Opini oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Dunia terguncang. Presiden Donald Trump memberlakukan tarif
impor resiprokal kepada hampir seluruh negara di dunia. Khususnya kepada negara
yang masuk daftar ‘Dirty 15’. Yaitu 15 negara penyumbang defisit terbesar
terhadap neraca perdagangan AS.
Tarif resiprokal Trump dimaksudkan untuk mengurangi defisit
neraca perdagangan AS. Trump berpendapat, defisit perdagangan AS disebabkan
tarif impor yang tinggi dan praktek dagang (hambatan non-tarif) yang tidak adil
yang dikenakan kepada produk AS oleh negara mitra dagang khususnya ‘Dirty 15’.
Tarif resiprokal Trump membuat bursa saham dunia anjlok dua
hari berturut-turut. Aset (wealth) senilai 6,6 triliun dolar AS menguap. Hal
ini menggambarkan kondisi masa depan ekonomi dunia suram, peluang masuk resesi
semakin besar.
Ekonomi Indonesia juga tidak terkecuali. Krisis moneter dan
krisis fiskal sulit dihindari, it is only a matter of time. Hanya masalah waktu
saja. Krisis moneter yang berkepanjangan akan menjelma menjadi krisis ekonomi
secara luas.
Berikut gambaran kondisi ekonomi Indonesia setelah Trump
memberlakukan tarif resiprokal kepada hampir seluruh negara di dunia.
1) Tarif resiprokal Trump membuat volume Perdagangan dunia
menyusut. Ekspor Indonesia ke berbagai negara turun. Ekonomi tertekan. Defisit
neraca perdagangan meningkat, kurs rupiah tertekan.
2) Di tengah prospek masa depan ekonomi yang suram,
investasi akan melambat, atau kontraksi. Selain itu, investor lebih memilih
menyimpan cash dari pada surat berharga. Artinya, akan terjadi divestasi saham
dan obligasi secara besar-besaran. Artinya, akan terjadi capital outflow dalam
jumlah besar.
Bursa saham global sudah anjlok. Nasib bursa saham Indonesia
juga akan sama, akan anjlok. Harga saham di bursa saham Indonesia saat ini
overvalued: kemahalan. Karena belum terkoreksi kebijakan tarif resiprokal
Trump, akibat liburan super panjang lebaran. Investor akan berlomba-lomba
menjual portfolio sahamnya ketika bursa dibuka kembali awal minggu depan. IHSG
anjlok.
3) Bagaimana nasib pasar obligasi? Untuk Indonesia, pasar
obligasi jauh lebih mengerikan. Utang luar negeri Indonesia saat ini mencapai
sekitar 430 miliar dolar AS. Lebih dari 90 persen dari utang tersebut dalam
bentuk obligasi (surat utang). Kalau para pemilik obligasi divestasi 10 persen
saja dari total kepemilikannya, maka kurs rupiah akan kolaps, meluncur cepat ke
Rp18.000, bahkan bukan mustahil anjlok ke Rp20.000 per dolar AS.
Tidak diragukan, capital outflow 40 miliar dolar AS pasti
akan membawa bencana besar bagi ekonomi Indonesia.
4) Intervensi BI tidak mungkin efektif lagi untuk
mempertahankan kurs rupiah. Untuk mencegah capital outflow, kemungkinan besar
BI akan menaikkan suku bunga acuan. Tidak ada pilihan lain.
Tergantung berapa cepat rupiah terdepesiasi, suku bunga akan
menyesuaikan. Semakin cepat rupiah anjlok, semakin tinggi BI menaikkan suku
bunga acuan.
5) Kenaikan suku bunga BI pada gilirannya akan “membunuh”
sektor riil yang memang sedang sekarat akibat tarif resiprokal Trump.
Kenaikan suku bunga BI dan kenaikan kurs dolar AS, ditambah
kondisi ekonomi yang sedang melemah, pada gilirannya akan memicu banyak
perusahaan gagal membayar bunga dan pokok utang yang jatuh tempo, baik utang
dalam negeri maupun utang luar negeri. Hal ini akan membuat ekonomi semakin
tertekan, menuju chaos: krisis semakin dalam.
6) Di tengah kondisi ekonomi tertekan dan melambat, BI
seharusnya menurunkan suku bunga. Tetapi, ancaman capital outflow membuat
posisi BI dilematis. Menurunkan suku bunga akan membuat capital outflow semakin
kencang. Sedangkan menaikkan suku bunga akan mempercepat ekonomi kolaps.
7) Kondisi Fiskal atau APBN juga kritis. Penerimaan negara
turun, semakin memberatkan fiskal yang juga sedang sekarat. Kemampuan
pemerintah memberi stimulus fiskal semakin terbatas.
Pemerintah juga dalam posisi dilematis, menaikkan atau
menurunkan tarif pajak? Menurunkan tarif pajak untuk stimulus ekonomi hampir
mustahil, karena fiskal akan kolaps. Sebaliknya, menaikkan tarif pajak akan
mempercepat “membunuh” ekonomi.
Penutup
Kondisi di atas menggambarkan skenario yang akan terjadi
dengan ekonomi Indonesia, sebagai akibat dari kebijakan tarif resiprokal Trump.
Hal ini sulit dihindari.
Sebaliknya, perang tarif akan semakin genting. China
langsung membalas kebijakan Trump, dengan mengenakan tarif resiprokal balasan
sebesar 34 persen. Sebagai info, Trump sebelumnya mengenakan tarif resiprokal
54 persen kepada China.
Sejauh ini Indonesia belum memberi reaksi memadai atas
diberlakukannya tarif resiprokal Trump ini. Hal ini tentu saja tidak baik.
Semoga pemerintah siap, dan mampu, mengatasi tantangan ekonomi dalam waktu
dekat ini.
—- 000 —