Warga Imigran dan Negara Asal

Warga Imigran dan Negara Asal



Shamsi Ali Al-Kajangi

Sebagaimana dengan populer dikenal, Amerika adalah negara imigran. Semua orang yang ada di Amerika terkecuali penduduk asli yang dikenal dengan Indian (Native Indian American) adalah pendatang atau imigran. Dan semua yang datang ke negara ini bersifat sukarela dan pilihan sendiri. Kecuali tentunya mereka yang didatangkan secara paksa sebagai budak dari Afrika ketika itu. 


Kedatangan para imigran itu tentu dimotivasi oleh kenyataan bahwa Amerika memang, walau dibenci banyak pihak karena kebijakan luar negerinya yang zholim dalam banyak hal di berbagai tempat, dirindukan oleh banyak pihak. Hal itu karena seperti yang sering kita dengarkan, Amerika is a land of dream and opportunity (pulau impian dan peluang). Hal yang masih kenyataan hingga detik ini. Dengan perang tarif Trump yang cukup mengganggu harga bagi masyarakat luas, bahkan Wall Street sekalipun, secara ekonomi Amerika masih solid. Belum lagi kenhataan bahwa kebanyakan universitas terbaik dunia saat ini masih berada di Amerika. 


Diakui atau tidak, Amerika memang negara yang sangat kuat. Amerika masih impian bagi banyak orang untuk mengejar cita-cita dunianya. Konstitusi dan aturan yang masih dihargai. Tidak mudah diperjual belikan demi kepentingan sesaat segelintir. Mengingatkan saya MK dengan keputusan batas usia kandidat posisi publik di negara sebesar Indonesia. Jaminan sosial, jaminan hukum, dan berbagai jaminan itu masih dijunjung di Amerika. 


Lebih dari itu sebagian imigran yang datang ke negara ini juga karena “harapan kebebasan” (freedom) dan “keadilan” (justice for all) yang masih menjanjikan. Warga Amerika masih bebas mengekspresikan opininya bahkan mengeritik tajam dan terbuka Presiden sekalipun. Hanya satu yang saya sebutkan pada kesempatan lain sebagai “irrasionalitas” dan menginjak akal sehat. Yaitu mengeritik Amerika dan presidennya dijamin Konstitusi. Tapi mengeritik Israel dan pemerintahnya dicap kejahatan dan melanggar UU. 


Namun dengan semua itu, secara umum tidak mengurangi posisi Amerika yang masih dirindukan tadi. Masih banyak orang di luar sana mencari kesempatan untuk datang ke negara ini untuk banyak tujuan dan harapan. Dan kerenanya posisi ugal-ugalan Amerika di dunia international, baik di dunia pasar dan ekonomi, politik global, apalagi di dunia keamanan dan militer, tidak mengurangi keinginan sebagian   orang untuk datang ke Amerika. 


Dan jangan lupa, Amerika dan dunia Barat masih dirindukan sebagai lahan subur untuk ekspansi Dakwah menuju masa depan peradaban Islam yang diimpikan. Di Amerika tidak kurang dari dua puluh ribu warga memeluk Islam setiap tahun. Pada umumnya anak muda, terpelajar (educated), professional, dan secara income adalah middle class. Menunjukkan Amerika juga adalah a land of dream and opportunity for Dakwah and Islam. 


Kaum imigran dan negara asal 

Mayoritas imigran itu pada akhirnya menjadi warga negara Amerika. Minimal menjadi penduduk tetap (resident) dengan memegang apa yang dikenal dengan “Kartu Hijau” atau Green Card. Warga negara pastinya memiliki paspor Amerika. Tapi pemegang Green Card tidak memiliki paspor Amerika. Namun keduanya punya hak-hak penuh yang terjamin. Terkecuali hak politik (memilih atau dipilih untuk posisi publik).


Perihal mengganti kewarga negaraan ini memang seringkali menjadi dilemma bagi sebagian warga. Terkhusus warga Indonesia lebih dilemma lagi karena mentalitas imigran Indonesia yang masih merasa jika keberadaan mereka di negara ini bersifat non permanen. Warga Indonesia pada umumnya masih bercita-cita kembali ke tanah air setelah mengumpulkan modal hidup masa depan di tanah air. Walaupun pada akhirnya akan menetap permanen di sebuah perkampungan di Long Island atau New Jersey.


Dilema terbesar bagi warga Indonesia untuk mengganti kewarga negaraan adalah karena pastinya akan kehilangan warga negara asalnya (Indonesia). Indonesia menganut madzhab “single citizenship” (kewarga negaraan tunggal). Sehingga ketika paspor Amerika di sudah tangan, dengan sendirinya  kewarga negaraan negara asal menjadi hilang. 


Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah dengan bergantinya  kewarga negaraan (citizenship) itu juga dimaknai hilangnya “cinta negara asal”? Apakah dengan bergantinya paspor sebagai dokumen perjalanan  dengan sendirinya dimaknai sebagai hilangnya rasa “nasionalisme”? 


Pandangan seperti itu sangat sempit sekaligus menggambarkan ketidak tahuan latar belakang dan konteks sebagian warga mengganti kewarga negaraan (citizenship). Satu hal yang perlu dipahami, pada umumnya warga imigran (khususnya Indonesia) mengganti kewarga negaraan karena pertimbangan teknis. Khususnya ketika berurusan dengan aturan-aturan domestik bagi kelancaran dan kenyamanan urusan hidup. 


Tapi yang pasti nasionalisme seseorang tidak seharusnya diukur dengan dokumen perjalanan seperti paspor. Karena rasa nasionalisme adalah rasa batin atau fenomena hati. Dan ternyata nasionalisme itu menjadi bagian yang diakui oleh agama. Allah yang menjadikan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Bahkan Rasulullah SAW merasakan kesedihan itu ketika harus meninggalkan tanah kelahirannya, Makkah Al-Mukarramah. 


Di sisi yang lain, penghargaan Amerika kepada warga negaranya yang imigran, bahkan mereka yang memilik kewarga negaraan lain sangat tinggi. Amerika lagi-lagi unik dalam hal ini. Karena membebaskan warga negaranya untuk tetap cinta dan berbuat yang terbaik bagi negara asal masing-masing. Hal ini dapat kita lihat dalam kasus Palestina. Di mana warga negara Amerika keturunan Palestina sepenuhnya bebas mengekspresikan dukungan kepada Palestina, Walau tidak disukai sebagian. Hal sama yang terjadi kepada dengan warga Amerika keturunan Ukrain dalam menyikapi konflik Ukrain-Rusia. 


Karenanya saya cukup terusik dengan pernyataan pejabat RI yang mempertanyakan nasionalisme warga karena tinggal di luar negeri. Atau pernyataan yang mengatakan bahwa warga yang tinggal di luar negeri diposisikan budak-budak negara tempat tinggalnya. Mereka sangat sempit dan cukup dungu dengan kenyataan yang sesungguhnya.


Sebaliknya saya bisa meyakinkan, dengan pengecualian kecil, warga Indonesia yang ada di luar negeri sangat cinta Indonesia. Mereka punya perhatian dan keinginan untuk berbuat bagi Indonesia. Mereka ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik dan kuat sejajar dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Di Kota New York ini misalnya, ada group lansia (lanjut usia) yang telah tinggal di negara ini sangat lama. Ada yang bahkan telah tinggal di negara ini sebelum Indonesia merdeka. Tapi di benak dan dada mereka masih terpatri nasionalisme itu. Di dada mereka tetap berkibar Merah Putih. 


Karenanya silahkan pilih mana yang lebih nasionalis: Tinggal di Indonesia dengan korupsi  yang menyengsarakan rakyat. Atau menetap di luar negeri dan berbuat untuk bangsa sekecil apapun itu. Ayo pilih😂


NYC Subway, 4 April 2025 

Diaspora Indonesia di Kota New York

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال