakhir, banyak yang mulai memperhatikan pergerakan saham, meski
biasanya tidak tertarik. Begitu rupiah melemah, banyak orang langsung bereaksi.Menariknya,
setelah sempat melemah pada 18 Maret 2020, pagi ini (26 Maret 2020) terlihat
tanda-tanda penguatan rupiah dan IHSG. Apakah ini hanya fluktuasi sementara
seperti roller coaster atau ada hal yang lebih serius?
Antoni
menyatakan bahwa fluktuasi pasar saat ini sangat tinggi. IHSG sempat mencapai
puncaknya di angka 7.905 pada September 2024 dan kini turun hingga 6.300,
artinya ada penurunan sekitar 27%. Meski ada penguatan harian, tren penurunan
masih terlihat, menunjukkan ekonomi dalam tekanan serius.
“Saat ini
belum ada kebijakan struktural dari pemerintahan Prabowo yang dapat memperbaiki
fundamental ekonomi secara signifikan. Defisit anggaran yang terjadi sejak awal
tahun menjadi tanda lemahnya ekonomi, terutama karena penurunan penerimaan
pajak yang mencapai 30% dalam dua bulan terakhir. Daya beli masyarakat turun
drastis, terlihat dari deflasi harga makanan menjelang Ramadan,” ujarnya,Rabu (26/3/3035).
Ia menjelaskan dari sisi
moneter, tren pelemahan rupiah tampak jelas sejak Perry Warjiyo memimpin Bank
Indonesia. Kurs rupiah yang sebelumnya di angka Rp14.000 kini melemah hingga
Rp16.600, bahkan menurut Antoni, bisa mencapai Rp17.000 jika tidak ada kebijakan
signifikan. Hal ini terjadi karena defisit transaksi berjalan, ketergantungan
pada modal asing, dan utang luar negeri yang semakin besar.
Antoni
menjelaskan bahwa cadangan devisa Indonesia saat ini mencapai USD 154,5 miliar,
namun sebagian besar terbentuk dari utang luar negeri, bukan dari surplus
perdagangan. Jika aliran modal keluar lebih besar dari arus masuk, maka rupiah
dapat terus melemah. Hal ini semakin rumit dengan kenaikan utang luar negeri
pemerintah dan pembayaran bunga yang membengkak akibat pelemahan rupiah.
“Ketergantungan
ekonomi Indonesia pada investasi asing, termasuk dalam proyek infrastruktur
yang hasilnya justru dinikmati investor asing. Selain itu, proyek Danantara
yang diharapkan dapat menarik investasi asing justru berpotensi tidak efektif
dan dapat membebani APBN lebih dalam. Menurutnya, pembangunan ekonomi
seharusnya lebih banyak melibatkan pengusaha lokal dan memperkuat kelas
menengah untuk menciptakan ekonomi yang lebih stabil,”
ungjkapnya.
“Jika rupiah
benar-benar menembus Rp17.000 per dolar AS, dampaknya akan terasa pada inflasi
impor (imported inflation) yang dapat menurunkan daya beli masyarakat,
meningkatkan biaya produksi, dan menambah beban utang luar negeri. Kondisi ini
bisa memperparah situasi ekonomi, meningkatkan risiko kebangkrutan korporasi,
PHK massal, dan memicu krisis ekonomi seperti tahun 1998,” lanjutnya.
Secara
keseluruhan, Antoni menegaskan bahwa jika pemerintah tidak melakukan perubahan
kebijakan secara serius, pelemahan rupiah hingga Rp17.000 per dolar AS hanya
masalah waktu. Pemerintah perlu memperbaiki fundamental ekonomi, meningkatkan
ekspor, dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri serta investasi
asing yang berisiko. Ingin tahu lengkap dialog tersebut, simak di
link berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=8UHddALLTvE