JAKARTA – Kanal Youtube kuatbaca.com kali ini membuka diskusi soal benarkah Indonesia akan menambah impor dari Amerika Serikat yang
dipandu pimpinan redaksi kuatbaca.com Jajang Habib dengan narasumber Managing Director PEPS, Prof. Anthony Budiawan yang tayang Senin (21/4/2025).
Indonesia
sedang menghadapi tantangan besar dalam hubungan dagang global, terutama dengan
Amerika Serikat. Posisi kita tidak sekuat negara seperti Tiongkok atau Kanada
dalam merespons kebijakan perdagangan AS. Walaupun produk kita berbeda dari
produk ekspor AS, kita tetap harus bersikap responsif, seperti yang dilakukan
Vietnam. Bedanya, Vietnam punya nilai ekspor yang jauh lebih besar ke AS dan surplus
perdagangan yang signifikan.
Permasalahannya,
industri dalam negeri Indonesia belum cukup kuat untuk melakukan negosiasi yang
efektif. Ekspor kita masih terbatas pada sektor padat karya seperti tekstil dan
alas kaki, yang juga bersaing ketat dengan negara lain seperti India dan
Bangladesh. Ditambah lagi, dampak global dari kebijakan tarif yang diterapkan
oleh pemerintahan Trump masih belum sepenuhnya dipahami.
Trump
menggunakan tarif bukan sekadar sebagai hambatan perdagangan, tapi sebagai alat
negosiasi untuk mendorong negara lain membeli lebih banyak produk AS. Tindakan
ini menimbulkan ketegangan global, khususnya antara AS dan Tiongkok, yang
berujung pada perang dagang saling balas tarif hingga ratusan persen. Untuk
negara lain seperti Indonesia, jika tidak ingin dikenakan tarif tinggi, AS
membuka ruang negosiasi, seperti menambah volume impor produk Amerika.
Vietnam
merespons dengan menawarkan impor produk AS senilai 50 miliar dolar, sebagai
cara untuk mengurangi defisit perdagangan AS terhadap mereka. Sementara itu,
Indonesia juga melakukan pendekatan serupa, dengan menyatakan kesiapan
mengimpor produk AS sekitar 18–19 miliar dolar untuk menyeimbangkan neraca
dagang.
Pada
akhirnya, Trump dinilai cukup cerdas memanfaatkan tarif sebagai taktik untuk
membuka pasar bagi produk dalam negerinya. Ia tahu tarif tinggi tidak akan
bertahan lama, tapi cukup untuk membuat negara lain membuka diri pada produk
AS. Tujuan utamanya adalah memangkas defisit perdagangan dan memperluas pasar
global bagi barang-barang Amerika.
Tarif yang
dikenakan oleh Trump sebenarnya bukan untuk benar-benar dijalankan, melainkan
sebagai alat tekanan atau efek gentar (deterrence). Tujuannya adalah untuk
memaksa negara-negara lain agar bersedia bernegosiasi dan membuka pasar bagi
produk Amerika. Trump tahu banyak negara akan memilih jalan negosiasi ketimbang
berseteru langsung, karena potensi risikonya sangat besar. Namun bila tidak mau
bernegosiasi, maka akan dikenakan tarif tinggi sungguhan.
Defisit
perdagangan Amerika terhadap banyak negara, terutama Tiongkok, telah
berlangsung lama dan jumlahnya sangat besar. Maka dari itu, Trump merasa perlu
memperbaiki ketidakseimbangan itu, dan menjadikannya sebagai isu global, bukan
hanya masalah AS semata.
Secara
historis, sejak Perang Dunia II, Amerika mendominasi ekonomi global dengan
surplus besar dan bahkan membantu pembangunan ekonomi Eropa lewat penghapusan
tarif dan program Marshall Plan. Namun sejak tahun 1971 ketika sistem keuangan
dunia tidak lagi berbasis emas (dollar tidak bisa dikonversi ke emas), Amerika
mulai mengalami defisit besar secara terus-menerus karena bisa
"mencetak" uang tanpa batas.
Indonesia
juga mengalami fase serupa, terutama setelah krisis 1998 saat sistem nilai
tukar berubah menjadi mengambang bebas. Akibatnya, rupiah mengalami depresiasi
drastis karena spekulasi mata uang. Sistem keuangan saat itu sangat terbuka
sehingga rentan terhadap serangan spekulatif.
Saat ini,
meskipun sistem moneter Indonesia lebih tertata dan tidak bisa sembarang
mengeluarkan dolar, ekonomi tetap melemah. Daya beli masyarakat menurun,
terjadi deflasi berbulan-bulan sejak pertengahan 2024, dan banyak terjadi PHK.
Hal ini diperparah oleh kebijakan tarif Trump yang bisa mendorong krisis lebih
cepat, karena akan memperburuk neraca transaksi berjalan dan menekan nilai
tukar rupiah.
Rupiah sulit
menguat meskipun cadangan devisa meningkat karena kondisi fundamental tetap
lemah. Tanpa intervensi Bank Indonesia, nilai tukar bisa menembus Rp17.000 per
dolar, dan kemungkinan besar itu hanya masalah waktu.
Dari sisi
fiskal, penerimaan negara sangat rendah. Hingga Maret 2025, baru 14,7% dari
target yang tercapai. Jika tren ini berlanjut, akan terjadi kekurangan
penerimaan negara (shortfall) yang besar. Akibatnya, belanja negara harus
dikurangi, yang berarti kontraksi ekonomi semakin dalam. Ini diperburuk oleh
rendahnya investasi dan meningkatnya pengangguran, menjadikan kondisi ekonomi
nasional semakin kritis. Sumber link dialog https://www.youtube.com/watch?v=759Uj5kKGCM